Sabtu, 14 Januari 2012

Gambar Ringkasan cara Wudhu yang Benar Sesuai Sunnah

Tata Cara Wudhu

Penulis: Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al Iftaa
Soal: Amalan apakah yang dianjurkan ketika berwudhu’, dan apakah doa yang mesti diucapkan setelahnya?
Jawab :
Alhamdulillah, tatacara wudhu’ menurut syariat adalah sebagai berikut:
- Menuangkan air dari bejana (gayung) untuk mencuci telapak tangan sebanyak tiga kali ;
- Kemudian menyiduk air dengan tangan kanan lalu berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung dan mengeluarkannya sebanyak tiga kali ;

- Kemudian membasuh wajah sebanyak tiga kali ;
- Kemudian mencuci kedua tangan sampai siku sebanyak tiga kali ;
- Kemudian mengusap kepala dan kedua telinga sekali usap ;
- Kemudian mencuci kaki sampai mata kaki sebanyak tiga kali. Ia boleh membasuhnya sebanyak dua kali atau mencukupkan sekali basuhan saja.
Setelah itu hendaknya ia berdoa:
Asyhadu allaa ilaaha illallah wahdahu laa syarikalahu wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu, Allahummaj ‘alni minat tawwabiin waj’alni minal mutathahhiriin.”
Artinya: “Saya bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak disembah dengan benar selain Allah semata tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Yaa Allah jadikanlah hamba termasuk orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri.
Adapun sebelumnya hendaklah ia mengucapkan ‘bismillah’ berdasarkan hadits yang berbunyi:
“Tidak sempurna wudhu’ yang tidak dimulai dengan membaca asma Allah (bismillah).”
(H.R At-Tirmidzi 56)

(Dinukil dari Fatawa Lajnah Daimah juz V/231. Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta, Dewan Tetap Arab saudi untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa)
Sumber : Amalan saat berwudhu dan doa setelahnya

Beginilah Cara Wudhu dalam Sunnah

Penulis: Buletin Jum’at At-Tauhid
Wudhu’ ( الْوُضُوْءُ ) adalah sebuah sunnah (petunjuk) yang berhukum wajib, ketika seseorang mau menegakkan sholat. Sunnah ini banyak dilalaikan oleh kaum muslimin pada hari ini sehingga terkadang kita tersenyum heran saat melihat ada sebagian diantara mereka yang berwudhu’ seperti anak-anak kecil, tak karuan dan asal-asalan. Mereka mengira bahwa wudhu itu hanya sekedar membasuh dan mengusap anggota badan dalam wudhu’. Semua ini terjadi karena kejahilan tentang agama, taqlid buta kepada orang, dan kurangnya semangat dalam mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Banyak diantara kita lebih bersemangat mempelajari dan mengkaji masalah dunia, bahkan ahli dan pakar di dalamnya. Tiba giliran mempelajari agama, dan mengkajinya, banyak diantara kita malas dan menjauh, sebab tak ada keuntungan duniawinya. Bahkan terkadang menuduh orang yang belajar agama sebagai orang kolot, dan terbelakang. Ini tentunya adalah cara pandang yang keliru. Na’udzu billahi min dzalik.
Download File Kajian 055 Wudhu mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/balikpapan/shahih_bukhari/055.-Wudhu.mp3
055 Wudhu mp3 055 Wudhu 055 mp3 055 Wudhu mp3 055 Wudhu 055 mp3 Wudhu mp3 Wudhu mp3
Download File Kajian 056 keragu raguan tidak membatalkan wudhu mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/balikpapan/shahih_bukhari/056-keragu-raguan-tidak-membatalkan-wudhu.mp3
056 keragu raguan tidak membatalkan wudhu mp3 056 keragu raguan tidak membatalkan wudhu 056 keragu raguan tidak membatalkan mp3 056 keragu raguan tidak memba
Download File Kajian 040 Berkumur kumur dalam berwudhu Ust Asykari Kitab shohih Bukhori mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/balikpapan/shahih_bukhari/040-Berkumur-kumur-dalam-berwudhu_Ust.-Asykari_Kitab-shohih-Bukhori.mp3
040 Berkumur kumur dalam berwudhu Ust Asykari Kitab shohih Bukhori mp3 040 Berkumur kumur dalam berwudhu Ust Asykari Kitab shohih Bukhori 040 Berkumur kumur d
Download File Kajian 023 bab keutamaan wudhu ghurrah muhajjalin dari bekas wudhu 
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/balikpapan/shahih_bukhari/023-bab-keutamaan-wudhu-ghurrah-muhajjalin-dari-bekas-wudhu.
023 bab keutamaan wudhu ghurrah muhajjalin dari bekas wudhu 023 bab keutamaan wudhu ghurrah muhajjalin dari bekas wudhu 023 bab keutamaan wudhu ghurrah muhajj
Para pembaca yang budiman, demi menghilangkan kejahilan dan keraguan kita tentang cara berwudhu’, maka ada baiknya kami mengajak anda berkeliling menikmati dan memperhatikan hadits-hadits Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang menjelaskan tata cara dan kaifiat wudhu yang benar. Karena pembahasan wudhu’ ini agak panjang, maka –insya’ Allah- kami akan menurunkan pembahasan ini secara musalsal (berseri).

 Batasan Wudhu

Bila menilik kitab-kitab dan manuskripsi klasik dan kontemporer para ulama kita, maka anda akan menjumpai bahwa para ahli ilmu telah membahas definisi dan batasan wudhu’ ( الْوُضُوْءُ ) dari sisi bahasa maupun istilah dalam syara’.
Seorang ahli bahasa, Al-Imam Ibnul Atsir Al-Jazariy -rahimahullah- menjelaskan bahwa jika dikatakan wadhu’ ( الْوَضُوْءُ ), maka yang dimaksud adalah air yang digunakan berwudhu. Bila dikatakan wudhu’ ( الْوُضُوْءُ ), maka yang diinginkan disitu adalah perbuatannya. Jadi, wudhu adalah perbuatan, sedang wadhu’ adalah air wudhu’. [Lihat An-Nihayah fi Ghoribil Hadits (5/428)]
Syari’at wudhu’ mengandung hikmah yang amat dalam. Diantara hikmah wudhu’, seorang dibimbing agar ia memulai aktifitas ibadah dan kehidupannya dengan kesucian dan keindahan. Sebab wudhu itu sebenarnya bermakna keindahan, dan kesucian [Lihat Ash-Shihhah fil Lughoh (2/282) karya Al-Jauhariy]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’iy -rahimahullah- berkata, “Kata wudhu’ terambil dari kata al-wadho’ah/kesucian ( الْوَضَاءَةُ ). Wudhu disebut demikian, karena orang yang sholat membersihkan diri dengannya. Akhirnya, ia menjadi orang yang suci”. [Lihat Fathul Bariy (1/306)]
Adapun makna wudhu’ menurut tinjauan syari’at, kata Syaikh Sholih Ibnu Ghonim As-Sadlan -hafizhohullah-,
مَعْنَى الْوُضُوْءِ : اسْتِعْمَالُ مَاءٍ طَهُوْرٍ فِي اْلأَعْضَاءِ اْلأَرْبَعَةِ عَلَى صِفَةٍ مَخْصُوْصَةٍ فِي الشَرْعِ
“Makna wudhu’ adalah menggunakan air yang suci lagi menyucikan pada anggota-anggota badan yang empat (wajah, tangan, kepala, dan kaki) berdasarkan tata cara yang khusus menurut syari’at”. [Lihat Risalah fi Al-Fiqh Al-Muyassar (hal. 19)]
    * Kewajiban-kewajiban Wudhu’
Para ulama fiqih telah menerangkan bahwa wudhu memiliki kewajiban-kewajiban ( فُرُوْضٌ ), yakni anggota-anggota badan yang harus dan wajib dibasuh (dicuci). Kewajiban-kewajiban ( فُرُوْضٌ ) tersebut adalah:
  1. Membasuh wajah. Termasuk wajah, adalah hidung, dan mulut.
   2. Membasuh kedua tangan sampai kepada dua siku.
   3. Mengusap kepala (termasuk kepala, adalah kedua telinga kita)
   4. Membasuh kedua kaki sampai kepada kedua mata kaki
   5. Melakukannya secara berurutan sesuai yang disebutkan dalam Al-Qur’an
        (QS. Al-Maa’idah : 6)
   6. Dilakukan secara beruntun, tanpa selang waktu yang lama.
Inilah enam furudh (kewajiban) bagi wudhu’ yang harus anda penuhi. Kapan ada salah satunya yang tak terpenuhi, maka wudhu’ kita tak sah, walaupun berwudhu’ beribu-ribu kali. Enam perkara ini telah disebutkan oleh Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.






Orang yang tangan atau kakinya terpotong, maka ia mencuci bagian yang tersisa yang wajib dicuci. (Lihat G. 9). Dan apabila tangan atau kaki-nya itu terpotong semua maka cukup mencuci bagian ujungnya saja.

