Jumat, 29 Maret 2013
Lama Waktu Nifas
Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh t menjawab, “Wanita yang nifas memiliki beberapa keadaan:
Pertama: Darah nifasnya berhenti sebelum sempurna 40 hari dan setelah itu sama sekali tidak keluar lagi. Maka ketika darah tersebut berhenti/tidak keluar lagi, si wanita harus mandi, puasa (bila bertepatan dengan bulan Ramadhan), dan mengerjakan shalat (bila telah masuk waktunya).
Kedua: Darah nifasnya berhenti sebelum genap 40 hari, namun beberapa waktu kemudian darahnya keluar lagi sebelum selesai waktu 40 hari. Pada keadaan ini, si wanita mandi, puasa, dan shalat di saat berhentinya darah. Namun di saat darah tersebut kembali keluar berarti ia masih dalam keadaan nifas, sehingga ia harus meninggalkan puasa dan shalat. Ia harus mengqadha puasa wajib yang ditinggalkannya sementara untuk shalat yang ditinggalkan tidak ada qadha.
Ketiga: Darahnya terus menerus keluar sampai sempurna waktu 40 hari. Maka dalam jangka waktu 40 hari tersebut, ia tidak shalat dan tidak puasa. Setelah berhenti darahnya, barulah ia mandi, puasa, dan shalat.
Keempat: Darahnya keluar sampai lewat 40 hari.
Dalam hal ini ada dua gambaran:
1. Keluarnya darah setelah 40 hari tersebut bertepatan dengan waktu kebiasaan haidnya, yang berarti ia haid setelah nifas. Maka ia menunggu sampai selesai masa haidnya, baru bersuci.
2. Keluarnya darah tidak bertepatan dengan kebiasaan haidnya. Maka ia mandi setelah sempurna nifasnya selama 40 hari, ia mengerjakan puasa dan shalat walaupun darahnya masih keluar.
Apabila kejadian ini berulang sampai tiga kali, yakni setiap selesai melahirkan, dari melahirkan anak yang pertama sampai anak yang ketiga misalnya, darahnya selalu keluarnya lebih dari 40 hari berarti ini merupakan kebiasaan nifasnya. Yakni masa nifasnya memang lebih dari 40 hari. Selama masa nifas yang lebih dari 40 hari itu ia meninggalkan puasa yang berarti harus dia qadha di waktu yang lain (saat suci), sementara shalat yang ditinggalkan tidak ada qadhanya.
Apabila kejadian keluarnya darah lebih dari 40 hari ini tidak berulang, yakni hanya sekali, maka darah tersebut bukanlah darah nifas tapi darah istihadhah.
Wallahu a’lam.”
LAMA WAKTU NIFAS DAN HAIDH/MENSTRUASI 1
Soal: Syaikh yang mulia, kami mohon fatwanya, semoga anda
memperoleh ganjaran pahala. Berapa lama berlangsungnya masa nifas,
sehingga dia bisa (kembali) shalat? Demikian juga (berlangsungnya) masa
haid?
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullah menjawab:
Wanita dalam keadaan
nifas sampai darah nifas tidak lagi keluar, kemudian ia (harus) mandi
besar dan melaksanakan shalat. Kondisi wanita satu sama lainnya berbeda. Di
antara mereka ada yang darahnya berhenti dalam selang waktu satu pekan
pasca persalinan. Di antara mereka ada yang terhenti darahnya dalam
selang waktu 25 hari. Bisa jadi di antara mereka ada yang terhenti darah nifasnya setelah 40 hari atau 60 hari jika melihat darah telah berhenti.
Bahkan di antara mereka ada yang tidak melihat darah sama sekali.
‘Aisyah pernah ditanya ihwal seorang wanita yang nifas, lalu ia tidak
melihat darah, beliau berkata: “Allah telah membersihkan (darah)nya.”
Bila darah nifas telah berhenti walaupun hanya satu hari atau selama
60 hari, maka ia wajib mandi besar dan melaksanakan shalat.
Demikianpula bila waktu ini bulan Ramadhan, maka ia harus berpuasa.
Demikian juga dengan wanita yang sedang haid. Karena wanita lebih mengetahui ihwal haidnya. Boleh
jadi di antara mereka ada yang haid hanya selama satu hari. Di antara
mereka ada haid selama dua hari, atau tiga hari sampai tujuh hari, 15
hari dan ia masih mengeluarkan darah haid selama beberapa waktu.
