Rabu, 27 Juni 2012

Kisah Ja’far ash-Shadiq & Seorang Budak

Ada sebuah kisah bahwasanya seorang budak milik Ja’far ash-Shadiq radhiallahu ‘anhu sedang menuangkan air ke tangan Ja’far di dalam baskom, tanpa sengaja air tersebut mengenai baju Ja’far. Kemudian Ja’far menatap budak dengan penuh kemurkaan.
Sang budak berkata, “Wahai majikanku, (Allah berfirman) ‘Dan orang-orang yang menyembunyikan rasa marah’.
Ja’far menjawab, “Aku telah meredam emosiku.”
Budak berkata, “Allah juga berfirman, ‘Dan mereka yang memaafkan kesalahan orang’.” Ja’far menjawab, “Aku maafkan kesalahanmu.”
Budak berkata lagi, “Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan’.” Yang diucapkan budak adalah surat Ali Imran ayat 134.
Ja’far berkata, “Pergilah, kini engkau merdeka karena Allah Ta’ala, dan aku memberimu 1000 dinar.” (Bahrud Dumu’, 142.)

Kisah Wanita Tua Dari Bani Israil

Dalam sebuah riwayat dikisahkan:
عن أبي موسى قال: أتى النبي صلى الله عليه وسلم أعرابيا فأكرمه فقال له: ائتنا، فأتاه، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم (وفي واية: نزل رسول الله صلى الله عليه وسلم بأعرابي فأكرمه، فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: تعهدنا ائتنا، فأتاه الأعرابي فقال له سول الله صلى الله عليه وسلم:) سل حاجتك، فقال: ناقة برحلها وأعنزا يحلبها أهلي، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أعجزتم أن تكونوا مثل عجوز بني إسرائيل؟ فقال أصحابه: يا رسول الله وما عجوز بني إسرائيل؟ قال: إن موسى لما سار ببني إسرائيل من مصر، ضلوا لطريق فقال: ما هذا؟ فقال علماؤهم: نحن نحدثك، إن يوسف لما حضره الموت أخذ علينا موثقا من الله أن لا يخرج من مصر حتى ننقل ظامه معنا، قال: فمن يعلم موضع قبره؟ قالوا: ما ندري أين قبر يوسف إلا عجوز من بني إسرائيل، فبعث إليها فأتته فقال: دلوني لى قبر يوسف، قالت: لا والله لا أفعل حتى تعطيني حكمي، قال: وما حكمك؟ قالت: أكون معك في الجنة، فكره أن يعطيها ذلك فأوحى الله إليه أن أعطها حكمها، فانطلقت بهم إلى بحيرة موضع مستنقع ماء، فقالت: انضبوا هذا الماء فأنضبوا، قالت: احفروا واستخرجوا عظام يوسف فلما أقلوها إلى الأرض إذا الطريق مثل ضوء النهار
Dari Abu Musa ia berkata, seorang badwi datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, kemudian beliau memuliakannya dan berkata: ‘kemarilah‘. Orang badwi itu lalu mendatangi beliau. Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
( Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam turun dari tunggangan beliau lalu memuliakannya. Beliau berkata kepada orang itu: ‘kemarilah bersama kami‘. Orang badwi itu lalu mendatangi beliau. Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: )
Sebutlah apa yang engkau inginkan“. Orang badwi menjawab: ‘Saya ingin unta dan pelananya serta kambing yang dapat diperah untuk memberi minum keluarga saya’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda:
“Apakah kalian tidak menginginkan seperti yang diinginkan oleh wanita tua dari Bani Israil?”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah siapa yang dimaksud wanita tua dari Bani Israil itu?”. Beliau berkata: “Musa ketika pergi dari Mesir bersama Bani Israil, mereka tersesat di jalan”. Musa bertanya: “Apa sebabnya menjadi begini?”. Orang-orang berilmu dari Bani Israil menjawab: “Kami beritahukan kepadamu, Nabi Yusuf ketika menjelang wafatnya membuat perjanjian dengan kami yang dipersaksikan oleh Allah, yaitu agar tidak keluar dari Mesir kecuali membawa jasad beliau bersama kami”. Musa berkata: “Kalau begitu siapa yang mengetahui dimana letak kuburnya?”. Mereka berkata: “Diantara kami tidak ada yang tahu letak makam beliau kecuali seorang wanita tua dari Bani Israil”. Lalu Musa mengutus orang untuk memanggilnya hingga wanita tersebut datang kepada Musa. Musa berkata kepada wanita itu: “Tunjukan kami letak makam Nabi Yusuf”. Wanita tersebut berkata: “Demi Allah tidak akan aku lakukan, sampai engkau mentaati ketentuanku”. Musa bertanya: ‘”Apa ketentuanmu itu?”. Wanita tersebut berkata: “Jadikan aku penghuni surga bersamamu”. Nabi Musa pun enggan memenuhinya, hingga Allah mewahyukan kepada Musa agar mentaati ketentuan tersebut. Lalu mereka pergi ke mata air dari sebuah danau. Wanita tersebut berkata: “Keringkan airnya lalu gali dan keluarkanlah jasad Nabi Yusuf”. Ketika jasadnya diangkat, jalan pun seketika menjadi jelas bagaikan terangnya siang.
(HR. Abu Ya’la dalam Musnad-nya 1/344, Al Hakim 2/404-405)
Derajat Hadits
Al Hakim berkata: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Shahih Bukhari dan Muslim”. Penilaian Al Hakim ini disetujui oleh Adz Dzahabi. Al Albani berkata: “Yang benar, hadits ini shahih sesuai dengan syarat Shahih Muslim saja. Karena Al Bukhari tidak mengeluarkan riwayat Yunus di dalam Shahih-nya, melainkan di kitabnya yang lain yaitu Juz Al Aqira’ah“. (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/623)
Faidah Hadits
  1. Betapa mulianya akhlak Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap orang awam.