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (QS. Al-Maa’idah : 6)
Dari sebagian sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلاً يُصَلّيِْ وَفِي ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَةٌ قَدْرَ الدِّرْهَمِ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعِيدَ الْوُضُوءَ وَالصَّلاَةَ
“Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah melihat seseorang melakukan sholat, sedang pada punggung kakinya terdapat lum’ah (bagian yang tak tercuci) seukuran uang dirham yang tak terkena air wudhu. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pun memerintahkannya untuk mengulangi wudhu’ dan sholatnya”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (1/216), dan Ahmad (14948). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa' (86)]
Muhaddits Negeri India, Syamsul Haqq Al-Azhim Al-Abadiy -rahimahullah- berkata saat memetik faedah agung dari hadits ini, “Hadits ini di dalamnya terdapat dalil yang gamblang tentang wajibnya muwaalat (melakukan wudhu secara beruntun, tanpa selang waktu yang lama). Karena perintah mengulangi wudhu’ sebab membiarkan adanya lum’ah (bagian yang tak tercuci). Perintah itu tak terjadi, kecuali karena wajibnya muwaalaat. Ini adalah pendapat Al-Imam Malik, Al-Auza’iy, Ahmad bin Hanbal, dan Asy-Syafi’iy dalam sebuah pendapat beliau”. [Lihat Aunul Ma'bud (1/192)]
Hadits ini adalah hujjah atas orang-orang Syi’ah-Rofidhoh, sebab hadits ini menjelaskan wajibnya mencuci kaki, bukan diusap sebagaimana yang disangka oleh orang-orang jahil dari kalangan Syi’ah-Rofidhoh. Barangsiapa yang tidak mencuci alias membasuh kaki saat berwudhu’, maka wudhu’nya tak sah, dan juga sholatnya tak sah. Bahkan boleh jadi ia berdosa dengan perbuatannya tersebut, sebab ia menganggap sesuatu yang haram sebagai ibadah dan ketaatan!!
Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata, “Barangsiapa (seperti, kalangan Syi’ah) yang mewajibkan mengusap kedua kaki sebagaimana khuff (sepatu selop) diusap, maka sungguh ia sesat, dan menyesatkan!! Demikian pula barangsiapa yang membolehkan untuk mengusap kedua kakinya, dan membolehkan mencuci keduanya, maka sungguh ia telah keliru juga. Barangsiapa yang menukil dari Abu Ja’far Ibnu Jarir bahwa beliau mewajibkan mencuci keduanya berdasarkan hadits-hadits tersebut, dan mewajibkan pengusapan keduanya berdasarkan ayat ini, maka ia belumlah mendudukkan madzhab Ibnu Jarir dengan benar dalam perkara itu. Karena ucapan beliau dalam Tafsir-nya hanyalah menunjukkan bahwa yang beliau maksudkan bahwa wajib menggosok kedua kaki dibandingkan anggota badan lainnya, sebab kedua kaki menyentuh tanah, lumpur, dan lainnya. Lantaran itu, beliau mewajibkan untuk menggosok kedua kaki agar hilang sesuatu yang ada di atasnya. Cuma beliau mengungkapkan tentang menggosok dengan kata “mengusap”. Maka orang yang tidak merenungi ucapan beliau meyakini bahwa beliau menginginkan wajibnya menggabungkan antara mencuci dan mengusap kedua kaki!!”. [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Karim (3/53)]
Diantara dalil dari As-Sunnah An-Nabawiyyah yang menunjukkan wajibnya mencuci kaki, hadits dari Abdullah bin Amr -radhiyallahu anhu- beliau berkata,
تَخَلَّفَ عَنَّا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ سَفْرَةٍ سَافَرْنَاهَا، فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقَتْنَا الصَّلاَةُ، صَلاَةُ الْعَصْرِ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ، فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا، فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ : أَسْبِغُوْا الْوُضُوْءَ وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah tertinggal dari kami dalam suatu safar yang kami lakukan. Kemudian beliau pun menjangkau kami, sedang sungguh sholat telah menjumpai kami –yaitu sholat Ashar-. Kami berwudhu’, lalu kami mulai menggosok kedua kaki kami. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- berteriak dengan sekeras-kerasnya, “Sempurnakanlah wudhu’!! Kecelakaan bagi tumit-tumit dari neraka”. [HR. Al-Bukhoriy (60), dan Muslim (241)]
Para pembaca yang budiman, ketika seseorang berwudhu, maka ada beberapa perkara yang perlu diingat bahwa saat mengusap kepala, hendaknya jangan lupa mengusap kedua telinga karena keduanya termasuk kategori kepala. Oleh karenanya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda usai mengusap kepala dan telinganya,
الاُذُنَانِ مِنْ الرَّأْسِ
“Kedua telinga termasuk kepala”. [HR. Abu Dawud (134), At-Tirmidziy (37), dan Ibnu Majah (444). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (36)]
Ahli Hadits Negeri Syam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan faedah-faedah dari hadits ini, “Jika hadits ini sungguh telah shohih, maka ia menunjukkan tentang dua perkara yang berselisih di dalamnya pendapat para ulama’. Adapun perkara yang pertama, yaitu bahwa mengusap kedua telinga, apakah wajib atau sunnah (mustahab)? Pendapat pertama (wajibnya mengusap telinga) didukung oleh orang-orang Hanabilah. Hujjah mereka adalah hadits ini, karena sesungguhnya hadits ini tegas dalam memasukkan kedua telinga dalam kategori kepala. Tidaklah demikian, kecuali untuk menjelaskan bahwa hukum keduanya dalam pengusapan seperti hukum kepala dalam hal itu. Jumhur condong menyatakan bahwa mengusap kedua telinga adalah sunnah (mustahab) saja sebagaimana yang tertera dalam kitab Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah (1/56). Namun kami belum pernah menemukan hujjah yang boleh dipegangi dalam menyelisihi hadits ini (yakni, hadits di atas), kecuali ucapan An-Nawawiy dalam Al-Majmu’ (1/415),
“Sesungguhnya hadits itu dho’if (lemah) dari seluruh jalur-jalur periwayatannya”. Jika anda telah mengetahui bahwa masalahnya tidaklah demikian, dan bahwa sebagian jalur-jalur periwayatan hadits itu adalah shohih, belum pernah ditelaah oleh An-Nawawiy; sebagiannya lagi shohih li ghoirih, maka anda mampu mengenal kelemahan hujjah ini (yakni, pernyataan An-Nawawiy), dan wajibnya berpegang teguh dengan pendapat yang ditunjukkan oleh hadits di atas berupa wajibnya mengusap kedua telinga, dan bahwa keduanya dalam hal itu seperti kedudukan kepala. Cukuplah sebagai teladan bagi kalian dalam pendapat ini Imam Sunnah Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal. Sedang pendahulu beliau dalam pendapat tersebut adalah sekelompok sahabat yang telah berlalu penyebutan nama sebagian diantara mereka di sela-sela men-takhrij hadits ini (yakni hadits di atas). Sedang An-Nawawiy sungguh telah mengembalikan pendapat ini (1/413) kepada mayoritas salaf”. [Lihat Ash-Shohihah (1/1/95/no. 36)]
Jadi, pendapat tentang wajibnya mengusap kedua telinga , sebab ia adalah bagian dari kepala adalah pendapat yang terkuat berdasarkan hadits di atas. Oleh karenanya, kebanyakan salaf (sahabat dan tabi’in) menguatkan pendapat ini.
Al-Imam Al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidziy -rahimahullah- berkata tentang hadits yang menyatakan bahwa telinga termasuk kepala, “Amalan adalah berdasarkan hadits ini di sisi mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, dan orang-orang setelahnya bahwa kedua telinga termasuk bagian dari kepala. Pendapat inilah yang dinyatakan oleh Sufyan Ats-Tsauriy, Ibnul Mubarok, Asy-Syafi’iy, Ahmad, dan Ishaq”. [Lihat Sunan At-Tirmidziy (1/152), cet. Dar Ihya' At-Turots Al-Arobiy, 1422 H]
Perkara lain yang perlu ditoleh ketika berwudhu’ –khususnya saat membasuh wajah-, berkumur-kumur, dan menghirup air ke dalam hidung dari satu telapak tangan, lalu menyemburkannya. Berkumur dan menghirup air ke hidung merupakan kewajiban yang masuk dalam kewajiban membasuh wajah, sebab mulut dan hidung bagian dari wajah.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
وَإِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلِيَجْعَلْ فِي أَنْفِهِ مَاءً ثُمَّ لْيَنْتَثِرْ
“Jika seorang diantara kalian berwudhu’, maka hendaknya memasukkan air dalam hidungnya, lalu semburkanlah”. [Muslim dalam Ath-Thoharoh (237)]
Beliau juga bersabda dalam memerintahkan berkumur,
إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ
“Jika engkau berwudhu’, maka berkumur-kumurlah”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (144). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Sunan Abi Dawud (1/48/no. 144), cet. Maktabah Al-Ma'arif, 1421 H]
Di dalam hadits ini terdapat perintah berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung, lalu menyemburkannya. Ini menunjukkan wajibnya kedua perkara itu, sebab segala yang diperintahkan beliau hukumnya wajib, kecuali jika ada dalil lain yang memalingkan hukumnya menjadi mustahab atau mubah, sedang dalam perkara ini tak ada dalil yang memalingkannya. Jadi, hukumnya tetap wajib. Wallahu a’lam bish showaab.
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 118 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
http://almakassari.com/artikel-islam/fiqh/beginilah-cara-wudhu-dalam-sunnah.html
http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1653

Berwudhu dengan Air yang Tercampur Sabun


Bolehkah berwudhu dengan air bak mandi yang terkena percikan sabun hingga berubah warna, bau, dan rasanya?
Dijawab oleh Al-Ustadz Muhammad As-Sarbini Al-Makassari :
Air yang mengalami perubahan dari aslinya, baik perubahan warna, bau, atau rasa karena pengaruh campuran unsur lain yang suci, namun tidak didominasi oleh campuran tersebut dan masih tetap dinamakan air, tetap suci dan menyucikan (thahur). Seperti perubahan air bak yang bercampur dengan percikan sabun, air kolam yang kejatuhan daun-daun, air sawah yang bercampur tanah, atau yang lainnya. Ini tetap dinamakan air dan sah untuk wudhu atau mandi.
Berbeda halnya dengan air yang dicampur dengan bahan minuman seperti susu, kopi, teh, atau bumbu masakan, dan semacamnya, yang mendominasinya dan mengubah namanya menjadi nama lain, sehingga tidak lagi dinamakan air secara mutlak. Misalnya, dinamakan minuman teh, kopi, susu, atau kuah, dan yang semacamnya. Yang seperti ini sudah tidak termasuk kategori air yang menyucikan, meskipun suci. Dengan demikian, jenis ini tidak sah untuk wudhu dan mandi.
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berwudhu dengan air laut. Padahal air laut telah berubah rasanya menjadi asin dengan perubahan yang sangat drastis dari asal rasa air yang tawar. Demikian pula perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menggunakan air yang dicampuri daun bidara (yang telah ditumbuk halus) bagi wanita yang mandi suci dari haid/nifas dan dalam memandikan jenazah. Padahal campuran daun bidara tersebut tentu saja akan memberi perubahan pada air.
Lebih dari itu, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa air yang mengalami perubahan warna, bau, atau rasa oleh campuran unsur lain, tidak lagi termasuk kategori air yang menyucikan.
Inilah pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Al-Fatawa (21/17-20 cet. Darul Wafa’), Asy-Syaikh As-Sa’di di dalam Al-Mukhtarat Al-Jaliyyah (hal. 12-13), Asy-Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa (10/19-20), dan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (1/38, 44, cet. Muassasah Asam). Ini juga adalah mazhab Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Ahmad.
Kalau pun terjadi perubahan warna, bau, atau rasa karena pengaruh benda najis yang bercampur dengannya, air itu bernajis dan sudah tidak suci lagi. Salah satu saja dari tiga sifat tersebut yang berubah, baik warna, bau, atau rasanya, maka air itu telah ternajisi dan tidak sah untuk wudhu atau mandi.
Kesimpulannya, air hanya terbagi menjadi dua:
1. Air yang suci lagi menyucikan (thahur), meskipun berubah sebagian sifatnya oleh campuran unsur suci, selama tidak mengubahnya keluar dari nama air ke nama lain. Jenis ini sah untuk wudhu dan mandi.
2. Air yang ternajisi oleh unsur najis yang mengubah salah satu sifatnya, baik warna, bau, maupun rasanya. Jenis ini tidak sah untuk wudhu dan mandi.
Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah Asy Syariah, no. 60/V/1431 H/2010, hal. 72-73.
http://fadhlihsan.wordpress.com/2011/01/16/tata-cara-wudhu-rasulullah-disertai-gambar/

 http://kaahil.wordpress.com/2011/11/22/ringkasan-cara-wudhu/

Mengenal Ciri-ciri dan Pribadi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam

Kelahiran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
1. Allah Ta’ala berfirman:
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan mereka Al Kitab dan Al Hikmah dan sebelum itu, mereka benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata.”(QS. Ali Imran:164)
2. Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: “Sesungguhnya saya ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Esa.” (QS. Al Kahfi:11)
3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin. Beliau menjawab:“Pada hari itulah aku dilahirkan, lalu diangkat menjadi Rasul dan diturunkan Al-Qur’an kepadaku.” (HR. Muslim)
4. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dilahirkan pada hari Senin bulan Rabi’ul Awal di Makkah Al Mukarramah tahun Al Fiil (571 M), berasal dari kedua orang tua yang sudah ma’ruf. Bapaknya bernama Abdullah bin Abdul Muthallib dan ibunya bernama Aminah binti Wahb. Kakek beliau memberinya nama Muhammad. Bapak beliau meninggal dunia sebelum kelahirannya.
5. Sesungguhnya termasuk kewajiban seorang muslim adalah hendaknya dia mengetahui kedudukan Rasul yang mulia ini, berhukum dengan Al Qur’an yang diturunkan kepadanya, berakhlak dengan akhlaknya serta mengutamakan dakwah kepada Tauhid yang mana risalahnya dimulai dengannya sesuai firman Allah Ta’ala:
“Katakan: Sesungguhnya saya hanya menyembah Rabbku dan saya tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya.” (QS. Al-Jin:20)

Nama dan Garis keturunan (Nasab) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

1. Allah Ta’ala berfirman:
“Muhammad adalah Rasulullah.” (QS. Al Fath:29)
Silsilah Muhammad dari kedua orang tuanya kembali ke Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr (Quraish) bin Malik bin an-Nadr (Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (Amir) bin Ilyas bin Mudar bin Nizar bin Ma`ad bin Adnan.[9] Adnan merupakan keturunan laki-laki ke tujuh dari Ismail bin Ibrahim, yaitu keturunan Sambin Nuh.[10] Muhammad lahir di hari Senin, 12 Rabi’ul Awal tahun 571 Masehi (lebih dikenal sebagai Tahun Gajah).
Lebih Jelasnya silsilah Muhammad Sallallahu’alaihi wassalam adalah : Beliau adalah Abu al-Qasim Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdimanaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaima bin Mudrikah bin Ilyas bin bin Mudhar bin Nizar bin Maad bin Adnan bin Udad bin al-Muqawwam bin Nahur bin Tayrah bin Ya’rub bin Yasyjub bin Nabit bin Ismail bin Ibrahim “Kekasih Allah” (alaihima as-salam) bin Tarih atau Azar bin Nahur bin Saru’ bin Ra’u bin Falikh bin Aybir bin Syalikh bin bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh (alaihis salam) bin Lamk bin Mutusyalkh bin Akhnukh — yaitu Nabi Idris keturunan Nabi Adam yang pertama menjadi nabi dan yang menulis dengan pena — bin Yarda bin Mahlil bin Qinan bin Yanish bin Syits bin Adam alaihissalam.
Nasab ini disebutkan oleh Muhammad bin Ishak bin Yasar al-Madani di salah satu riwayatnya. Nasab Rasulullah sampai Adnan disepakati oleh para ulama, sedangkan setelah Adnan terjadi perbedaan pendapat. Yang dimaksud Quraisy adalah putra Fihr bin Malik atau an-Nadhr bin Kinanah.
2. Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Saya memiliki lima nama: Saya Muhammad, saya Ahmad, saya Al-Mahi yang Allah menghapus kekufuran denganku, saya Al-Hasyir yang manusia dikumpulkan di atas kedua kakiku, dan saya Al-’Aqib yang tidak ada Nabipun setelahnya.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dan Allah menamakannya dengan “Raufur Rahim”
Qushayy
                          (lahir 400M)
                               |
        +----------------------+----------------------+
        |                      |                      |
  'Abd'l-'Uzza            'Abd Manaf             'Abd'd-Dar
        |                (lahir 430M)
        |                      |
        |           +----------+-----------+----------+
      Asad          |          |           |          |
        |       Muttalib    Hasyim       Naufal   'Abd Syams
        |                (lahir 464M)                 |
    Khuwailid                  |                    Umayya
        |               'Abd'l-Muttalib               |
   +----+----+            (lahir 497M)               Harb
   |         |                 |                      |
'Awwam   Khadijah              |                  Abu Sufyan
   |                           |                      |
 Zubair                        |                   Mu'awiya
                               |
   +--------+----------+-------+--+-----------+----------+
   |        |          |          |           |          |
Hamzah   'Abbas   'Abdullah   Abu Lahab   Abu Talib   Harith
                 (lahir 545M)                 |
                       |           +----------+----------+
                       |           |          |          |
                   MUHAMMAD     'Aqil       'Ali       Ja'far
                 (lahir 570M)      |          |
                                   |      +---+---+
                                   |      |       |
                                Muslim  Hasan  Husain
3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenalkan dirinya kepada kita dengan beberapa nama: “Saya Muhammad, saya Ahmad, saya Al Muqaffy (Nabi terakhir) dan Al Hasyir, saya Nabi At Taubah, Nabi Ar Rahman.” (HR. Muslim )
4. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidaklah kamu heran bagaimana Allah memalingkan dari saya cacian orang-orang Quraisy dan laknat mereka? Mereka mencaci dan melaknat saya (dengan sesuatu) yang sangat tercela, dan saya adalah Muhammad.” (HR. Bukhari )
5. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah memilih dari keturunan Ismail Kinayah, dan dari Kinayah Allah memilih Quraisy, dari Quraisy Allah memilih bani Hasyim, dan dari bani Hasyim Allah memilih saya.”(HR. Muslim )

6. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya:
“Namailah diri kalian dengan nama-nama saya, tapi janganlah kalian berkuniah (mengambil gelar) dengan kuniah saya. Karena sesungguhnya saya adalah Qasim sebagai pembagi diantara kalian.” (HR. Muslim )

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Seolah-olah kamu melihatnya

1. Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yangpaling tampan wajahnya, paling bagus bentuk penciptaannya, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. (Muttafaq ‘Alaih)
2. Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkulit putih dan berwajah elok. (HR. Muslim)
3. Bahwasanya badan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, dadanya bidang, jenggotnya lebat, rambutnya sampai ke daun telinga, saya (Shahabat-pent) pernah melihatnya berpakaian merah, dan saya tidak pernah melihat yang lebih indah dari padanya. (HR. Bukhari)
4. Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepalanya besar, demikian juga kedua tangan dan kedua kakinya, serta tampan wajahnya. Saya (Shahabat-pent) belum pernah melihat orang yang seperti dia, baik sebelum maupun sesudahnya. (HR. Bukhari)
5. Bahwasanya wajah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bundar bagaikan Matahari dan Bulan. (HR. Muslim)
6. Bahwasanya apabila Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam gembira, wajahnya menjadi bercahaya seolah-olah seperti belaian Bulan, dan kami semua mengetahui yang demikian itu. (Muttafaq ‘Alaih)
7. Bahwasanya tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tertawa kecuali dengan senyum, dan apabila kamu memandangnya maka kamu akan menyangka bahwa beliau memakai celak pada kedua matanya, padahal beliau tidak memakai celak. (Hadits Hasan, Riwayat At Tirmidzi)
8. Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata: “Tidak pernah saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tertawa terbahak-bahak sehingga kelihatan batas kerongkongannya. Akan tetapi tertawa beliau adalah dengan tersenyum.” (HR. Bukhari)
9. Dari Jabir bin Samrah Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Saya pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada bulan purnama. Saya memandang beliau sambil memandang bulan. Beliau mengenakan pakaian merah. Maka menurut saya beliau lebih indah daripada bulan.” (Dikeluarkan At Tirmidzi, dia berkata Hadits Hasan Gharib. Dan dishahihkan oleh Al Hakim serta disetujui oleh Adz-Dzahabi)
10. Dan betapa indahnya ucapan seorang penyair yang mensifati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sya’irnya:
“Si Putih diminta memohon hujan dari awan dengan wajahnya.
Si Pemberi makan anak-anak yatim dan pelindung para janda.”
Sya’ir ini berasal dari kalamnya Abu Thalib yang disenandungkan oleh Ibnu Umar dan yang lain. Ketika itu kemarau melanda kaum muslimin, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memohon hujan untuk mereka dengan berdo’a: Allahummasqinaa (Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami), maka turunlah hujan. (HR. Bukhari)
Adapun makna dan sya’ir tersebut adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang disifati dengan Si Putih diminta untuk menghadapkan wajahnya yang mulia kepada Allah dan berdo’a supaya diturunkan hujan kepada mereka. Hal itu terjadi ketika beliau masih hidup, adapun setelah kematian beliau maka Khalifah Umar bin Al Khathab bertawasul dengan Al Abbas agar dia berdo’a meminta hujan dan mereka tidak bertawasul dengan beliau.

Cap Kenabian Beliau

1. Dari Jabir bin Samrah Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Saya pernah melihat cap kenabian diantara kedua bahu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam , (cap itu berbentuk) gondok merah seperti telur burung dara yang menyerupai warna jasadnya.” (HR. Muslim)
2. Dari Abdullah bin Sarjas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saya (juga) telah menemuinya, makan makanannya, minum minumannya, dan saya pernah melihat cap kenabian di punuk pundaknya sebelah kiri, di atas cap kenabian tersebut terkumpul tahi lalat semisal kutil.” (HR. Muslim)
3. Dari Al Ja’du bin Abdur Rahman berkata: “Saya mendengar As Sa’ib bin Yasid berkata: “Bibi saya pergi membawa saya ke Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam , kemudian berkata: Wahai Rasulullah , sesungguhnya anak keponakan saya ini kurang sehat. Maka beliau mengusap kepala saya dan mendoakan keberkahan buat saya. Lalu beliau berwudhu, dan saya meminum air wudhu beliau. Kemudian saya berdiri di belakang punggungnya. Saya melihat cap kenabian di antara kedua bahunya seperti telur burung puyuh.” (Mutafaq ‘Alaih)

Keharuman aroma badan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam


1. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mempunyai warna kulit yang bersih, keringatnya seperti mutiara, apabila berjalan beliau mendorongkan badannya ke depan. Belum pernah saya menyentuh sutra bergambar yang lebih lembut dari tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam . Dan saya belum pernah mencium minyak wangi dari Misk maupun Ambar yang lebih harum dari baunya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .” (Mutafaq ‘Alaih)
2. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi pernah mengunjungi kami, kemudian beliau tidur siang sehingga berkeringat. Datanglah ibu saya dengan membawa sebuah botol. Kemudian beliau mengalirkan keringat beliau ke botol tersebut, sehingga Nabi terbangun dan bertanya: Wahai Ummu Sulaim, apa yang kamu lakukan? Ibu saya menjawab: Keringatmu ini akan kami jadikan sebagai parfum. Karena dia merupakan parfum yang paling wangi.” (HR. Muslim)
3. Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dikenal dengan keharuman bau bila bersua. (Disahihkan oleh Al-Albani di Shahih Al Jami’)
4. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu , bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah menolak bila diberikan minyak wangi. (HR. Bukhari)
5. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya: “Sebaik-baik minyak wangi adalah Misk.” (HR. Muslim)
(Dinukil dari: Mengenl Pribadi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam , Penulis: Syaikh Muhammad Jamil Zainu. Alih bahasa: Mukhlish Zuhdi. Penerbit Yayasan Al-Madinah, Shafar 1419 H, hal. 11-16, 22-23)

http://www.salafy.or.id/?p=186
http://www.salafy.or.id/?p=187
http://kebunhidayah.wordpress.com/2011/11/07/mengenal-ciri-ciri-dan-pribadi-rasulullah-shalallahu-%E2%80%98alaihi-wasallam/

http://kaahil.wordpress.com/2011/11/14/lengkap-namakelahiransilsilahciri-fisik-gambaran-nabi-muhammad-rosulullah-shalallahu-%E2%80%98alaihi-wasallam-manusia-yangpaling-tampan-wajahnya-paling-bagus-bentuk-penciptaannya-tidak/