Hanya saja, jika darah itu terus keluar, maka darah yang keluar itu dinamakan darah istihadhah. Ia merujuk pada kebiasaan masa haidnya -jika ia memang mempunyai kebiasaan haid sebelum ia mengalami sakit tersebut. Sebab
hal itu telah berubah menjadi penyakit, bukan darah haid. Jika
kebiasaan masa haidnya -sebelum ia menderita penyakit itu- adalah tujuh
hari, maka masa haidnya adalah tujuh hari.
Apabila ia tidak memiliki rutinitas jadwal haid maka ia bisa mengamati warna darahnya. Darah
haid warnanya hitam, dapat diketahui dengan baunya yang amis. Jika
darah itu berwarna hitam dan mengeluarkan bau amis, maka darah itu
dianggap darah haid. Setelah itu ia (harus) menunaikan shalat, puasa
dan suaminya boleh menggaulinya, sebab ia dianggap sedang mengalami
istihadhah.
Apabia ia belum memiliki rutinitas jadwal haid maka itu adalah fase
pendahuluan. Apabila ia masih belia dan masih baru pertama kali
mengalami istihadhah sementara ia belum memiliki rutinitas masa haidh,
darah (yang keluar pun) belum bisa dibedakan, maka ia merujuk pada
rutinitas masa haid saudara-saudara perempuan, ibu dan sanak familinya,
sehingga ia dapat mengetahui berapa lama berlangsungnya masa haid
mereka. Boleh jadi rutinitas masa haid saudara-saudara perempuan dan
sanak famili memiliki keserupaan. Wallâhul Musta’ân.
Ia wajib berusaha secara optimal dalam masalah ini. Adapun jika itu
hanya haid saja, maka berlangsungnya masa haid adalah keluarnya darah.
Sepatutnya, dia tidak tergesa-gesa dan ia tidak lantas mandi besar,
kecuali jika ia telah benar-benar melihat lendir berwarna putih.
Dalam kesempatan ini ada suatu hal yang ingin saya beri catatan,
yaitu sebagian wanita mandi besar dan bersuci, kemudian tahu-tahu ada
darah yang kembali keluar. Jika darah yang keluar itu menyerupai
sifat-sifat darah haid, maka itu adalah darah haid. Jika yang keluar
itu hanya berupa air yang berwarna kekuning-kuningan dan sangat keruh,
dan keluarnya darah tersebut di luar waktu haid, (dalam hal ini) Ummu
Athiyah berkata: “Dulu kami tidak menganggap darah bercampur nanah dan
darah kotor termasuk darah haid.” Al-Kadr (air yang sangat keruh)
adalah seperti air bercampur darah yang keluar dari vagina. Apabila
cairan itu keluar pada siklus haid, maka cairan itu dianggap darah
haidh. Jika darah itu keluar di luar siklus haid, maka darah itu tidak
dianggap apa-apa (bukan darah haid). [Ijaabatu as-Saail, Soal No. 353]
*****************
http://kaahil.wordpress.com/2013/03/20/bagus-lama-waktu-nifas-dan-haidhmenstruasi-hukum-nifas-lebih-dari-40-hari-nifas-sebelum-melahirkan-nifas-setelah-operasi-sesar-sc-berapa-lama-wanita-yang-nifas-meninggalkan-shalat-apabila/
CARA, WAKTU, NIAT & DO’A/BACAAN SHOLAT ISTIKHARAH YANG BENAR
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الْأُمُورِ
كُلِّهَا كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ يَقُولُ إِذَا
هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ
الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ
بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ
وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ
هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي
أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي
ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ
شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي
عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ
وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِي قَالَ وَيُسَمِّي
حَاجَتَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kami
istikharah dalam setiap urusan yan kami hadapi sebagaimana beliau
mengajarkan kami suatu surah dari Al-Qur’an. Beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Jika seorang dari kalian menghadapi masalah maka
ruku’lah (shalat) dua raka’at yang bukan shalat wajib kemudian
berdo’alah:
Allahumma inniy astakhiiruka bi ‘ilmika wa astaqdiruka biqudratika wa as-aluka min fadhlikal ‘azhim, fainnaka taqdiru wa laa aqdiru wa ta’lamu wa laa ‘Abdullah’lamu wa anta ‘allaamul ghuyuub. Allahumma in kunta ta’lamu anna haadzal amru khairul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy” atau; ‘Aajili amriy wa aajilihi faqdurhu liy wa yassirhu liy tsumma baarik liy fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna haadzal amru syarrul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy” aw qaola; fiy ‘aajili amriy wa aajilihi fashrifhu ‘anniy washrifniy ‘anhu waqdurliyl khaira haitsu kaana tsummar dhiniy.”