  2. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah pemimpin negara yang senantiasa peduli terhadap kebutuhan rakyatnya, terutama orang-orang lemah yang kurang mampu. Tidaklah tersisa harta beliau melainkan sebatas harta untuk memenuhi kewajiban sebagai suami kepada keluarganya dan harta untuk diberikan kepada orang lain. Sebagaimana sabda beliau:
    لا يحل للخليفة من مال الله إلا قصعتان قصعة يأكلها هو وأهله وقصعة يضعها بين يدي الناس
    Bagi seorang khalifah, tidak halal memiliki harta dari Allah, kecuali dua piring saja. Satu piring untuk kebutuhan makannya bersama keluarganya. Dan satu piring untuk ia berikan kepada rakyatnya” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no.362)
  3. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membimbing umat-nya agar senantiasa lebih mendambakan kebaikan akhirat dibanding kebaikan dunia semata. Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu berkata:
    فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْـحَصِيرِ فِي جَنْبِهِ فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ فِيمَا هُمَا فِيهِ وَأَنْتَ رَسُولُ اللهِ. فَقَالَ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ لَـهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا الْآخِرَةُ؟
    Ketika aku melihat bekas tikar di sisi badan beliau, aku pun menangis. Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku jawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra dan Kaisar berada dalam kemegahannya, padahal engkau adalah utusan Allah” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (Muttafaq ‘alaihi)
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
    وَاللهِ مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِي الْيَمِّ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ
    Tiadalah dunia dibanding akhirat melainkan hanyalah seperti air yang menempel di jari ketika salah seorang dari kalian mencelupkannya di laut.” (HR. Muslim no.2858).
  4. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengharapkan para sahabatnya meminta sebagaimana yang diminta oleh wanita tua dari Bani Israil, yaitu: surga. Ini menunjukkan bahwa mengharap surga itu tidaklah tercela, bukan tanda sedikitnya keikhlasan, bukan tanda rendahnya cinta kepada Allah, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang.
  5. Kaum Bani Isra’il ketika itu berada di atas ilmu dan tauhid yang lurus, mereka tidak menyembah atau mengagungkan kuburan para Nabi. Mereka tidak ngalap berkah atau bertawassul dengan mayat para Nabi. Silakan simak  Hukum Ber-tabarruk Kepada Orang Shalih.
  6. Jangankan menyembah kuburan atau ngalap berkah, bahkan tidak terbesit dalam benak mereka untuk mencari tahu letak kuburan para Nabi. Yang tahu pun, ternyata tidak gembar-gembor atau dengan mudah memberi tahu letaknya. Mereka juga tidak membangun dan membuat megah kuburan tersebut. Nabi Musa dan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mencela mereka karena demikianlah yang seharusnya. Berbeda dengan orang-orang di zaman ini yang malah mencela orang-orang yang enggan mengagungkan kuburan orang shalih agar tidak dijadikan sarana kesyirikan.
  7. Para Nabi tidak dapat memberi syafa’at kecuali atas izin Allah. Sebagaimana Nabi Musa tidak dapat menjamin wanita tersebut masuk surga kecuali setelah diizinkan oleh Allah. Allah Ta’ala berfirman:
    قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
    Katakanlah, hanya milik Allah lah semua syafa’at itu. Ia yang menguasai langit dan bumi dan kepada-Nya lah engkau akan kembali” (QS. Az Zumar: 44)
  8. Jasad para Nabi tidak hancur dimakan tanah.
  9. Bukti adanya mu’jizat bagi para Nabi.
  10. Wajibnya menunaikan janji, terlebih lagi perjanjian dengan para Nabi Allah.
  11. Kata عظام yang artinya ‘tulang-belulang’ kadang bermakna ‘badan seutuhnya’. Jika  عظام dalam hadits di atas kita artikan  ’tulang-belulang’, maka bertentangan dengan hadits:
    إن الله تعالى حرم على الأرض أن تأكل أجساد الأنبياء
    Sungguh Allah Ta’ala mengharamkan kepada bumi untuk memakan jasad para Nabi” (HR. Abu Daud 662, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no.1527).
    Namun yang benar, kita maknai  عظام dengan makna  ’badan seutuhnya’ sebgaimana terdapat hadits :
    أن النبي صلى الله عليه وسلم لما بدن، قال له تميم الداري: ألا أتخذ لك منبرا يا رسول الله يجمع أو يحمل عظامك؟ قال: بلى فاتخذ له منبرا مرقاتين
    Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sudah berusia senja, Tamim Ad Daari berkata kepada beliau:’Wahai Rasulullah, maukah aku ambilkan mimbar yang dapat membawa badanmu?’. Beliau berkata: ‘Boleh’. Lalu ia mengambil mimbar yang memiliki 2 anak tangga” (HR. Abu Daud 1081, Al Albani berkata: “Sanadnya jayyidsesuai dengan syarat Muslim”).
    Demikian penjelasan Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah (1/624).