Bolehkah menggunakan kata “Halo” di saat menjawab panggilan HP/telepon? Beberapa orang mengatakan bahwa itu adalah salamnya orang-orang Kristen dan non Muslim

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Bolehkah menggunakan kata “Halo” di saat menjawab panggilan telepon? Beberapa orang mengatakan bahwa itu adalah salamnya orang-orang Kristen dan non Muslim.
Jawab:
Bismillahirahmanirrahim, semoga shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah, keluarga beliau, para sahabat, serta para pengikut jejak mereka.
Tentang perkara tersebut, aku tidak tahu adanya larangan menggunakan kata “Halo”. Masyarakat sudah menjadikannya sebuah kebiasaan dan maknanya pun telah diketahui. Oleh karena itu perkara ini diperbolehkan.
Masyarakat pun terkadang sudah familiar dengan kata-kata non Arab, dan karena hal tersebutlah mereka menggunakannya. Hal yang demikian tidak mengapa.
Sebagai tambahan, jika seseorang menggunakan kata “Ya” menggantikan kata “halo” ini juga tidak mengapa. Dan yang penting untuk dimengerti di sini adalah diperbolehkannya menggunakan kata halo. Wallahu a’lam.

Diterjemahkan dari blog akhuna Abdullah Dwight (http://abuaaliyah.multiply.com/journal/item/25/Using_the_Word_Hello)

CATATAN :
Terdapat sebuah risalah yang berisi tentang pembahasan 24 pedoman dan bimbingan syar’i dalam menggunakan HP, diantaranya agar kaum muslimin menghindari pemggunaan kata “halo” ketika menjawab telepon. Risalah ini ditulis oleh Al-Akh Abu Ibrahim ‘Abdullah bin Ahmad bin Muqbil hafizhahullah, dengan mendapat taqrizh (pujian) dari Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Al-Wushabi Al-‘Abdali hafizhahullah. Silakan merujuknya melalui

http://kaahil.wordpress.com/2011/11/05/bolehkah-menggunakan-kata-%E2%80%9Chalo%E2%80%9D-di-saat-menjawab-panggilan-hptelepon-beberapa-orang-mengatakan-bahwa-itu-adalah-salamnya-orang-orang-kristen-dan-non-muslim/

Yang Perlu Diperhatikan untuk Menjadi Istri Sholihah

Lihatlah pada diri engkau wahai Istri…
Apakah engkau sebagai tempat yang tenang bagi suamimu? Dia merasa tenang untuk datang kepada engkau setelah pergi dan berpisah, penat, capek dan lelah? Atau engkau menghindarkan diri untuk menemaninya, dan sangat berat bagimu untuk ikut menanggung kegalauan perasaannya?

Sesungguhnya keberadaanmu sebagai tempat yang tenang bagi suami, mengingatkan engkau agar bisa sebagai tempat istirahat baginya dalam segala sisi; menebarkan ketenangan di rumah, menyiapkan makanannya dan membersihkan rumahnya, sehingga dia tidaklah mendengarkan kecuali kebaikan. Dan matanya tidak melihat pada dirimu kecuali kebaikan.
Jika engkau menginginkan suami yang bisa menyejukkan matamu, maka jadilah penyejuk mata baginya. ‘Abdullah bin Ja’far berwasiat kepada putrinya pada hari pernikahannya, “Hindarilah olehmu sifat cemburu, karena merupakan kunci terjadinya perceraian. Jauhilah olehmu banyak mencela, karena akan menyebabkan kebencian. Pergunakanlah celak, karena merupakan perhiasan yang paling baik. Dan wewangian yang paling semerbak adalah air.”
Seorang ibu menasehati putrinya pada malam pernikahan, dia berkata, “Kamu wajib untuk qona’ah, mendengar dan taat, menjaga diri dan tenang. Jagalah kecintaan. peliharalah harta benda. Bantulah pekerjaannya. Kerjakan apa yang menyenangkannya. Simpanlah rahasianya. Jangan menentang perintahnya. Tutuplah cela dan sakunya. Cintailah dia ketika sudah tua. Jagalah lisanmu. Pilihlah tetanggamu. Dan kokohlah didalam keimananmu.”
Lalu di manakah engkau wahai wanita yang mulia dari wasiat-wasiat berharga ini untuk dipersembahkan kepada seorang suami yang disabdakan oleh Rosulullah,
“Dia adalah surga dan nerakamu.”
Maka tidak sepantasnya bagi seorang istri untuk tertawa di hadapan suaminya ketika dia dalam keadaan marah. Dan tidak sepantasnya bagi seorang istri tatkala suaminya marah, dia tinggalkan dan tidak berusaha untuk menjadikannya ridha. Karena hal ini akan semakin menambah kemarahan suami.
Betapa banyak istri yang mempunyai tempat tersendiri di dalam hati suaminya karena dia selalu berusaha untuk mencintainya dan membuatnya ridha, sampaipun tatkala sang suami marah kepadanya dalam keadaan dia yang salah terhadap hak istrinya. Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang wanita-wanita kalian yang berada di surga? Yang penyayang, banyak anak dan banyak meminta maaf; yaitu wanita yang tatkala dizhalimi (oleh suaminya) mengatakan, ‘Ini tanganku berada di tanganmu, aku tidak akan merasakan ketenangan hingga engkau ridha’.”
Dan istri harus tahu bahwa membantu suami adalah wajib baginya. Wajib baginya untuk menaati suami dalam perkara yang halal. Adapun dalam perkara yang harom, maka tidak boleh menaatinya. Karena itu wajib baginya untuk mengerjakan apa yang dibutuhkan oleh suami dirumahnya, tunduk kepadanya dan tidak sombong.
Istri sholihah adalah yang mengetahui tentang agungnya kedudukan suami; dan besarnya hak suami atasnya. Maka dia akan berusaha keras untuk memberikan ketenangan dan kebahagiaan kepadanya.
Seorang istri hendaknya merenungkan sabda Rosulullah,
“Seandainya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”
Maka wajib bagi istri untuk melayani suami dengan baik, menjaga rahasianya dan memelihara hartanya, karena dia adalah orang yang diamanati. Jangan sampai membuka tirainya kepada selain suami.
Melembutkan hati anak-anak atasnya. Menghindari sikap keras dan kasar. Jika suami memberikan bantuan atau hadiah -misalnya-, maka berterimakasihlah atas perbuatannya dan memujinya dengan baik.
Jangan mencela apa yang dia berikan dan jangan mencaci apa yang dia kerjakan untuk istri dan anak-anaknya. Istri harus mencari tempat-tempat yang bisa menjadikan suami ridha, kemudian bergegas mengerjakannya.
Selalu membantu suami untuk menjaga diri dan menghindar dari fitnah. Maka jangan tinggalkan tempat tidur suaminya, menyingkir tidur sendirian. Nabi bersabda,
“Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, kemudian istri menolaknya, kecuali yang di langit akan marah kepada istri tersebut hingga suami ridha kepadanya.”
Maka temanilah suami di dunia dengan cara yang baik. Kerjakan apa yang disukai suami -meski dia tidak menyukainya-, dan tinggalkanlah apa yang tidak disukai suami -meski dia menyukainya- karena mengharap pahala dari Alloh, dan sadar bahwa suami adalah tamu yang sedang singgah di tempatnya dan hampir pergi meninggalkannya, maka janganlah disakiti baik dengan ucapan maupun perbuatan. Rosulullah bersabda,
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia, kecuali istrinya dari bidadari berkata, ‘Jangan sakiti dia -semoga Alloh mencelakakan kamu-. Dia di sisimu hanyalah sekedar singgah, sebentar lagi akan meninggalkanmu menuju kami’.”
Ketahuilah bahwa wanita yang paling utama adalah yang selalu menganggap besar apa yang dilakukan oleh suaminya, meski perkara yang kecil.
Memuji di hadapan orang lain dengan kebaikan meski suami penuh dengan kekurangan. Dia percaya bahwa semua itu akan berakibat baik baginya. Dan akan menjadi pendorong bagi suaminya pada suatu hari nanti untuk merasakan kecintaan dan kasih sayang istri kepadanya.
Hendaklah bersih hatinya terhadap suaminya. Jika dia kurang di dalam memenuhi haknya, maka hendaklah dia pandai-pandai untuk menyampaikan hal tersebut dengan satu cara atau lainnya, tanpa menyakiti atau mencelanya, dengan mencari waktu yang tepat yang ketika itu pikiran suami sedang jernih dan lapang dada.
Kita memohon kepada Alloh agar menegakkan rumah-rumah kita di atas kebahagiaan. Dan kita memohon kepada Alloh agar menjadikan apa yang kita ucapkan ikhlas karena wajah-Nya Yang Mulia.

[Dinukil dari Kitab HARMONIS, Idaman Setiap Keluarga; Asy- Syaikh Salim Al-’Ajmi; Pustaka Salafiyah]

http://kaahil.wordpress.com/2011/12/06/rahasia-wanita-tercantik-di-dunia-tips-menjadi-isteri-sholehah-dambaan-para-suami-seandainya-aku-boleh-memerintahkan-seseorang-untuk-sujud-kepada-orang-lain-niscaya-aku-perintahkan-ist/

Pertanyaan: Bolehkah orang yang berkurban makan pagi dari daging sembelihannya?