(Ya Allah aku memohon pilihan kepada-Mu dengan ilmuMu dan
memohon kemampuan dengan kekuasaan-Mu dan aku memohon karunia-Mu yang
Agung. Karena Engkau Maha Mampu sedang aku tidak mampu, Engkau Maha
Mengetahui sedang aku tidak mengetahui, Engkaulah yang Maha Mengetahui
perkara yang gaib. Ya Allah bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini
baik untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini
-atau beliau bersabda: di waktu dekat atau di masa nanti- maka
takdirkanlah buatku dan mudahkanlah kemudian berikanlah berkah padanya.
Namun sebaliknya ya Allah, bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini
buruk untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini
-atau beliau bersabda: di waktu dekat atau di masa nanti- maka
jauhkanlah urusan dariku dan jauhkanlah aku darinya. Dan tetapkanlah
buatku urusan yang baik saja dimanapun adanya kemudian jadikanlah aku
ridha dengan ketetapan-Mu itu”. Beliau bersabda: “Dia sebutkan urusan
yang sedang diminta pilihannya itu”. (HR. Al-Bukhari no. 1162)
Cara menyebutkan urusannya misalnya: Ya Allah, jika engkau mengetahui bahwa safar ini atau pernikahan ini atau usaha ini atau mobil ini baik bagiku …, dan seterusnya.
Amalan yang Menyelamatkan dari Adzab Kubur
Setelah memberitahukan dahsyatnya adzab kubur dan sebab-sebab yang akan menyeret ke dalamnya, baik melalui firman-Nya ataupun melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, dengan rahmat dan keutamaan-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberitahukan amalan-amalan yang akan menyelamatkan dari adzab kubur tersebut.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Sebab-sebab yang akan menyelamatkan seseorang dari adzab kubur terbagi menjadi dua:
1. Sebab-sebab secara global.
Yaitu dengan menjauhi seluruh sebab yang akan menjerumuskan ke dalam adzab kubur sebagaimana yang telah disebutkan.
Sebab yang paling bermanfaat adalah seorang hamba duduk beberapa
saat sebelum tidur untuk mengevaluasi dirinya: apa yang telah dia
lakukan, baik perkara yang merugikan maupun yang menguntungkan pada
hari itu. Lalu dia senantiasa memperbarui taubatnya yang nasuha antara
dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga dia tidur dalam
keadaan bertaubat dan berkemauan keras untuk tidak mengulanginya bila
nanti bangun dari tidurnya. Dia lakukan itu setiap malam. Maka, apabila
dia mati (ketika tidurnya itu), dia mati di atas taubat.
Apabila dia bangun, dia bangun tidur dalam keadaan siap untuk
beramal dengan senang hati, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menunda
ajalnya hingga dia menghadap Rabbnya dan berhasil mendapatkan segala
sesuatu yang terluput. Tidak ada perkara yang lebih bermanfaat bagi
seorang hamba daripada taubat ini. Terlebih lagi bila dia berzikir
setelah itu dan melakukan sunnah-sunnah yang datang dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dia hendak tidur sampai
benar-benar tertidur. Maka, barangsiapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
kehendaki kebaikan baginya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
berikan hidayah taufik untuk melakukan hal itu. Dan tiada kekuatan
kecuali dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Sebab-sebab terperinci.
Di antaranya:
- Ribath (berjaga di pos perbatasan wilayah kaum muslimin) siang dan malam.
Dari Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مَيِّتٍ يُخْتَمُ عَلَى عَمَلِهِ إِلَّا الَّذِي مَاتَ
مُرَابِطًا فِي سَبِيلِ اللهِ فَإِنَّهُ يُنْمَى لَهُ عَمَلُهُ
إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَيَأْمَنُ مِنْ فِتْنَةِ الْقَبْرِ
“Setiap orang yang mati akan diakhiri/diputus amalannya, kecuali
orang yang mati dalam keadaan ribath di jalan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Amalannya akan dikembangkan sampai datang hari kiamat dan akan
diselamatkan dari fitnah kubur.” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud)
- Mati syahid.
Dari Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لِلشَّهِيدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي
أَوَّلِ دُفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدَهُ مِنَ
الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ مِنَ
الْفَزَعِ الْأَكْبَرِ، وَيُحَلَّى حُلَّةَ الْإِيمَانِ وَيُزَوَّجُ
مِنَ الْحُورِ الْعِينِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِينَ إِنْسَانًا
مِنْ أَقَارِبِهِ
“Orang yang mati syahid akan mendapatkan enam keutamaan di sisi
Allah Subhanahu wa Ta’ala: diampuni dosa-dosanya dari awal tertumpahkan
darahnya, akan melihat calon tempat tinggalnya di surga, akan
diselamatkan dari adzab kubur, diberi keamanan dari ketakutan yang
sangat besar, diberi hiasan dengan hiasan iman, dinikahkan dengan
bidadari, dan akan diberi kemampuan untuk memberi syafaat kepada 70
orang kerabatnya.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah. Al-Albani
berkata dalam Ahkamul Jana’iz bahwa sanadnya hasan)
- Mati pada malam Jumat atau siang harinya.