Kisah Dzulqornain

Dzul Qarnain mendapat dua anugerah Allah yang tidak sembarang orang mendapatkannya, yaitu mendapat petunjuk untuk menempuh jalan-jalan keberhasilan sekaligus ia diberi kemampuan untuk menempuhnya. Maka jadilah ia seorang raja dengan kekuatan besar, mampu menaklukkan banyak wilayah, bahkan sampai ke belahan dunia yang demikian jauh.

Dzul Qarnain adalah seorang raja yang shalih. Allah menganugerahinya jalan yang menumbuhkan kekuatan kerajaannya dan kemenangan-kemenangan yang belum pernah diberikan kepada siapapun selainnya. Allah menyebutkan sejarah hidupnya yang menarik, kasih sayangnya, kekuatan dan luasnya kerajaan yang dipimpinnya hingga ke belahan bumi timur dan barat. Karena itulah Allah mengatakan:
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang Dzul Qarnain. Katakanlah: ‘Aku akan bacakan sejarahnya kepada kalian’.” (Al-Kahfi: 83)
Maksudnya, aku akan membacakan sebagian sejarah hidupnya. Telah kita ketahui bahwa semua yang Allah kisahkan di dalam Kitab-Nya adalah berupa sejarah atau kisah yang paling baik dan paling bermanfaat bagi hamba-Nya. Allah terangkan dalam ayat-ayat ini bahwa Dia telah menganugerahi Dzul Qarnain jalan kemudahan untuk mencapai segala sesuatu, yang dengan sebab atau jalan itu dia mendapatkan kekuatan kerajaannya, ilmu ketatanegaraan, dan pengaturan pasukan. Di mana dengan semua itu pula dia menundukkan berbagai bangsa.
Dianugerahkan pula kepadanya pasukan dalam jumlah besar serta semua sarana atau prasarana yang dibutuhkan. Namun demikian, dia tetap menjalani sebab-sebab yang ditunjukkan kepadanya oleh Allah . Tidak setiap orang dianugerahi sebab yang berguna bagi dirinya. Dan tidak semua yang dianugerahi sebab ini dapat menjalaninya.
Dzul Qarnain memperoleh keduanya dengan sempurna: dia mendapatkan jalan atau sebab dan juga mampu menempuhnya. Bersama pasukannya dia menaklukkan daerah Afrika hingga pedalamannya, sampai mencapai bagian paling barat daerah pinggiran sebuah samudera.
Allah berfirman:
“Dia melihat matahari terbenam di laut yang berlumpur hitam.” (Al-Kahfi: 86)
Dia melihat dengan matanya sendiri seakan-akan matahari itu terbenam ke dalam laut yang berwarna hitam. Maksudnya, dia telah menjelajahi hingga batas terjauh dari wilayah Afrika. Di sini, dia menemukan suatu bangsa yang penduduknya ada yang muslim dan ada yang kafir, ada yang berbudi dan ada yang jahat, berdasarkan firman Allah :
“Kami berkata: ‘Hai Dzul Qarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat baik kepada mereka’.” (Al-Kahfi: 86)
Maksud ayat ini, boleh jadi yang berbicara dengannya adalah salah seorang dari Nabi-nabi Allah. Atau mungkin pula salah seorang ulama di sana. Atau mungkin pula pengertiannya adalah bahwa karena kekuasaannya, dia diberi pilihan. Jika bukan demikian, sebagaimana telah kita ketahui bahwa syariat tidaklah menganggap sama perbuatan baik dengan perbuatan yang buruk.
Allah berfirman mengisahkan ucapannya:
“Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengadzabnya, kemudian dia dikembalikan kepada Rabbnya lalu Dia akan mengazabnya dengan adzab yang tiada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal shalih, maka baginya pahala terbaik sebagai balasan dan akan kami titahkan kepadanya hal-hal yang mudah dari perintah-perintah kami.” (Al-Kahfi: 87-88)
Ini adalah bukti keadilannya, sekaligus menunjukkan bahwa dia adalah seorang raja yang shalih. Allah berfirman:
“Kemudian dia menempuh suatu jalan.” (Al-Kahfi: 89)
Yakni, kemudian dia menjalani suatu sebab yang telah diberikan kepadanya, setelah penduduk daerah barat yang ditemuinya itu tunduk. Sampailah dia di suatu daerah di tepi lautan teduh, yaitu sekitar wilayah Cina. Di sinilah batas akhir sampainya para pembebas berbagai wilayah. Allah mengisahkan:
“Dia mendapati matahari itu menyinari suatu bangsa yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari cahaya matahari itu.” (Al-Kahfi: 90)
Yakni, mereka tidak mempunyai sesuatu yang bisa melindungi mereka dari sengatan sinar matahari, baik itu pakaian ataupun rumah tempat tinggal dan menetap mereka. Artinya, dia mendapati bangsa yang ada di pedalaman daerah sebelah timur ini demikian terpencil dan terasing seperti binatang-binatang liar yang berlindung ke gua-gua, jauh dari hubungan dengan manusia lain. Mereka pada waktu itu sebagaimana yang Allah terangkan keadaannya.
Maksud dikisahkannya hal ini adalah untuk menunjukkan bahwa dia telah tiba di daerah yang belum pernah dijangkau oleh penjelajah manapun. Kemudian dia menempuh jalan lain lagi, yang memungkinkan dia untuk menjelajahi negeri-negeri dan menundukkan hamba-hamba Allah yang lain, dia mengarah ke utara:
“Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung” (Al-Kahfi: 93), yaitu pertengahan antara dua buah gunung yang telah ada sejak Allah menciptakan bumi ini. Keduanya merupakan mata rantai dari pegunungan besar yang tinggi sambung menyambung di tempat yang luas itu. Yaitu suatu dataran tinggi sampai laut sebelah timur dan barat di daerah Turki. Demikianlah yang disepakati para ahli tafsir dan sejarawan Islam. Namun mereka memperselisihkan apakah rantai pegu-nungan itu termasuk gunung Kaukasus atau yang lain di daerah Azerbaijan. Atau gunung yang lain yang bersambung dengan tembok besar di Cina di sekitar wilayah Mongolia, dan ini yang terlihat secara lahiriah.