Jawaban Al-Lajnah Ad-Daimah, KSA:
Disunahkan bagi yang menyembelih untuk tidak makan sesuatu pun sampai shalat ‘Idul Adha kemudian menyembelih kurbannya. Setelah itu dia menjadikan daging sembelihan tersebut sebagai makanannya yang pertama dia makan, apabila hal ini mudah dilakukan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama diantaranya: Ali radhiyallahu ‘anhu, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Malik rahimahullahu, Syafi’i rahimahullahu dan yang lainnya.
At-Tirmidzi dan Al-Atsram [1] meriwayatkan dari sahabat Buraidah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Dahulu, biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tidak berangkat ke tanah lapang pada hari ‘Idul Fitri sampai beliau makan pagi. Beliau juga tidak makan pada Idul Adha sampai selesai shalat Idul Adha.” Dalam riwayat Al-Atsram, “Sampai beliau menyembelih kurbannya.”
Imam Ahmad rahimahullahu mengatakan, “Apabila ia ingin menyembelih maka jangan makan dahulu. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam makan dari sembelihan beliau. Tetapi apabila ia tidak berkurban, boleh baginya makan sebelum atau sesudah shalat Idul Adha.” Wallahu a’lam. (Al-Lajnah Ad-Daimah) 

http://kaahil.wordpress.com/2011/11/05/makan-dulu-atau-sholat-ied-dulu-bolehkah-orang-yang-berkurban-makan-pagi-dari-daging-sembelihannya/

(TANYA JAWAB) CARA MEMANDIKAN &MENGKAFANI JENAZAH : Bagaimana cara mengelurkan kotoran jenazah? Apa harus mandi setelah selesai Memandikan Jenazah? Bolehkah Wanita yang Sedang Haid atau Nifas Memandikan Jenazah? Apakah Janin yang Gugur Harus Dimandikan? Bagaimana cara mengafani menurut syariat? Apa kain kafan harus berwarna putih? bolehkah kafan lebih dari 3 lembar? Berapa lembar kafan untuk jenazah anak kecil?

Mempersiapkan Jenazah Menuju Alam Barzakh

oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husain Al-Atsariyyah
Pada edisi yang lalu telah dibahas tuntunan dalam menghadapi sakaratul maut. Masih dalam rangkaian tema yang sama, berikut adalah bahasan tentang tata cara mempersiapkan jenazah menurut tata cara yang benar dalam Islam.
Sesosok jenazah terbujur di hadapan kita menanti uluran tangan insan yang hidup untuk memandikan, mengafani, menshalatkan dan menguburkannya. Yang demikian ini merupakan kewajiban orang yang masih hidup, namun bila telah ada sebagian orang yang menunaikannya, maka gugurlah kewajiban yang lain. (Al-Hawil Kabir, Al-Mawardi, 3/6. Al-Muhalla 4/343)
Berikut ini kami akan merinci penyelenggaraan jenazah seorang muslim, dimulai dari memandikannya.

Memandikan Jenazah

Hukum dimandikannya jenazah diperselisihkan ulama. Adapun penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) dalam masalah ini yang disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi t dalam Al-Majmu’ (5/112) tidaklah tepat. Karena kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t, perselisihan pendapat dalam masalah ini masyhur di kalangan madzhab Malikiyyah. Sampai-sampai Al-Imam Al-Qurthubi t menguatkan pendapat yang menyatakan hukumnya sunnah. Akan tetapi jumhur ulama berpendapat wajib, dan Ibnul ‘Arabi t telah membantah orang yang berpendapat dengan selain pendapat jumhur ini. (Fathul Bari 3/156)
Hadits Ibnu ‘Abbas c merupakan satu di antara beberapa dalil yang menunjukkan jenazah itu wajib dimandikan. Ibnu ‘Abbas c berkata: “Ketika seseorang sedang wuquf di Arafah, tiba-tiba ia jatuh dari hewan tunggangannya yang seketika itu menginjaknya hingga meninggal. Maka Nabi n memerintahkan para shahabatnya:
“Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara….”1
Yang Harus Diperhatikan sebelum Memandikan Jenazah    
Sebelum memandikan jenazah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Pertama: Jenazah laki-laki harus dimandikan oleh laki-laki dan jenazah wanita dimandikan oleh wanita pula, kecuali suami istri. Diperbolehkan suami memandikan jenazah istrinya dan sebaliknya istri boleh memandikan jenazah suaminya menurut pendapat jumhur ulama (Syarhus Sunnah, Al-Baghawi, 5/309, Al-Muhalla 3/405, Nailul Authar 4/37, Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ 2/489).
Dengan dalil hadits ‘Aisyah x:
“Nabi n kembali kepadaku setelah mengantarkan jenazah ke Baqi’. Ketika itu aku merasakan sakit pada kepalaku, maka aku katakan: “Aduh, kepalaku sakit.” Beliau n pun berkata: “Aduh, aku juga sakit kepalaku. Tidak bermudharat bagimu, seandainya engkau meninggal mendahuluiku, aku akan memandikan jenazahmu, mengafanimu, menshalatimu kemudian menguburkanmu.”2
Aisyah x berkata:
“Seandainya perkara yang telah lewat ini dapat kutemui pada waktu mendatang, niscaya tidak ada yang memandikan Nabi n kecuali istri-istri beliau.”3
Ibnu Hazm t menyatakan, suami boleh memandikan jenazah istrinya, istri pun boleh memandikan jenazah suaminya. (Al-Muhalla 3/405)
Kedua: Yang memandikan jenazah hendaklah orang yang memiliki pengetahuan tentang tata caranya, terlebih lagi bila orang tersebut dari kalangan keluarganya (Ahkamul Jana`iz, Asy-Syaikh Al-Albani t hal. 68). Dan diutamakan seorang yang shalih, karena ia dapat menahan dirinya untuk menceritakan aib (cacat/ cela) yang dilihatnya dari si mayit bahkan menutupinya. Rasulullah n bersabda:
“Siapa yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat.”4
Sebagaimana pula beliau n bersabda:
“Siapa yang memandikan (jenazah) seorang muslim lalu ia menyembunyikan (apa yang dilihatnya dari aib si mayit) maka Allah akan mengampuninya 40 kali.”5
Ketiga: Jenazah yang akan dimandikan jangan diletakkan di atas tanah karena akan mempercepat kerusakan jasadnya, tapi diletakkan di atas tempat tidur atau papan yang lurus. Papan tersebut pada bagian kaki mayit agak dimiringkan sehingga air basuhan dapat mengalir ke bawah kaki, tidak mengalir ke kepala mayat atau menggenang di bawah tubuhnya. (Al-Mughni 2/164, Al-Majmu’ 5/131, Asy-Syarhul Mumti’ 2/479)

Tata Cara Memandikan Jenazah 

Hadits ‘Aisyah x berikut ini mengawali pembicaraan kita tentang tata cara memandikan jenazah. Aisyah x berkata: “Ketika hendak memandikan Nabi n, mereka berkata: ‘Demi Allah, kami tidak tahu, apakah kami harus melepaskan pakaian Rasulullah n sebagaimana yang biasa kami lakukan terhadap orang yang meninggal di kalangan kami, atau kami harus memandikan beliau dalam keadaan beliau tetap mengenakan pakaiannya?’ Maka ketika mereka berbeda pendapat dalam masalah ini, Allah I memberikan rasa kantuk pada mereka hingga mereka pun tertidur. Sampai-sampai tidak ada seorang pun dari mereka kecuali dagunya menempel pada dadanya. Kemudian ada seseorang yang tidak mereka ketahui mengajak bicara mereka dari sisi rumah. Orang itu berkata: “Mandikanlah Nabi n dalam keadaan tetap mengenakan pakaiannya”. Setelahnya mereka pun bangkit menuju Rasulullah n untuk memandikannya sementara gamis beliau tetap menempel pada tubuh beliau. Mereka menuangkan air di atas gamis beliau dan menggosok tubuh beliau dengan gamis tersebut, tidak langsung dengan tangan-tangan mereka.”6