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يـَمُوتُ يَوْمَ الْـجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
“Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jumat atau malamnya,
kecuali Allah akan melindunginya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad dan
Al-Fasawi. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Ahkamul Jana’iz bahwa
hadits ini dengan seluruh jalur-jalurnya hasan atau shahih)
- Membaca surat Al-Mulk.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
هِيَ الْمَانِعَةُ هِيَ الْمُنْجِيَةُ تُنْجِيهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
“Dia (surat Al-Mulk) adalah penghalang, dia adalah
penyelamat yang akan menyelamatkan pembacanya dari adzab kubur.” (HR.
At-Tirmidzi, lihat Ash-Shahihah no. 1140) [dinukil dari Ar-Ruh dengan
sedikit perubahan]
- Doa sebagaimana yang telah lalu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari adzab kubur dan
memerintahkan umatnya untuk berlindung darinya.
Nikmat Kubur
Setelah mengetahui dan meyakini adanya adzab kubur yang demikian
mengerikan dan menakutkan, berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
shahih, juga mengetahui macam-macamnya, penyebabnya, dan hal-hal yang
akan menyelamatkan darinya, maka termasuk kesuksesan yang agung adalah
selamat dari berbagai adzab tersebut dan mendapatkan nikmat di dalamnya
dengan rahmat-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَأَمَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
فَيُدْخِلُهُمْ رَبُّهُمْ فِي رَحْمَتِهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ
الْمُبِينُ
“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih
maka Rabb mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga). Itulah
keberuntungan yang nyata.” (Al-Jatsiyah: 30)
قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ
عَظِيمٍ. مَنْ يُصْرَفْ عَنْهُ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمَهُ
وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْمُبِينُ
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku takut akan adzab hari yang besar
(hari kiamat), jika aku mendurhakai Rabbku.’ Barangsiapa yang dijauhkan
adzab daripadanya pada hari itu, maka sungguh Allah telah memberikan
rahmat kepadanya. Dan itulah keberuntungan yang nyata.” (Al-An’am:
15-16)
Adapun nikmat kubur, di antaranya apa yang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam beritakan dalam hadits Al-Bara’ radhiyallahu ‘anhu
yang panjang:
- mendapatkan ampunan dan keridhaan-Nya. Sebagaimana perkataan malakul maut kepada orang yang sedang menghadapi sakaratul maut:
أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ، اخْرُجِي إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ
“Wahai jiwa yang tenang, keluarlah menuju ampunan Allah dan keridhaan-Nya.”
- dikokohkan hatinya untuk menghadapi dan menjawab fitnah kubur.
يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang
teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (Ibrahim: 27)
- Digelarkan permadani, didandani dengan pakaian dari surga,
dibukakan baginya pintu menuju surga, dilapangkan kuburnya, dan di
dalamnya ditemani orang yang tampan wajahnya, bagus penampilannya, sebagaimana yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan dalam hadits Al-Bara’ yang panjang:
فَأَفْرِشُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ وَأَلْبِسُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ
وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى الْجَنَّةِ. قَالَ: فَيَأْتِيهِ مِنْ
رَوْحِهَا وَطِيبِهَا وَيُفْسَحُ لَهُ فِي قَبْرِهِ مَدَّ بَصَرِهِ.
قَالَ: وَيَأْتِيهِ رَجُلٌ حَسَنُ الْوَجْهِ حَسَنُ الثِّيَابِ
طَيِّبُ الرِّيحِ فَيَقُولُ: أَبْشِرْ بِالَّذِي يَسُرُّكَ هَذَا
يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوعَدُ. فَيَقُولُ لَهُ: مَنْ أَنْتَ،
فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ يَجِيءُ بِالْخَيْرِ. فَيَقُولُ: أَنَا
عَمَلُكَ الصَّالِحُ
“Maka gelarkanlah permadani dari surga, dandanilah ia dengan pakaian
dari surga. Bukakanlah baginya sebuah pintu ke surga, maka sampailah
kepadanya bau wangi dan keindahannya. Dilapangkan kuburnya sejauh mata
memandang, kemudian datang kepadanya seorang yang tampan wajahnya,
bagus pakaiannya, wangi baunya. Lalu dia berkata: ‘Berbahagialah dengan
perkara yang menyenangkanmu. Ini adalah hari yang dahulu kamu
dijanjikan.’ Dia pun bertanya: ‘Siapa kamu? Wajahmu adalah wajah orang
yang datang membawa kebaikan.’ Dia menjawab: ‘Aku adalah amalanmu yang
shalih…” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala meneguhkan hati kita di atas
kalimat tauhid hingga akhir hayat kita dan menyelamatkan kita dari
berbagai fitnah (ujian) dunia dan fitnah kubur, serta memasukkan kita
ke dalam jannah-Nya. Amin ya Rabbal ‘alamin.