Bagaimanapun juga berdasar keterangan ini, di daerah yang diapit dua gunung itu, Dzul Qarnain menemukan suatu bangsa yang hampir tidak mengerti suatu bahasa pun, karena asingnya bahasa mereka dan susahnya mereka memahami bahasa bangsa lain. Allah  menyebutkan:
“Mereka berkata: `Hai Dzul Qarnain, sesungguhnya Ya`juj dan Ma`juj itu orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi’.” (Al-Kahfi: 94)
Ya`juj dan Ma`juj adalah sebuah bangsa besar yang berasal dari keturunan Yafuts bin Nuh, termasuk Turki dan yang lainnya. Sebagaimana disebutkan sifat dan keadaan mereka dengan jelas. Allah menyebutkan pula:
“Maka dapatkah kami memberikan suatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka? Dzul Qarnain berkata: “Apa yang telah dikuasakan Rabbku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik…” (Al-Kahfi: 94-95)
Yakni dalam hal sarana, kekuatan dan kemampuan. Oleh karena itu:
“…maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat).” (Al-Kahfi: 95)
Maksudnya, bahwa bangunan besar ini demikian membutuhkan perhatian dan bantuan berupa kekuatan tenaga,
“Agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka.” (Al-Kahfi: 95), dan dia tidak mengatakan sadda. Karena yang membangun adalah kedua gunung itu, sedangkan dataran tinggi ada di antara kedua pembatas alami itu, yaitu di antara sambungan pegunungan itu. Setelah itu dia mulai menerangkan kepada mereka tentang cara atau alat-alat yang digunakannya. Allah menyebutkan penjelasan Dzul Qarnain ini dalam ayat:
“Berilah aku potongan-potongan besi.” (Al-Kahfi: 96)
Maksudnya, kumpulkanlah untukku bebagai potongan besi, besar kecil, dan jangan sisakan, dan tumpuklah di antara kedua gunung itu. Merekapun mengerjakan-nya. Akhirnya potongan-potongan besi itu terkumpul hampir sama tingginya dengan gunung-gunung tersebut. Demikianlah yang disebutkan dalam ayat:
“Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan puncak kedua gunung itu. Dzul Qarnain berkata: “Tiuplah (api itu).” Hingga apabila besi itu sudah menjadi (seperti) api, diapun berkata: “Berilah aku tembaga (mendidih) agar aku tuangkan ke atas besi panas itu.” (Al-Kahfi: 96)
Dalam ayat ini dikisahkan Dzul Qarnain memerintahkan menggunakan tembaga yang dicairkan melalui pemba-karan, lalu dituangkan di antara potongan besi, hingga merekatkan satu dengan lainnya dan bersambung dengan kedua gunung itu. Dengan demikian tercapailah tujuan menahan Ya`juj dan Ma`juj. Oleh sebab itu dikatakan:
“Maka mereka tidak bisa mendakinya.” (Al-Kahfi: 97)
Yakni, mereka tidak sanggup untuk memanjat dinding tersebut. Dan firman Allah berikutnya, menyebutkan pula keterangan Dzul Qarnain:
“Dan mereka tidak bisa pula melubanginya. Dzul Qarnain berkata: `Ini adalah rahmat dari Rabbku’.” (Al-Kahfi: 97-98)
Maksudnya, Rabbku yang telah memberi taufik kepadaku mengerjakan pekerjaan besar dengan hasil yang bagus ini. Dia merahmati kalian dengan melindungi kamu dari kemudharatan yang ditimbulkan Ya`juj dan Ma`juj dengan semua sebab yang kalian sendiri tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkannya.
“Maka apabila sudah datang janji Rabbku, Dia akan menjadikannya hancur luluh.” (Al-Kahfi: 98)
Artinya, pekerjaan besar ini, yang menjadi pembatas antara kalian dengan Ya`juj dan Ma`juj waktunya adalah sementara. Maka jika sudah tiba masanya, Allah takdirkan berbagai jalan kekuatan, kesanggupan dan berbagai peralatan atau penemuan baru yang memungkinkan Ya`juj dan Ma`juj menyerbu wilayah bangsa-bangsa di sekitarnya. Bahkan mereka pun akan menyebar ke belahan bumi ini, ke timur dan barat. Sebagaimana Allah  terangkan pula dalam ayat lain:
“Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya`juj dan Ma`juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi.” (Al-Anbiya’: 96)
Dari arah manapun, tanpa ada yang dapat menahan mereka. Kata-kata (dari seluruh tempat yang tinggi) meliputi berbagai tempat yang ada, yang datar ataupun yang mendaki, yang rendah atau tinggi. Allah menyebutkan demikian, yakni dari tempat yang tinggi, dengan pengertian bahwa tentunya dari yang datar dan yang rendah sekalipun mereka pun akan lalui.
Disebutkan pula di dalam hadits-hadits dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim yang mendukung keterangan yang dipaparkan dalam ayat ini, tentang sifat dan keadaan mereka. Dan sebagian ahli sejarah yang terdahulu juga menyebutkan keadaan mereka namun dengan berbagai pendapat (atsar) yang tidak ada sandarannya sama sekali (tidak jelas sanadnya), dan hanya menimbulkan polemik dan kebingungan sehingga menghalangi mereka untuk berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah yang shahih serta bagaimana penerapan atau pengamalannya dalam kenyataan sehari-hari. Oleh sebab itu, hendaklah kita senantiasa berpegang dengan apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah serta meninggalkan apapun selain keduanya, karena hanya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah inilah terdapat petunjuk, bimbingan, dan cahaya.
(Diambil dari Taisir Al-Lathifil Mannan karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di)
Sumber: Majalah AsySyariah Edisi 023