DOWNLOAD GRATIS ANIMASI VIDEO CARA MEMANDIKAN MAYAT/JENAZAH SECARA ISLAM

http://downloads.ziddu.com/downloadfile/9031697/DeadWash.exe.html

Kemudian, hadits Ummu ‘Athiyyah Al-Anshariyyah x yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim t dalam Shahih keduanya, kita bawakan di bawah ini karena hadits ini termasuk pokok dalam masalah memandikan jenazah dan tata caranya. Sehingga sekelompok shahabat dan ulama dari kalangan tabi’in di Bashrah mengambil cara memandikan jenazah dari Ummu ‘Athiyyah (Al-Isti’ab 4/1947, Al-Ishabah 8/261). Ibnul Mundzir t berkata: “Tidak ada hadits yang berbicara tentang memandikan jenazah yang lebih tinggi daripada hadits Ummu ‘Athiyyah x.” (Fathul Bari 3/159)
Shahabiyah yang biasa memandikan jenazah ini berkata, mengisahkan saat ia memandikan jenazah Zainab putri Rasulullah n:
“Nabi n masuk menemui kami ketika kami akan memandikan jenazah putri beliau Zainab. Beliau berkata: ‘Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih bila kalian pandang perlu, dengan air dan daun sidr. Jadikanlah akhir basuhannya bercampur dengan kapur barus atau sedikit dari kapur barus. Bila kalian telah selesai memandikannya, panggillah aku.” Maka ketika kami telah selesai, kami pun memanggil beliau. Beliau memberikan sarungnya pada kami seraya berkata: “Selimutilah tubuhnya7 dengan kain ini.”8
Ummu ‘Athiyyah juga mengabarkan:
Mereka menjadikan rambut putri Rasulullah n tiga pintalan, (sebelumnya) mereka menguraikannya (melepas ikatannya) kemudian mencucinya, lalu menjadikannya tiga pintalan.”9
Masih berita dari Ummu ‘Athiyyah x:
“Rasulullah n bersabda ketika putri beliau sedang dimandikan:
“Mulailah dari bagian kanannya dan tempat-tempat (anggota-anggota, ed) wudhunya.”10
Dari hadits-hadits di atas dapat disimpulkan bahwa cara memandikan jenazah adalah sebagai berikut: 
1. Ketika hendak dimandikan, pakaian yang masih menutupi tubuh mayat dilepas seluruhnya, sebagaimana hal ini biasa dilakukan di masa Nabi n yang ditunjukkan dalam hadits Aisyah x di atas. Dan bagian auratnya ditutup (Asy-Syarhul Mumti’ 2/492), karena Rasulullah n bersabda:
“Seorang lelaki tidak boleh melihat aurat laki-laki yang lain dan seorang wanita tidak boleh melihat aurat wanita lain.”11
Ibnu Qudamah t berkata: “Disenangi melepas pakaian si mayat ketika hendak dimandikan dan auratnya ditutup dengan kain.” (Al-Mughni 2/163)
Mayat dimandikan di tempat yang tertutup dari pandangan mata, yang hanya dihadiri oleh orang yang memandikannya beserta orang yang membantunya bila memang diperlukan. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata: “Sepantasnya mayat dimandikan di tempat yang tidak terlihat manusia, bisa di kamar atau di kemah dan semisalnya. Karena menutup mayat dari pandangan mata lebih utama dari menyingkapnya. Hal ini disebabkan karena mayat itu terkadang berada dalam keadaan yang tidak disenangi (untuk dipandang) sehingga menampakkannya di hadapan manusia merupakan satu bentuk penghinaan terhadapnya. Dan juga terkadang mayat itu menakutkan bagi orang yang melihatnya, terlebih lagi bagi sebagian manusia yang mereka ini sangat ketakutan bila melihat mayat. Dengan demikian, menutup mayat dari pandangan manusia lebih utama dan lebih menjaga.” (Asy-Syarhul Mumti’ 2/493)
2. Mayat mulai dicuci anggota-anggota wudhunya. 
Ibnu Qudamah t mengatakan: “Setelah dihilangkan najis dari si mayat (dan dibersihkan, pen.), ia diwudhukan oleh orang yang memandikannya seperti wudhu untuk shalat. Dicuci kedua telapak tangannya. Lalu diambil kain yang kasar, dibasahi dan diletakkan pada jari orang yang memandikan si mayat. Kemudian dengan jari yang dibalut kain tersebut gigi geligi mayat diusap. Demikian pula bagian dalam hidungnya hingga bersih. Hal ini dilakukan dengan lemah lembut. Kemudian wajah mayat dicuci dan disempurnakan wudhunya.” (Al-Mughni 2/165)
Setelah mayat diwudhukan, rambutnya digerai dengan perlahan dan dicuci bersih. (Al-Hawil Kabir 3/10, Al Majmu’ 5/132). Bila mayat itu seorang wanita, rambutnya disisir dan dikepang tiga, dua kepangan pada dua sisi kepala dan satunya lagi di bagian rambut depan/ jambul, sebagaimana dinyatakan Sufyan Ats-Tsauri t12. Kemudian, sebagaimana kata Ummu ‘Athiyyah x:
“Kami menjalin rambutnya menjadi tiga pintalan dan meletakkannya di belakangnya.”13
3. Setelahnya dimulai membasuh bagian kanan tubuh mayat. 
Mayat dimandikan dengan tiga kali siraman atau lebih bila dipandang perlu oleh yang memandikan, namun tetap dalam hitungan ganjil. Pada sebagian siraman, mayat dibasuh dengan air yang dicampur dengan b Namun bila tidak didapatkan, bisa digantikan dengan pembersih lainnya seperti sabun atau yang lainnya (Ahkamul Jana`iz, hal. 64) karena Allah I berfirman:
“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.”
“Allah tidak membebani satu jiwa kecuali sekadar kemampuannya.”
Pada akhir basuhan, air dicampur dengan wewangian, lebih utama lagi dicampur dengan kapur barus yang dihaluskan. (Ahkamul Jana`iz, hal. 65, Asy Syarhul Mumti’ 2/497)
Air yang digunakan untuk memandikan mayat sebaiknya air dingin, namun bila ada kebutuhan dan melihat kemanfaatan bagi kebersihan tubuh si mayat, bisa digunakan air hangat (Al-Hawil Kabir 3/9, Asy Syarhul Mumti’ 2/497).
4. Ketika dimandikan, bagian-bagian tubuh mayat digosok perlahan dengan kain perca/ washlap atau semisalnya. Caranya, orang yang memandikan membungkus tangannya dengan kain tersebut atau menggunakan kaos tangan. Kemudian tubuh mayat digosok perlahan dari bawah kain penutup tubuhnya. Hal ini dilakukan agar orang yang memandikan tidak menyentuh aurat si mayit. Sebaiknya disiapkan lebih dari satu kain perca/ kaos tangan, sehingga setelah kain/ kaos tangan yang satu dipakai untuk menggosok bagian pembuangan si mayat, kain/ kaos tangan tersebut diganti dengan yang lain. (Al-Umm 1/302, Al-Hawil Kabir 3/9, Al-Majmu’ 5/130, Asy Syarhul Mumti’, 2/494)
Setiap kali basuhan, tangan orang yang memandikan tidak lepas dari mengurut-urut perut mayat agar sisa kotoran yang mungkin tertinggal dapat keluar. (Asy Syarhul Mumti’, 2/496)
Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata: “Kemudian mayat dimandikan (mulai) dari sisi kanan lehernya, belahan (kanan) dadanya, rusuknya, paha dan betis (kanan)nya. Kemudian kembali ke bagian kiri tubuhnya dan diperbuat semisal bagian kanan tubuhnya. Setelahnya mayat dimiringkan ke rusuk kirinya, lalu dicuci punggungnya, tengkuk, paha dan betis kanannya. Kemudian dimiringkan ke rusuk kanannya dan dilakukan hal yang sama dengan sebelumnya. Setelah itu dicuci bagian bawah kedua telapak kakinya, antara dua pahanya dan belahan pantatnya dengan kain perca.” (Al-Hawil Kabir 3/10, Al Majmu’ 5/133)
Selesai dari semua itu, seluruh tubuh mayat disiram dengan air yang dicampur dengan kapur barus.
Usai basuhan terakhir, kedua tangan mayat dirapatkan pada rusuknya dan kedua kakinya dirapatkan hingga kedua mata kakinya saling menempel, kedua pahanya pun saling dirapatkan. Bila keluar sesuatu dari tubuh mayat setelah selesai dimandikan maka dibersihkan dan tubuhnya dibasuh sekali lagi. Terakhir, tubuh mayat dikeringkan dengan kain. Setelah kering, diletakkan di atas kafan yang telah disiapkan. (Al-Umm 1/303, Al-Hawil Kabir 5/12)

Mengusap Perut Mayat agar Kotoran yang Ada di Dalamnya Keluar 

Ketika mayat telah dibaringkan di tempat yang disiapkan untuk memandikannya, mayat didudukkan sedikit (hampir mendekati posisi duduk) dengan mengangkat kepalanya. Lalu orang yang memandikan menjalankan tangannya di atas perut mayat berulang kali (diusap dengan tekanan/ diurut) dengan lembut agar keluar kotoran yang mungkin masih ada dalam perutnya14, kemudian dibersihkan/ dicebok dengan cara orang yang memandikan membalutkan tangannya dengan kain atau dengan memakai kaos tangan, kemudian ia membersihkan kemaluan si mayat dari kotoran yang keluar. Hal ini dilakukan untuk mencegah jangan sampai kotoran itu keluar setelah mayat selesai dimandikan sehingga mengotori kafannya. (Al-Umm 3/404, Al-Majmu’ 5/130, Asy-Syarhul Mumti’ 2/493-494)
Disenangi bila di dekat tempat tersebut diletakkan wangi-wangian seperti bukhur (dupa yang dibakar sehingga asapnya menyebarkan aroma yang wangi) agar bau tidak sedap yang mungkin tercium dari kotoran si mayat bisa tersamarkan. (Al- Majmu’ 5/135, Al-Mughni 2/165).
Apa yang Dilakukan setelah Selesai Memandikan Jenazah? 
Selesai memandikan jenazah, disunnahkan bagi yang memandikannya untuk mandi menurut pendapat jumhur ulama15 (Al-Majmu’ 5/144), dengan dalil sabda Nabi n:
“Siapa yang memandikan jenazah, maka hendaklah ia mandi. Dan siapa yang memikul jenazah, hendaklah ia berwudhu.”16
Perintah Rasulullah n dalam hadits di atas tidaklah bermakna wajib karena ada hadits lain yang mauquf17 namun hukumnya marfu’, kata Asy-Syaikh Al-Albani t. Salah satunya dari Ibnu ‘Umar c, ia menyatakan:
“Kami dulunya memandikan mayit, maka di antara kami ada yang mandi dan ada yang tidak mandi.”18
Bolehkah Wanita yang Sedang Haid atau Nifas Memandikan Jenazah?
Dalam masalah ini ahlul ilmi berbeda pendapat, antara yang membolehkan dengan yang menganggap makruh. ‘Alqamah berpendapat boleh, sedangkan Al-Hasan Al-Bashri dan Ibnu Sirin berpendapat makruh sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (2/254). Pendapat yang kami pandang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang membolehkan karena tidak adanya larangan dari Nabi n dalam hal ini. Pendapat ini dipilih Al-Imam An-Nawawi t dalam Al-Majmu’ (5/145).
Ditanyakan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta`19 tentang permasalahan ini, maka keluarlah fatwa dari lajnah ini bernomor 6193 dengan pernyataan: boleh bagi wanita yang sedang haid untuk memandikan dan mengafani jenazah wanita, atau jenazah suaminya secara khusus, karena haid tidak teranggap sebagai penghalang untuk memandikan jenazah. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah 8/369)

Mayat Meninggal dalam Keadaan Haid atau Junub

Apabila mayat meninggal dalam keadaan haid atau junub maka cukup dimandikan dengan sekali mandi karena tidak ada larangan dalam hal ini, demikian pendapat sejumlah ulama. (Al-Majmu’ 5/123). Pendapat inilah yang kuat, Insya Allah, walaupun dalam hal ini ada ulama lain yang memakruhkan bila si mayat hanya dimandikan sekali. Al-Hasan berpendapat mayat yang junub dimandikan dengan mandi janabah dulu, yang haid juga dimandikan mandi haid dulu, kemudian baru dimandikan dengan mandi jenazah, sehingga mayat dimandikan dua kali mandi. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah 2/254)
Apakah Janin yang Gugur Harus Dimandikan?
Bila janin tadi belum genap empat bulan maka tidak dimandikan, tidak pula dishalati. Dia dibalut dalam kain dan dikuburkan, kata Ibnu Qudamah t, karena sebelum berusia empat bulan janin itu belum ditiupkan ruh sehingga belum menjadi manusia. Adapun bila janin telah genap empat bulan maka harus dimandikan. (Al-Mughni 2/200, Asy-Syarhul Mumti’2/507)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Bersambung insya Allah)

1 HR. Al-Bukhari no. 1265 dalam Shahih-nya, Kitab Al-Jana`iz, bab Al-Kafan fi Tsaubaini dan Muslim no. 1206, kitab Al-Hajj, bab Ma Yuf’alu bil Muhrim idza Maata.
2 HR. Ahmad 6/228 dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ahkamul Jana`iz, hal. 67.
3 HR. Ahmad 6/267, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil t dalam Al-Jami’ush Shahih 2/248
4 HR. Al-Bukhari no. 2442, kitab Al-Mazhalim, bab La Yazhlimul Muslim Al-Muslima wa Yuslimuhu dan Muslim no. 2580, kitab Al-Birru wash Shilah wal Adab, bab Tahrimuzh Zhulm
5 HR. Al-Hakim 1/354, 362. Ia berkata tentang hadits ini: “Shahih di atas syarat Muslim”. Adz-Dzahabi menyepakatinya. Asy-Syaikh Al-Albani t berkata dalam Ahkamul Jana`iz hal. 69: “Hadits ini memang shahih di atas syarat Muslim sebagaimana yang dikatakan keduanya.”
6 HR. Abu Dawud no. 3141, Kitab Al-Jana`iz, bab Fi Satril Mayyit ‘inda Ghaslihi, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud
7 Al-Imam Al-Baghawi t menyatakan: “Rasulullah n menyuruh mereka untuk menjadikan kain beliau sebagai syi’ar bagi putrinya. Makna syi’ar adalah pakaian/ kain yang langsung bersentuhan dengan tubuh, tanpa ada penghalang. Sedangkan ditsar adalah pakaian/ kain yang diletakkan di atas syi’ar.” (Syarhus Sunnah 5/306)
8 HR. Al-Bukhari no. 1253, Kitab Al-Jana`iz bab Ghuslil Mayyit wa Wudhu‘ihi bil Ma‘i was Sidr dan Muslim no. 939 Kitab Al-Jana`iz bab Fi Ghuslil Mayyit
9 HR. Al-Bukhari no. 1260, Kitab Al-Jana`iz, bab Naqdhu Sya’ril Mar`ah dan Muslim no. 939
Ummu Athiyyah x berkata:
“Kami menyisirnya menjadi tiga jalinan.” (HR. Al-Bukhari no. 1254 bab Ma Yustahabbu An Yughsala Witran dan Muslim no. 939)
10 HR. Al-Bukhari no. 1255 bab Yubda`u bi Mayaminil Mayyit dan Muslim no. 939
11 HR. Muslim no. 338 kitab Al-Haidh, bab Tahrimun Nazhar ilal ‘Aurat
12 HR. Al-Bukhari no. 1262, bab Yuj’al Sya’rul Mar`ati Tsalatsata Qurun
13 HR. Al-Bukhari no. 1263, bab Yulqa Sya’rul Mar`ah Khalfaha
14 Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata: “Mayat itu mengendor/ lunak seluruh urat syarafnya, sehingga bila kepalanya diangkat pada posisi demikian dan perutnya diurut dengan lembut maka bisa jadi akan keluar kotoran yang ada dalam perutnya yang memang telah siap untuk keluar.” (Asy-Syarhul Mumti’ 2/493)
15 Karena memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini.
16 HR. Abu Dawud no. 3161 dan At-Tirmidzi no. 993 dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abu Dawud dan Shahih At-Tirmidzi
17 Ucapan, perbuatan ataupun taqrir dari shahabat, bukan dari Rasulullah n.
18 HR. Ad-Daraquthni no. 191 dan Al-Khathib dalam Tarikh-nya 5/424 dengan sanad shahih sebagaimana dinyatakan Al-Hafizh, kata Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ahkamul Jana`iz hal. 72
19 Yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dan wakil ketua Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi

Mengafani Jenazah

oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah
Ketika mayat selesai dimandikan, ia pun wajib dikafani. Bagaimana cara mengafani menurut syariat? Jawabannya ada di bahasan berikut.
Kematian adalah suatu kepastian. Kita ataupun orang-orang di sekitar kita mesti akan menemuinya karena Allah I telah menetapkan:
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian.” (Ali Imran: 185)
Rasulullah r sendiri telah mengingatkan kita untuk memperbanyak mengingat mati dalam titahnya yang agung:
“Perbanyaklah kalian mengingat penghancur kelezatan.” (Kata perawi) yang dimaksud beliau r adalah kematian.1
Seorang muslim yang meninggal dunia punya hak yang harus ditunaikan oleh kaum muslimin yang masih hidup sebagai kewajiban kifayah yang bila sudah ditunaikan oleh sekelompok orang akan menggugurkan kewajiban bagi yang lain. Kewajiban yang dimaksud di sini adalah si mayat dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan. Hal-hal yang berkaitan dengan memandikan mayat telah dibahas dalam edisi sebelum ini, selanjutnya masalah mengafani mayat.
Mengafani Mayat
Setelah mayat dimandikan, ia wajib dikafani karena adanya perintah Nabi r yang tersebut dalam kisah seseorang yang sedang wuquf di Arafah, tiba-tiba ia jatuh dari hewan tunggangannya yang seketika itu menginjaknya hingga ia meninggal dunia. Nabi r pun memerintahkan para shahabatnya:
“Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara. Dan kafani dalam dua pakaian/ kain….”2
Al-Imam An-Nawawi t ketika mensyarah (menjelaskan) hadits Aisyah x:
“Rasulullah r dikafani dalam tiga kain yang putih Suhuliyyah.”3
Beliau berkata: “Dalam hadits ini dan hadits Mush’ab bin Umair4 yang terdahulu serta selain kedua hadits ini, menunjukkan wajibnya mengafani mayat. Ini merupakan kesepakatan kaum muslimin.” (Syarh Shahih Muslim, 7/8)
Ibnul Qaththan t berkata: “Sunnah yang disepakati berkaitan dengan orang yang meninggal dari kalangan muslimin adalah mereka itu dimandikan dan dikafani. Ulama sepakat wajibnya mayat itu dimandikan dan dikafani apabila ia telah baligh, selama ia tidak gugur sebagai syahid, atau terbunuh secara dzalim atau meninggal dalam hukum qishash.” (Al-Iqna’ fi Masail Al-Ijma’ , 1/182)
Kafan tersebut atau biayanya diambil dari harta pokok si mayat5 dengan dalil hadits Khabbab ibnul Aratt z. Ia mengisahkan bahwa ketika Mush’ab bin Umair z gugur dalam perang Uhud, ia tidak meninggalkan kecuali namirah, sejenis kain wol bergaris-garis yang biasa diselimutkan ke tubuh. Bila mereka menutupi kepalanya dengan namirah tersebut, tampaklah kedua kakinya. Dan bila mereka menutupi kedua kakinya, tampak kepalanya. Melihat hal itu Rasulullah n memerintahkan mereka untuk menutupi bagian kepala sedangkan kedua kakinya yang terbuka ditutupi tumbuhan bernama idzkhir sejenis rumput-rumputan yang wangi (Syarh Shahih Muslim 7/7)6.
Nabi n memerintahkan agar Mush’ab z dikafani dengan namirahnya dan beliau tidak menyuruh shahabat lain untuk mengeluarkan harta mereka guna keperluan kafan Mush’ab z. Para fuqaha berkata: “Kafan mayat wajib diambil dari harta yang ditinggalkannya. Namun bila ia tidak memiliki harta, maka yang menanggung keperluan pengafanannya adalah orang yang wajib menafkahinya ketika ia hidup.” (Syarhu Shahih Muslim 7/8, Nailul Authar 4/46, Taudhihul Ahkam 3/173)
Sepantasnya kafan yang dipakai untuk menutupi mayat itu panjang dan lebar sehingga dapat menutupi seluruh tubuhnya (Al-Majmu’, 5/154) sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Jabir bin Abdillah z:
“Suatu hari Nabi n berkhutbah, lalu beliau menyebut seseorang dari kalangan shahabat beliau yang telah meninggal, orang itu dibungkus dengan kafan yang tidak panjang/ lapang dan dikuburkan pada malam hari. Maka Nabi n pun mencerca bila jenazah seseorang dikuburkan pada malam hari sampai jenazah itu selesai dishalatkan. Kecuali bila seseorang terpaksa melakukan hal tersebut. Nabi n bersabda: “Bila salah seorang dari kalian mengafani saudaranya maka hendaklah ia membaguskan kafannya.”7
Yang dimaksud dengan membaguskan kafan di sini, kata ulama adalah kafan itu berwarna putih, bersih, tebal, dapat menutupi, serta pertengahan sifatnya -tidak berlebih-lebihan/ mewah dan tidak pula jelek. Sehingga membaguskan kafan bukan maksudnya berlebihan-lebihan dan megah-megahan. (Syarhus Sunnah 5/315, Al-Majmu’, 5/155, Subulus Salam 2/154, Ahkamul Janaiz, Asy-Syaikh Al-Albani , hal. 77)
Ada beberapa perkara yang disunnahkan berkaitan dengan kain kafan:
1. Berwarna putih, karena Nabi r bersabda:
“Pakailah kain yang berwarna putih dari pakaian kalian, karena pakaian putih adalah sebaik-baik pakaian kalian, dan kafanilah orang yang meninggal di kalangan kalian dalam kain putih.”8
2. Tiga lembar, dengan dalil hadits Aisyah x:
“Sesungguhnya Rasulullah r dikafani dalam tiga kain Yamaniyyah berwarna putih Suhuliyyah dari bahan katun. Tidak ada di antara lembar kafan itu gamis (baju) dan tidak ada imamah (surban), beliau dimasukkan (dibungkus) ke dalam semua kafan itu.”9
Tidak boleh menambah kafan lebih dari tiga lembar karena menyelisihi apa yang telah dilakukan Rasulullah r dan juga perbuatan demikian berarti menyia-nyiakan/ membuang harta sementara kita dilarang melakukan yang demikian itu. Orang yang masih hidup dari kalangan keluarga yang ditinggalkan si mayat tentunya lebih utama untuk mendapatkan kelebihan kain tersebut daripada digunakan secara berlebihan (sebagai kafan), apatah lagi bila kainnya bagus/ mewah/ mahal. Semoga Allah merahmati Abu Bakar Ash-Shiddiq z, ketika Aisyah x, putrinya, berkomentar tentang kain yang disediakannya untuk kafannya nanti: “Kain ini telah usang”. Abu Bakar menanggapi dengan pernyataannya: “Sungguh orang yang masih hidup lebih pantas untuk memakai kain yang baru.” (Ar-Raudhatun Nadiyyah dengan Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/85).
Bila tidak ada kain kafan kecuali hanya selembar maka mencukupi dan telah tertunaikan kewajiban, karena Nabi r pernah mengafani paman beliau, Hamzah z, dengan satu kain/ pakaian. (Syarhus Sunnah 5/314, Tharhu At-Tatsrib fi Syarhi At-Taqrib 3/915)
Jumlah Kafan bagi Wanita
Mayat wanita dalam hal ini sama dengan laki-laki, sunnah untuk dikafani dengan tiga lembar kafan, karena tidak ada dalil yang membedakannya dengan lelaki. Adapun hadits Laila bintu Qais Ats-Tsaqafiyyah tentang pengafanan putri Nabi n dengan lima kain kafan, kata Asy-Syaikh Al-Albani t tidaklah shahih sanadnya, karena ada rawi bernama Nuh bin Hakim Ats-Tsaqafi. Dia adalah rawi yang majhul sebagaimana dinyatakan Al-Hafizh Ibnu Hajar t dan selainnya. Dan juga dalam hadits tersebut ada ‘illat (penyakit/ cacat) yang lain sebagaimana diterangkan oleh Az-Zaila’i dalam Nashbur Rayah. (Ahkamul Janaiz , hal. 85)
Demikian pula tambahan lafadz yang dimasukkan sebagian perawi dalam kisah dimandikannya jenazah Zainab bintu Rasulullah x:
“Maka kami mengafaninya dalam lima kain.”
merupakan tambahan yang syadz (ganjil) atau mungkar sebagaimana diterangkan secara panjang lebar oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Adh-Dha’ifah (12/752-754). Setelahnya, beliau t berkata: “Yang wajib dari sisi fiqhiyyah adalah berhenti pada hadits ‘Aisyah x yang terdahulu bahwasanya Nabi r dikafani dengan tiga kain, dan tidak menambah lebih dari tiga, dalam rangka mengikuti sunnah dan menjaga harta. Alangkah bagusnya atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (3/259) dengan sanad yang shahih dari Rasyid bin Sa’d, ia berkata: “Umar t berkata: “Seorang lelaki dikafani dalam tiga kain dan jangan kalian melebihkannya karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat melampaui batas.”
Abu Bakr Ash-Shiddiq z pun dikafani dengan tiga kain. Dan tidak diragukan dalam hal ini bahwa wanita sama dengan lelaki, karena asalnya demikian sebagaimana hal ini diketahui dari sabda Nabi r :
“Hanyalah wanita itu saudara kandungnya lelaki.”
Hadits ini shahih, di-takhrij dalam Al-Misykat (441), Shahih Abi Dawud (234), dan selain keduanya. (Adh-Dha’ifah, 12/754-755)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t berkata tentang permasalahan jumlah kain kafan untuk wanita: “Hukum asal dalam perkara syar’iyyah laki-laki sama dengan wanita, kecuali bila ada dalil yang menunjukkan perbedaan10. Maka bila ada dalil yang menyatakan pengkhususan dalam hukum (misalnya khusus untuk laki-laki, pent.) niscaya hukum tersebut berlaku khusus tidak berlaku bagi yang lain. Namun bila tidak ada dalil, maka laki-laki dan wanita itu sama.” (Asy-Syarhul Mumti’, 2/520-521)
Al-’Allamah Shiddiq Hasan Khan t berkata: “Memperbanyak kafan dan berlebih-lebihan dalam harganya bukanlah perkara yang terpuji, karena seandainya tidak ada keterangan dari syariat bahwa mayat itu harus dikafani, niscaya perbuatan tersebut termasuk membuang-buang harta, karena kafan itu tidak memberikan manfaat kepada si mayat dan tidak pula kembali kemanfaatannya kepada orang yang hidup.” (Ar-Raudhatun Nadiyyah dengan Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/436)
Namun dalam hal ini, banyak ahlul ilmi yang menyenangi agar seorang wanita dikafani dengan lima lembar kafan, tidak lebih, bila memang dibutuhkan untuk lebih menutupi tubuhnya, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnul Mundzir t: “Mayoritas ahlul ilmi yang kami hafal dari mereka berpandangan wanita dikafani dengan lima kain kafan. Hal ini disenangi karena wanita semasa hidupnya harus ekstra dalam menutup tubuhnya daripada lelaki karena auratnya yang lebih dari lelaki.” Lima kain ini berupa kain yang disarungkan ke bagian aurat dan sekitarnya, dira’ (baju) dipakaikan ke tubuhnya, kerudung, dan dua kain yang diselimutkan ke seluruh tubuhnya sebagaimana mayat lelaki. (Al-Mughni, 2/173)
Jumlah Kafan Anak Kecil
Adapun anak kecil cukup dikafani dalam selembar kain, namun tidak apa-apa bila dikafani dalam tiga lembar kain. Demikian dikatakan oleh Ishaq bin Rahuyah, Sa’id ibnul Musayyab, Ats-Tsauri, Ashabur Ra`yi, dan selain mereka (Al-Mughni 2/171).
Bila yang meninggal itu adalah anak perempuan yang belum haid/ baligh maka kata Al-Hasan Al-Bashri t, ia dikafani dengan satu kain kafan ataupun tiga lembar kafan. Dikisahkan oleh Ayyub bahwa putri Anas bin Sirin meninggal dunia dalam usia mendekati haid. Maka Ibnu Sirin memerintahkan mereka untuk mengafaninya dengan satu kerudung dan dua kain yang diselimutkan ke seluruh tubuhnya. (Al-Mushannaf , Ibnu Abi Syaibah, 3/263-264)
3. Salah satu dari kafan itu berupa kain bergaris-garis bila memang mudah didapatkan, karena Nabi r bersabda:
“Bila salah seorang dari kalian meninggal sementara dia mendapati sesuatu (kelapangan) maka hendaklah ia dikafani dalam kain yang bergaris-garis.”11
4. Kafan tersebut diberi wewangian berupa bukhur (dupa yang wangi) sebanyak tiga kali, dengan dalil sabda Nabi r:
“Apabila kalian mewangi-wangikan mayat maka wangikanlah sebanyak tiga kali.”12
(Penjelasan tentang perkara yang disunnahkan dalam kafan ini bisa dilihat di Al-Majmu’, 5/155-156, Al-Mughni 2/169, Al-Muhalla 3/339-341, Nailul Authar 4/49-51 dll)