http://kaahil.wordpress.com/2013/03/14/lengkap-prahara-adzab-kubursiksa-kubur-sebab-seorang-mendapat-azab-kubur-kekafiran-kesyirikan-kemunafikan-tidak-menjaga-diri-dari-air-kencing-dan-mengadu-domba-ghibah-niyahah-meratap/
PRAHARA ADZAB KUBUR/SIKSA KUBUR
Banyak sekali hal-hal yang menyebabkan seseorang mendapatkan adzab kubur. Sampai-sampai Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya Ar-Ruh menyatakan: “Secara global, mereka diadzab karena kejahilan mereka tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak melaksanakan perintah-Nya, dan karena perbuatan mereka melanggar larangan-Nya. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengadzab ruh yang mengenal-Nya, mencintai-Nya, melaksanakan perintah-Nya, dan meninggalkan larangan-Nya.
Demikian juga, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengadzab satu badan pun yang ruh tersebut memiliki ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah) selama-lamanya. Sesungguhnya adzab kubur dan adzab akhirat adalah akibat kemarahan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kemurkaan-Nya terhadap hamba-Nya. Maka barangsiapa yang menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala marah dan murka di dunia ini, lalu dia tidak bertaubat dan mati dalam keadaan demikian, niscaya dia akan mendapatkan adzab di alam barzakh sesuai dengan kemarahan dan kemurkaan-Nya.” (Ar-Ruh hal. 115)
Di antara sebab-sebab adzab kubur secara terperinci adalah sebagai berikut:
1. Kekafiran dan kesyirikan.
Sebagaimana adzab yang menimpa Fir’aun dan bala tentaranya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:فَوَقَاهُ اللهُ سَيِّئَاتِ مَا مَكَرُوا وَحَاقَ بِآلِ فِرْعَوْنَ سُوءُ الْعَذَابِ. النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا ءَالَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ
“Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh adzab yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): ‘Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras’.” (Ghafir: 45-46)
2. Kemunafikan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ
سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ
“Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada adzab yang besar.” (At-Taubah: 101)
3. Tidak menjaga diri dari air kencing dan mengadu domba.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَرَّ النَّبِيُّ n بِقَبْرَينِ فَقَالَ: إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ. فَأَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً. فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، لِمَا فَعَلْتَ هَذَا؟ قَالَ: لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua kuburan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya keduanya sedang diadzab, dan tidaklah keduanya diadzab disebabkan suatu perkara yang besar (menurut kalian). Salah satunya tidak menjaga diri dari percikan air kencing, sedangkan yang lain suka mengadu domba antara manusia.” Beliau lalu mengambil sebuah pelepah kurma yang masih basah, kemudian beliau belah menjadi dua bagian dan beliau tancapkan satu bagian pada masing-masing kuburan. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan hal ini?” Beliau menjawab: “Mudah-mudahan diringankan adzab tersebut dari keduanya selama pelepah kurma itu belum kering.” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
4. Ghibah.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:لَمَّا عَرَجَ بِي رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ
“Tatkala Rabbku memi’rajkanku (menaikkan ke langit), aku melewati beberapa kaum yang memiliki kuku dari tembaga, dalam keadaan mereka mencabik-cabik wajah dan dada mereka dengan kukunya. Maka aku bertanya: ‘Siapakah mereka ini wahai Jibril?’ Dia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging (suka mengghibah) dan menjatuhkan kehormatan manusia’.” (HR. Ahmad, dishahihkan Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 533. Hadits ini juga dicantumkan dalam Ash-Shahihul Musnad karya Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu)
5. Niyahah (meratapi jenazah).
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya mayit itu akan diadzab karena ratapan keluarganya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dalam riwayat lain dalam Shahih Muslim:
الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ
“Mayit itu akan diadzab di kuburnya dengan sebab ratapan atasnya.”