Kisah Tiga Orang Bani Israil : Penderita Penyakit Lepra, Orang Berkepala Botak dan Orang Buta

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya ada tiga orang dari Bani Israil, yaitu: penderita penyakit lepra, orang berkepala botak dan orang buta. Kemudian Allah Ta’ala ingin menguji mereka bertiga, maka diutuslah kepada mereka seorang malaikat.
Maka datanglah malaikat itu kepada orang pertama yang menderita penyakit lepra dan bertanya kepadanya: “Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?” Ia menjawab: “Rupa yang bagus, kulit yang indah, dan penyakit yang menjijikkan banyak orang ini hilang dari diriku”. Maka diusaplah orang tersebut, dan hilanglah penyakit itu, serta diberilah ia rupa yang bagus, kulit yang indah.  Malaikat itu bertanya lagi kepadanya: “Lalu kekayaan apa yang paling kamu senangi?” Ia menjawab: “Unta atau sapi.” Maka diberilah ia seekor unta yang sedang bunting, dan iapun didoakan: “Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya kepadamu dengan unta ini.”
Kemudian Malaikat tadi mendatangi orang kepalanya botak, dan bertanya kepadanya: “Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?” Ia menjawab: “Rambut yang indah, dan apa yang menjijikkan banyak orang ini hilang dari diriku”. Maka diusaplah kepalanya, dan seketika itu hilanglah penyakitnya, serta diberilah ia rambut yang indah. Malaikat tadi bertanya lagi kepadanya: “Harta apakah yang kamu senangi?” Ia menjawab: “Sapi atau unta.” Maka diberilah ia seekor sapi yang sedang bunting dan didoakan: “Semoga Allah memberkahimu dengan sapi ini.”
Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang buta, dan bertanya kepadanya: “Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?” Ia menjawab: “Semoga Allah berkenan mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat orang.” Maka diusaplah wajahnya, dan seketika itu dikembalikan oleh Allah penglihatannya. Malaikat itu bertanya lagi kepadanya: “Harta apakah yang paling kamu senangi?” Ia menjawab: “Kambing.” Maka diberilah ia seekor kambing yang sedang bunting.
Lalu berkembangbiaklah unta, sapi dan kambing tersebut, sehingga yang pertama memiliki satu lembah unta, yang kedua memiliki satu lembah sapi, dan yang ketiga memiliki satu lembah kambing.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya:
“Kemudian, datanglah Malaikat itu kepada orang  yang sebelumnya menderita penyakit lepra, dengan menyerupai dirinya (yakni di saat ia masih dalam keadaan berpenyakit lepra), dan berkata kepadanya: “Aku seorang miskin, telah terputus segala jalan bagiku (untuk mencari rizki) dalam perjalananku ini, sehingga tidak akan dapat meneruskan perjalananku hari ini kecuali dengan pertolongan Allah, kemudian dengan pertolongan anda. Demi Allah yang telah memberi anda rupa yang tampan, kulit yang indah, dan kekayaan ini, aku minta kepada anda satu ekor unta saja untuk bekal meneruskan perjalananku.” Tetapi dijawab: “Hak-hak (tanggunganku) masih banyak.” Malaikat tadi berkata kepadanya: “Sepertinya aku pernah mengenal anda, bukankah anda ini dulu orang yang menderita penyakit lepra, yang orang-orang pun jijik melihat anda, lagi pula anda miskin, kemudian Allah memberikan kepada anda harta kekayaan?” Dia malah menjawab: “Harta kekayaan ini aku warisi turun-temurun dari nenek moyangku yang mulia lagi terhormat.” Maka  malaikat tadi berkata kepadanya: “Jika anda berkata dusta niscaya Allah akan mengembalikan anda kepada keadaan anda semula.”
Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang sebelumnya berkepala botak, dengan menyerupai dirinya (disaat masih botak), dan berkata kepadanya sebagaimana ia berkata kepada orang yang pernah menderita penyakit lepra, serta ditolaknya sebagaimana ia telah ditolak oleh orang yang pertama. Maka malaikat itu berkata: “Jika anda berkata dusta niscaya Allah akan mengembalikan anda seperti keadaan semula.”
Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang sebelumnya buta, dengan menyerupai keadaannya dulu (di saat ia masih buta), dan berkata kepadanya: “Aku adalah orang yang miskin, kehabisan bekal dalam perjalanan, dan telah terputus segala jalan bagiku (untuk mencari rizki) dalam perjalananku ini, sehingga aku tidak dapat lagi meneruskan perjalananku hari ini, kecuali dengan pertolongan Allah kemudian pertolongan anda. Demi Allah yang telah mengembalikan penglihatan anda, aku minta seekor kambing saja untuk bekal melanjutkan perjalananku.” Maka orang itu menjawab: “Sungguh aku dulunya buta, lalu Allah mengembalikan penglihatanku. Maka ambillah apa yang anda sukai, dan tinggalkan apa yang tidak anda sukai. Demi Allah, sekarang ini aku tidak akan mempersulit anda dengan memintamu mengembalikan sesuatu yang telah anda ambil karena Allah.” Maka malaikat tadi berkata: “Peganglah kekayaan anda, karena sesungguhnya kalian ini hanya diuji oleh Allah. Allah telah ridha kepada anda, dan murka kepada kedua teman anda.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhori, no. 3464 dan Muslim, no. 2964).