Cara Mengafani Mayat

Setelah kafan diberi wangi-wangian sehingga aroma semerbaknya menempel pada kain, kafan yang paling bagus dan paling lebar/ lapang dibentangkan kemudian diberi hanuth13. Menyusul kain kedua diletakkan di atas kain pertama lalu diberi hanuth dan kapur barus. Demikian pula kain ketiga yang akan bersentuhan langsung dengan tubuh mayat. Setelahnya mayat diangkat dalam keadaan tertutup kain dan diletakkan di atas kain kafan yang paling atas (dari tiga lapis kain yang telah disusun) dalam keadaan terlentang, di mana kain kafan yang tersisa pada bagian kepalanya lebih panjang daripada pada bagian kedua kakinya. Kemudian disiapkan kapas yang diberi hanuth dan kapur barus lalu dimasukkan di antara dua belahan pantat si mayat dengan cara yang lembut untuk menahan keluarnya sesuatu dari duburnya yang beraroma tidak sedap, lalu diikat di atasnya dengan kain perca yang dibelah ujungnya seperti celana pendek.
Diambil lagi kapas yang diberi hanuth dan kapur barus lalu diletakkan di atas mulut si mayat, dua lubang hidung, dua mata, dua telinga, anggota-anggota sujudnya yaitu dahi dan hidung, telapak tangan, dua lutut dan dua telapak kaki, dan seluruh lubang yang ada di anggota tubuhnya, termasuk lukanya yang berlubang bila ada untuk mencegah darah/ nanah yang mungkin keluar hingga mengotori kafan. Rambut dan jenggot si mayat diberi kapur barus pula. Kemudian bagian kain kafan yang tersisa di sisi kiri si mayat ditekuk/ dilipat ke sisi kanan tubuh mayat, lalu kain yang di sisi kanan ditekuk ke sisi kiri tubuh mayat sehingga mayat benar-benar terbungkus/ diselimuti dalam kafannya, atau sebaliknya sisi kanan kafan terlebih dulu ditekuk baru sisi kiri. Hal yang sama juga dilakukan pada lembar kafan yang kedua dan ketiga.
Terakhir, kain yang tersisa di bagian kepala mayat dikumpulkan, lalu ditekuk ke bagian atas wajah mayat agar kain pada bagian wajah tidak tersingkap karena tiupan angin misalnya. Sedangkan kain yang tersisa pada bagian kaki ditekuk ke bagian atas kedua kaki mayat. Dan bisa diikat bila khawatir kafannya terbuka/ terbongkar namun bila hendak dimasukkan ke kuburannya, ikatan tersebut dibuka. (Al-Hawil Kabir 3/21-23, Al-Majmu’ 5/157- 161, Al-Mughni 2/169, Asy-Syarhul Mumti’ 2/517- 519)

1  HR. An-Nasa’i no. 1824 kitab Al-Janaiz, bab Katsratu Dzikril Maut, Tirmidzi no. 2307 kitab Az-Zuhud ‘an Rasulillah r, bab Ma Ja’a fi Dzikril Maut, dan selain keduanya. Asy-Syaikh Al-Albani t berkata tentang hadits ini dalam Shahih Sunan Nasa’i dan Shahih Sunan Tirmidzi: “Hasan shahih”.
2 HR. Al-Bukhari no. 1265 dalam Shahih-nya, kitab Al-Janaiz, bab Al-Kafan fi Tsaubaini dan Muslim no. 1206, kitab Al-Hajj, bab Ma Yuf’alu bil Muhrim idza Maata.
3 Nama kain yang dinisbahkan (disandarkan) kepada sebuah tempat/ kota di Yaman yang bernama Suhul atau kain putih bersih dari katun (Al-Hawil Kabir 3/21, Syarhus Sunnah 5/313, Al-Majmu 5/152, Tharhu At-Tatsrib fi Syarhi At-Taqrib 3/914, Fathul Bari 3/174)
4 Yang dikafani dengan namirahnya karena hanya harta itu yang ia tinggalkan.
5 Demikian pendapat ‘Atha`, Az-Zuhri, ‘Amr bin Dinar, dan Qatadah. Ibrahim An-Nakha’i t berkata: “Yang lebih dahulu disisihkan dari harta si mayat (sebelum dibagikan kepada ahli warisnya, pent.) adalah keperluan kafannya, kemudian keperluan untuk membayar hutangnya, kemudian penunaian wasiatnya.” Sufyan Ats-Tsauri t berkata: “Ongkos penggalian kubur dan biaya memandikan mayat sama dengan hukum kafan, diambil dari pokok harta si mayat.” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dalam Shahih-nya, kitab Al-Janaiz, bab Al-Kafanu min jami’il mal, Fathul Bari 3/174-175)
6 Lihat haditsnya dalam Shahih Al-Bukhari no. 1276 kitab Al-Janaiz, bab Idza lam Yajid kafanan illa ma yuwari ra’sahu au qadamaihi ghaththa ra`sahu dan Muslim no. 940, kitab Al-Janaiz, bab Fi kafanil mayyit.
7 HR. Muslim no. 943, bab Fi tahsini kafanil mayyit
8 HR. Abu Dawud no. 4061, At-Tirmidzi no. 2810 dan ia berkata: Hadits hasan shahih. Asy-Syaikh Muqbil t dalam Al-Jami’ush Shahih (2/249) berkata: “Hadits ini hasan di atas syarat Muslim.”
9 HR. Al-Bukhari no. 1264 bab Ats-Tsiyabul bidh lil kafani dan Muslim no. 941 bab Fi kafanil mayyit, sedangkan lafadz yang ada dalam kurung dari riwayat Al-Imam Ahmad.
10 Sementara dalil yang menunjukkan perbedaan jumlah kafan wanita dengan laki-laki lemah seperti diterangkan di atas.
11 HR. Abu Dawud no. 3150, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud. Beliau berkata dalam Ahkamul Janaiz ketika membahas hadits ini: “Ini sanad yang shahih menurutku, demikian pula menurut Al-Mizzi t. Adapun Al-Hafidz dalam At-Talkhis berkata: “Isnadnya hasan”. Hadits ini memiliki jalan lain yang diriwayatkan Al-Imam Ahmad t dari Abu Az-Zubair dari Jabir dengan lafadz:
“Siapa yang mendapatkan kelapangan, maka hendaklah ia dikafani dengan kain yang bergaris-garis.”
12 HR. Ahmad 3/331, Al-Hakim berkata: Shahih di atas syarat Muslim. Adz-Dzahabi t menyepakati Al-Hakim. Kata Asy-Syaikh Al-Albani t: “Keberadaan hadits ini memang seperti yang dinyatakan keduanya. Al-Imam An-Nawawi t juga menshahihkannya dalam Al-Majmu’ 5/196.” (Ahkamul Janaiz hal. 84)
13 Sejenis wangi-wangian yang biasa diberikan kepada mayat secara khusus. (Al-Majmu’ 5/157)


http://kaahil.wordpress.com/2011/11/18/tanya-jawab-cara-memandikan-mengkafani-jenazah-bagaimana-cara-mengelurkan-kotoran-jenazah-apa-harus-mandi-setelah-selesai-memandikan-jenazah-bolehkah-wanita-yang-sedang-haid-atau-nifas-mema/