Jumhur ulama berpendapat, hadits ini dibawa kepada pemahaman bahwa mayit yang ditimpa adzab karena ratapan keluarganya adalah orang yang berwasiat supaya diratapi, atau dia tidak berwasiat untuk tidak diratapi padahal dia tahu bahwa kebiasaan mereka adalah meratapi orang mati. Oleh karena itu Abdullah ibnul Mubarak rahimahullahu berkata: “Apabila dia telah melarang mereka (keluarganya) meratapi ketika dia hidup, lalu mereka melakukannya setelah kematiannya, maka dia tidak akan ditimpa adzab sedikit pun.” (Umdatul Qari’, 4/78)
Adzab di sini menurut mereka maknanya adalah hukuman. (Ahkamul Jana’iz, hal. 41)
Selain sebab-sebab di atas, ada beberapa hal lain yang akan disebutkan dalam pembahasan Macam-macam Adzab Kubur.
Apakah Adzab Kubur itu Terus-Menerus?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata: “Jawaban terhadap pertanyaan ini:1. Adzab kubur bagi orang-orang kafir terjadi terus-menerus dan tidak mungkin terputus karena mereka memang berhak menerimanya. Seandainya adzab tersebut terputus atau berhenti, maka kesempatan ini menjadi waktu istirahat bagi mereka. Padahal mereka bukanlah orang-orang yang berhak mendapatkan hal itu. Maka, mereka adalah golongan orang-orang yang terus-menerus dalam adzab kubur sampai datangnya hari kiamat, walaupun panjang masanya.
2. Orang-orang beriman yang berbuat maksiat, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengadzab mereka dengan sebab dosa-dosanya. Di antara mereka ada yang diadzab terus-menerus, ada pula yang tidak. Ada yang panjang masanya, ada pula yang tidak, tergantung dosa-dosanya serta ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, 2/123)
Macam-macam Adzab Kubur
1. Diperlihatkan neraka jahannam.
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.” (Ghafir: 46)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا مَاتَ عُرِضَ عَلَيْهِ مَقْعَدَهُ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ، إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَمِنْ أَهْلِ النَّارِ فَيُقَالُ: هَذَا مَقْعَدُكَ حَتَّى يَبْعَثَكَ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya apabila salah seorang di antara kalian mati maka akan ditampakkan kepadanya calon tempat tinggalnya pada waktu pagi dan sore. Bila dia termasuk calon penghuni surga, maka ditampakkan kepadanya surga. Bila dia termasuk calon penghuni neraka maka ditampakkan kepadanya neraka, dikatakan kepadanya: ‘Ini calon tempat tinggalmu, hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala membangkitkanmu pada hari kiamat’.” (Muttafaqun ‘alaih)
2. Dipukul dengan palu dari besi.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:فَأَمَّا الْكَافِرُ وَالْمُنَافِقُ فَيَقُولَانِ لَهُ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ؟ فَيَقُولُ: لَا أَدْرِي، كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ. فَيَقُولَانِ: لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَيْتَ. ثُمَّ يُضْرَبُ بِمِطْرَاقٍ مِنْ حَدِيدٍ بَيْنَ أُذُنَيْهِ فَيَصِيحُ فَيَسْمَعُهَا مَنْ عَلَيْهَا غَيْرُ الثَّقَلَيْنِ
Adapun orang kafir atau munafik, maka kedua malaikat tersebut bertanya kepadanya: “Apa jawabanmu tentang orang ini (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)?” Dia mengatakan: “Aku tidak tahu. Aku mengatakan apa yang dikatakan orang-orang.” Maka kedua malaikat itu mengatakan: “Engkau tidak tahu?! Engkau tidak membaca?!” Kemudian ia dipukul dengan palu dari besi, tepat di wajahnya. Dia lalu menjerit dengan jeritan yang sangat keras yang didengar seluruh penduduk bumi, kecuali dua golongan: jin dan manusia.” (Muttafaqun ‘alaih)
3. Disempitkan kuburnya, sampai tulang-tulang rusuknya saling bersilangan, dan didatangi teman yang buruk wajahnya dan busuk baunya.