Kisah Jarir dan Komitmennya Untuk Bersikap an-Nashiihah Kepada Semua Muslim



Jarir bin Abdillah adalah salah seorang Sahabat Nabi yang mulya. Suatu hari ia perintahkan kepada
maulanya untuk membeli kuda seharga 300 dirham. Maka, maulanya tersebut kemudian mendapatkan penjual dan kudanya yang cocok dengan harga itu, didatangkan kepada Jarir. Sang penjual sudah setuju kudanya dijual dengan harga 300 dirham.
 Ketika ditunjukkan pemilik kuda dan kudanya itu, kemudian Jarir memperhatikan bahwa sebenarnya kuda itu sangat bagus. Ia kemudian berkata: Wahai saudaraku, kudamu lebih tinggi harganya dari 300 dirham, apakah kau mau aku beli dengan harga 400 dirham. Penjualnya mengatakan: terserah engkau wahai Abu Abdillah (julukan Jarir). Jarir berpikir ulang dan menimbang, kemudian berkata lagi : kudamu lebih baik dari 400 dirham, bagaimana kalau aku beli dengan harga 500 dirham. Pemilik kuda berkata lagi : terserah engkau wahai Abu Abdillah. Demikian seterusnya, Jarir menambah seratus-seratus dirham, hingga mencapai 800 dirham.
Setelah selesai transaksi, orang yang keheranan dengan sikap Jarir tersebut menanyakan mengapa Jarir berbuat demikian. Akhirnya Jarir berkata : Sesungguhnya aku telah berbaiat kepada Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam untuk bersikap anNashiihah kepada setiap muslim (Syarh Shahih Muslim karya anNawawy juz 2 halaman 40, dinukil ringkasan dari riwayat atThobarony).

Kisah Lelaki Anshar dan 3 Anak Panahnya

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, dia berkata, “Dalam suatu peperangan kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju salah satu daerah orang musyrik. Kami berhasil menawan istri salah seorang di antara mereka, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali.
Tidak lama kemudian, suami perempuan  tersebut datang, kemudian diceritakan kepadanya tentang keadaan yang
terjadi. Suaminya bersumpah, bahwa ia tidak akan pulang ke rumah  sehingga dapat melukai para sahabat Nabi.Ketika  Rasulullah sedang dalam sebuah perjalanan, beliau berhenti di suatu  perkampungan lalu bertanya, ‘Siapakah dua orang di antara kalian yang  bersedia agar nanti malam menjaga kami dari serangan musuh?’ Seorang  lelaki dari kaum Muhajirin dan seorang lelaki dari Anshar menjawab,  ‘Kami berdua akan menjaga engkau, wahai Rasulullah.’ Dua orang lelaki tersebut berangkat menuju mulut gang perkampungan tanpa disertai seorang pengawal pun.
Lelaki Anshar bertanya kepada lelaki Muhajirin, ‘Kamu dulu yang akan berjaga lalu aku ataukah aku dulu lalu kamu?’
Lelaki Muhajirin menjawab, ‘Kamu dulu saja. Aku belakangan.’
Lalu lelaki Muhajirin tidur, sedangkan lelaki Anshar mulai berdiri untuk qiyamullail, ia membaca ayat-ayat Al-Quran.
Di tengah-tengah membaca ayat Al-Quran di dalam qiyamullail itu, suami  perempuan musyrik tersebut datang. Ketika ia melihat ada seorang lelaki  yang sedang berdiri (tidak tidur), ia menyangka pasti dia pemimpin  mereka. Lalu, dengan cepat ia mengambil panah dan melepaskan ke arah  lelaki yang sedang shalat hingga mengenainya. Lelaki Anshar itu  mencabutnya dan dia tidak bergeser sedikit pun, karena tidak ingin  memutus bacaan Al-Qurannya.
Lalu suami perempuan  musyrik itu mengambil satu panah lagi dan dibidikkannya ke arah lelaki  Anhsar, tetapi ia kembali mencabutnya tanpa memutuskan shalatnya dan  bacaan al-Qurannya. Suami perempuan musyrik itu mengulangi, untuk yang  ketiga kalinya, melepas panah ke arah lelaki yang sedang berdiri  melaksanakan qiyamullail. Ia kembali mencabut anak panah, meletakkannya  dan melanjutkannya dengan rukuk dan sujud. Seusai shalat, lelaki Anshar  itu membangunkan lelaki Muhajirin yang sedang tidur sambil berkata,  ‘Bangun!, sekarang tiba giliranmu.’ Kemudian lelaki Muhajirin bangun dan duduk.
Ketika suami perempuan musyrik melihat ada dua  orang berjaga, yang satu menolong kawannya, ia mengetahui bahwa nazarnya telah terpenuhi.
Ternyata, dari tubuh lelaki Anshar itu mengalir darah karena terkena panah suami perempuan musyrik tadi.
Lelaki Muhajirin berkata kepada kawannya, ‘Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala  mengampuni dosamu, mengapa kamu tidak memberi tahu aku pada saat panah  pertama mengenai tubuhmu?’
Lelaki Anshar menjawab,  ‘Ketika itu, aku tengah membaca salah satu surat Al-Quran dalam  qiyamullail-ku. Aku enggan menghentikan bacaanku. Dan demi Allah,  sekiranya aku bergeser, berusaha meninggalkan benteng  pertahanan yang  Rasulullah memerintahkan agar dijaga, pastilah aku binasa sebelum aku  menghentikan bacaan Al-Quranku tadi.’” (Shifatush Shofwah, 1/773)