Dalam hadits Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu yang panjang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang orang kafir setelah mati:فَأَفْرِشُوهُ مِنَ النَّارِ وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا مِنَ النَّارِ؛ فَيَأْتِيهِ مِنْ حَرِّهَا وَسُمُومِهَا وَيَضِيقُ عَلَيْهِ قَبْرُهُ حَتَّى تَخْتَلِفَ فِيهِ أَضْلاَعُهُ وَيَأْتِيهِ رَجُلٌ قَبِيحُ الْوَجْهِ قَبِيحُ الثِّيَابِ مُنْتِنُ الرِّيحِ فَيَقُولُ: أَبْشِرْ بِالَّذِي يَسُوؤُكَ، هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوعَدُ. فَيَقُولُ: مَنْ أَنْتَ، فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ الَّذِي يَجِيءُ بِالشَّرِّ. فَيَقُولُ: أَنَا عَمَلُكَ الْخَبِيثُ. فَيَقُولُ: رَبِّ لَا تُقِمِ السَّاعَةَ
“Gelarkanlah untuknya alas tidur dari api neraka, dan bukakanlah untuknya sebuah pintu ke neraka. Maka panas dan uap panasnya mengenainya. Lalu disempitkan kuburnya sampai tulang-tulang rusuknya berimpitan. Kemudian datanglah kepadanya seseorang yang jelek wajahnya, jelek pakaiannya, dan busuk baunya. Dia berkata: ‘Bergembiralah engkau dengan perkara yang akan menyiksamu. Inilah hari yang dahulu engkau dijanjikan dengannya (di dunia).’ Maka dia bertanya: ‘Siapakah engkau? Wajahmu adalah wajah yang datang dengan kejelekan.’ Dia menjawab: ‘Aku adalah amalanmu yang jelek.’ Maka dia berkata: ‘Wahai Rabbku, jangan engkau datangkan hari kiamat’.” (HR. Ahmad, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Al-Hakim)
4. Dirobek-robek mulutnya, dimasukkan ke dalam tanur yang dibakar, dipecah kepalanya di atas batu, ada pula yang disiksa di sungai darah, bila mau keluar dari sungai itu dilempari batu pada mulutnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Jibril dan Mikail ‘alaihissalam sebagaimana disebutkan dalam hadits yang panjang:فَأَخْبِرَانِي عَمَّا رَأَيْتُ. قَالَا: نَعَمْ، أَمَّا الَّذِي رَأَيْتَهُ يُشَقُّ شِدْقُهُ فَكَذَّابٌ يُحَدِّثُ بِالْكَذْبَةِ فَتُحْمَلُ عَنْهُ حَتَّى تَبْلُغَ الْآفَاقَ فَيُصْنَعُ بِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَالَّذِي رَأَيْتَهُ يُشْدَخُ رَأْسُهُ فَرَجُلٌ عَلَّمَهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَنَامَ عَنْهُ بِاللَّيْلِ وَلَمْ يَعْمَلْ فِيهِ بِالنَّهَارِ يُفْعَلُ بِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَالَّذِي رَأَيْتَهُ فِي الثَّقْبِ فَهُمُ الزُّنَاةُ، وَالَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهْرِ آكِلُوا الرِّبَا
“Beritahukanlah kepadaku tentang apa yang aku lihat.” Keduanya menjawab: “Ya. Adapun orang yang engkau lihat dirobek mulutnya, dia adalah pendusta. Dia berbicara dengan kedustaan lalu kedustaan itu dinukil darinya sampai tersebar luas. Maka dia disiksa dengan siksaan tersebut hingga hari kiamat. Adapun orang yang engkau lihat dipecah kepalanya, dia adalah orang yang engkau lihat dipecah kepalanya, dia adalah orang yang telah Allah ajari Al-Qur’an, namun dia tidur malam (dan tidak bangun untuk shalat malam). Pada siang hari pun dia tidak mengamalkannya. Maka dia disiksa dengan siksaan itu hingga hari kiamat. Adapun yang engkau lihat orang yang disiksa dalam tanur, mereka adalah pezina. Adapun orang yang engkau lihat di sungai darah, dia adalah orang yang makan harta dari hasil riba.” (HR. Al-Bukhari no. 1386 dari Jundub bin Samurah radhiyallahu ‘anhu)
5. Dicabik-cabik ular-ular yang besar dan ganas.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:فَإِذَا أَنَا بِنِسَاءٍ تَنْهَشُ ثَدْيَهُنَّ الْحَيَّاتُ، فَقُلْتُ: مَا بَالُ هَؤُلَاءِ؟ فَقَالَ: اللَّوَاتِي يَمْنَعْنَ أَوْلَادَهُنَّ أَلْبَانَهُنَّ
“Tiba-tiba aku melihat para wanita yang payudara-payudara mereka dicabik-cabik ular yang ganas. Maka aku bertanya: ‘Kenapa mereka?’ Malaikat menjawab: ‘Mereka adalah para wanita yang tidak mau menyusui anak-anaknya (tanpa alasan syar’i)’.” (HR. Al-Hakim. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Al-Jami’ush Shahih berkata: “Ini hadits shahih dari Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu.”)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber rujukan:
1. http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=811
2. http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=810
http://kaahil.wordpress.com/2013/03/14/lengkap-prahara-adzab-kubursiksa-kubur-sebab-seorang-mendapat-azab-kubur-kekafiran-kesyirikan-kemunafikan-tidak-menjaga-diri-dari-air-kencing-dan-mengadu-domba-ghibah-niyahah-meratap/