Selasa, 12 Juni 2012

Hukum Berobat dengan Barang Haram

Oleh : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya, jika para dokter berkata kepada orang yang sakit : “Tidak ada lagi obat untukmu selain makan daging anjing khul Islam Ibnu atau babi”, bolehkah ia memakannya? Atau jika ia diberi resep berupa khamr atau nabidz [1], bolehkah ia meminumnya?
Beliau menjawab :
Tidak boleh berobat dengan khamr dan barang haram yang lain dengan dalil-dalil berikut :
1. Hadits Wail bin Hujur radliyallahu ‘anhu bahwa Thariq bin Suwaid Al-Ju’fiy bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang khamr. Beliaupun melarang khamr. Maka Thariq berkata : “Saya hanya membuatnya untuk obat.” Beliau bersabda :
.إنه ليس بدواء ولكنه داء
“Sesungguhnya ia bukan obat tapi justru penyakit.” ( HR Ahmad dan Muslim ). [2]
2. Dan Abu Darda radliyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إن الله أنزل الداء وأنزل الدواء وجعل لكل داء دواء فتداووا ولا تداووا بحرام
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan menurunkan obat dan menciptakan obat untuk setiap penyakit. Maka berobatlah dan jangan berobat dengan barang haram!” ( HR Abu Dawud ). [3]
3. Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang berobat dengan barang haram.” Dan dalam sebuah riwayat : “Maksudnya adalah racun.” ( HR Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi ). [4]
4. Abdurrahman bin Utsman radliyallahu ‘anhu berkata : “Seorang tabib menyebut suatu obat disisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengatakan bahwa salah satu ramuannya adalah katak. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang membunuh katak.” ( HR Ahmad, Abu Dawud dan Nasai ). [5]
5. Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata tentang minuman yang memabukkan :
إن إن الله لم يجعل شفاءكم فيما حرم عليكم
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan kesembuhan kalian pada apa yang Dia haramkan atas kalian.” ( HR Bukhari dan diriwayatkan oleh Abu Hatim bin Hibban dalam shahihnya secara marfu’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ). [6]
Dalil-dalil ini dan sejenisnya jelas menunjukkan haramnya berobat dengan barang haram dan jelas mengharamkan (pengobatan dengan) khamr yang merupakan induk keburukan dan sumber segala dosa.
Adapun perkataan para dokter yang mengatakan bahwa penyakit tersebut tak bisa disembuhkan kecuali dengan obat ini, maka ini adalah perkataan orang yang tidak tahu, dan tidak akan diucapkan oleh orang yang (benar-benar) tahu kedokteran, apalagi orang yang mengenal Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, karena kesembuhan tidak memiliki suatu sebab tertentu yang pasti. Tidak seperti rasa kenyang yang memiliki sebab tertentu yang pasti. Karena ada orang yang disembuhkan Allah tanpa obat, dan ada yang disembuhkan oleh Allah dengan obat-obat dalam tubuh –baik yang halal maupun haram-. Terkadang obat dipakai tapi tidak membawa kesembuhan, karena ada syarat yang tak terpenuhi atau adanya penghalang. Tidak seperti makan yang merupakan sebab rasa kenyang. Karenanya Allah membolehkan memakan barang haram bagi orang yang mudltor (terpaksa) ketika terpaksa oleh kelaparan, karena rasa laparnya hilang dengan makan dan tidak hilang dengan selain makan. Bahkan bisa mati atau sakit karena kelaparan. Karena (makan) adalah satu-satunya jalan untuk kenyang, Allah membolehkannya. Tidak seperti obat-obatan yang haram ( bukan satu-satunya jalan untuk sembuh).
Bahkan bisa dikatakan bahwa berobat dengan obat-obatan yang haram adalah tanda adanya penyakit dalam hati seseorang, yaitu pada imannya. Karena jika ia adalah bagian dari umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang beriman, maka Allah tidaklah menjadikan kesembuhannya pada apa yang diharamkan.Oleh karena itu, jika ia terpaksa makan bangkai atau sejenisnya, wajib baginya untuk memakannya menurut pendapat yang masyhur dari keempat imam madzhab. Sedangkan berobat (dengan barang halal sekalipun), hukumnya tidak wajib menurut sebagian besar ulama.[7] Bahkan mereka berbeda pendapat, apakah yang lebih afdol berobat atau meninggalkannya karena tawakkal.
Dan diantara dalil yang memperjelas hal ini, ketika Allah mengharamkan bangkai, darah, daging babi dsb, Dia tidak menghalalkannya kecuali untuk orang yang terpaksa (mudltor) dengan syarat tidak berlebihan dan tidak dalam keadaan maksiyat, sebagaimana disebutkan dalam ayat : (( Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.)) [8] Dan kita ketahui bahwa berobat tidaklah termasuk kategori terpaksa, sehingga tidak boleh berobat dengannya.
Adapun barang haram yang dibolehkan karena hajah ( kebutuhan ) [9] -maksudnya dibolehkan tidak hanya karena dlarurah ( keterpaksaan ) – seperti memakai sutera, telah disebutkan dalam hadits shahih bahwa Nabi memberikan rukhshah ( keringanan ) bagi Zubair bin ‘Awwam dan Abdurrahman bin ‘Auf radliyallahu ‘anhuma untuk memakai sutera karena gatal pada tubuh beliau berdua. Ini boleh menurut pendapat yang benar di kalangan ulama karena memakai sutera hanya diharamkan jika dalam keadaan tidak perlu. Karenanya dibolehkan untuk wanita mengingat kebutuhan mereka untuk berhias dengannya, dan dibolehkan bagi mereka untuk menutup aurat dengannya tanpa pengecualian. Demikian pula kebutuhan untuk berobat dengannya. Bahkan hal itu mestinya lebih dibolehkan lagi. Sutera diharamkan karena unsur berlebih-lebihan, pamer dan kesombongan. Unsur-unsur ini tidak ada ketika ada kebutuhan. Demikian pula boleh memakai sutera karena dingin, atau karena tak punya penutup aurat selain sutera.
(Diterjemahkan dan diringkas oleh Ustadz Abu Bakr Anas Burhanuddin, Lc., M.A. dari Majmu’ Fatawa 24/266-276)
Footnote:

[1] Nabidz : Minuman memabukkan yang terbuat dari juice anggur, kurma, dll yang dibiarkan sampai memabukkan. ( Al-mu’jam Al-wasith 897 )
[2] HR Muslim Kitab Asyribah no.12
[3] HR Abu Dawud Kitab Thibb no. 3874
[4] HR Ahmad 2/305, Ibnu Majah Kitab Thibb bab 11, Tirmidzi Kitab Thibb bab 7.
[5] HR Ahmad 3/453, Nasai Kitab Shaid bab 36, Abu Dawud Kitab Thibb bab 11.
[6] HR Bukhari Kitab Asyribah bab 15.
[7] Lihat bantahan secara rinci terhadap orang yang mengkiaskan bolehnya berobat dengan barang haram atas bolehnya makan makanan haram karena dlarurah, di Majmu’ Fatawa 24/268!
[8] (QS. Al-Maidah:3).
[9] Syaikhul Islam menyebutkan kaidah “Ma ubiha lil hajati jazat tadawi bihi wama ubiha lidl dlarurati fala yajuzut tadawi bihi” (Apa yang dibolehkan karena kebutuhan boleh dipakai berobat, dan apa yang dibolehkan karena keterpaksaan tidak boleh dipakai berobat).

http://fadhlihsan.blogspot.com/2012/04/hukum-berobat-dengan-barang-haram.html

Cara Ringkas Mandi Janabah

Pertanyaan: Mohon kiranya dijelaskan tata cara mandi wajib yang simple dan ringkas?

Dijawab oleh Al Ustadz Dzulqarnain:

Mandi wajib yang lebih dikenal dengan nama mandi janabah adalah mandi yang dikerjakan karena melakukan hubungan suami istri, mimpi basah, dan suci dari haidh dan nifas. Tata cara janabah ada dua.

Pertama, tata mandi cukup.
Yaitu dengan menuangkan air di atas kepala dan membasahi seluruh tubuh. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Ummu Salamah,

“Sesungguhnya cukup terhadap engkau menuagkan air di atas kepalamu tiga kali kemudian engkau membasahi seluruh (tubuh)mu dengan air, sehingga engkau telah dianggap suci.” [1]

Kedua, tata cara mandi sempurna.
Cara mandi janabah secara sempurnya diterangkan dalam dua hadits, yaitu dalam hadits Aisyah dan hadits Maimunah.

Kesimpulan hadits Aisyah bahwa mandi janabah adalah:
1. Mencuci kedua telapak tangan
2. Mencuci kemaluan dengan tangan kiri
3. Berwudhu dengan sempurna
4. Menyela-nyelai rambut hingga merata pada kulit kepala
5. Menuangkan air di atas kepala tiga kali, sekali pada bagian kanan dan sekali pada bagian kiri serta sekali pada pertengahan kepala
6. Mencuci seluruh tubuh.

Adapun kesimpulan mandi janabah dalam hadits Maimunah,
1. Mencuci kedua telapak tangan dua atau tiga kali
2. Mencuci kemaluan
3. Menggosak tangan ke tanah (boleh diganti dengan sabun dan semisalnya)
4. Kembali mencuci kedua telapak tangan
5. Berkumur-kumur dan menghirup air
6. Mencuci wajah
7. Mencuci tangan hingga ke siku
8. Menuangkan air di atas kepala sebanyak tiga kali
9. Mencuci seluruh tubuh
10. Mencuci kedua kaki.

Demikian tata cara mandi janabah. Tampak dari uraian di atas bahwa ada keluasan dalam agama kita mengenai tata cara pelaksanaan mandi janabah, namun tetap saya ingatkan bahwa mandi dengan cara sempurna tentu lebih afdhal dan lebih baik. Wallahu A’lam.

Sumber: Majalah Konsultasi Kita

Catatan kaki:
[1] Diriwayatkan oleh Muslim dari Ummu Salamah.

Sumber: http://www.mediasalaf.com/fiqih/tata-cara-mandi-wajib-ringkas/

http://fadhlihsan.blogspot.com/2012/04/cara-ringkas-mandi-janabah.html