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الْأُمُورِ
كُلِّهَا كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ يَقُولُ إِذَا
هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ
الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ
بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ
وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ
هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي
أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي
ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ
شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي
عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ
وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِي قَالَ وَيُسَمِّي
حَاجَتَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kami
istikharah dalam setiap urusan yan kami hadapi sebagaimana beliau
mengajarkan kami suatu surah dari Al-Qur’an. Beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Jika seorang dari kalian menghadapi masalah maka
ruku’lah (shalat) dua raka’at yang bukan shalat wajib kemudian
berdo’alah:
Allahumma inniy astakhiiruka bi ‘ilmika wa astaqdiruka biqudratika wa as-aluka min fadhlikal ‘azhim, fainnaka taqdiru wa laa aqdiru wa ta’lamu wa laa ‘Abdullah’lamu wa anta ‘allaamul ghuyuub. Allahumma in kunta ta’lamu anna haadzal amru khairul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy” atau; ‘Aajili amriy wa aajilihi faqdurhu liy wa yassirhu liy tsumma baarik liy fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna haadzal amru syarrul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy” aw qaola; fiy ‘aajili amriy wa aajilihi fashrifhu ‘anniy washrifniy ‘anhu waqdurliyl khaira haitsu kaana tsummar dhiniy.”
(Ya Allah aku memohon pilihan kepada-Mu dengan ilmuMu dan
memohon kemampuan dengan kekuasaan-Mu dan aku memohon karunia-Mu yang
Agung. Karena Engkau Maha Mampu sedang aku tidak mampu, Engkau Maha
Mengetahui sedang aku tidak mengetahui, Engkaulah yang Maha Mengetahui
perkara yang gaib. Ya Allah bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini
baik untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini
-atau beliau bersabda: di waktu dekat atau di masa nanti- maka
takdirkanlah buatku dan mudahkanlah kemudian berikanlah berkah padanya.
Namun sebaliknya ya Allah, bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini
buruk untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini
-atau beliau bersabda: di waktu dekat atau di masa nanti- maka
jauhkanlah urusan dariku dan jauhkanlah aku darinya. Dan tetapkanlah
buatku urusan yang baik saja dimanapun adanya kemudian jadikanlah aku
ridha dengan ketetapan-Mu itu”. Beliau bersabda: “Dia sebutkan urusan
yang sedang diminta pilihannya itu”. (HR. Al-Bukhari no. 1162)
Cara menyebutkan urusannya misalnya: Ya Allah, jika engkau mengetahui bahwa safar ini atau pernikahan ini atau usaha ini atau mobil ini baik bagiku …,
Cara menyebutkan urusannya misalnya: Ya Allah, jika engkau mengetahui bahwa safar ini atau pernikahan ini atau usaha ini atau mobil ini baik bagiku …,
Kalimat tauhid mempunyai keuta-maan yang sangat agung. Dengan kalimat
tersebut seseorang akan dapat masuk surga dan selamat dari api neraka.
Sehingga dikata-kan bahwa kalimat tauhid merupakan kunci surga.
Barangsiapa yang akhir kalimatnya adalah لا إله إلا الله maka dia termasuk ahlul jannah (penghuni surga).
Namun sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh dalam kitab Fathul Majid bahwa setiap kunci memiliki gigi-gigi. Dan tanpa gigi-gigi tersebut tidak dapat dikatakan kunci dan tidak bisa dipakai untuk membuka. Gigi-gigi pada kunci surga tersebut adalah syarat-syarat لا إله إلا الله. Barang siapa memenuhi syarat-syarat tersebut dia akan mendapatkan surga, sedangkan barang-sapa yang tidak melengkapinya maka ucapan-nya hanya igauan tanpa makna.
Ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam memberikan jaminan surga kepada orang-orang mukmin, Rasulullah menyebutkannya degan lafadz:
Lafadz شهد (bersaksi) bukanlah sekedar ucapan, karena persaksian lebih luas makna-nya daripada ucapan. Lafadz ini mengandung ucapan dengan lisan, ilmu, pemahaman, keyakinan dalam hati dan pembuktian dengan amalan.
Bukankah kita ketahui bahwa seseorang yang mempersaksikan suatu persaksian di hadapan hakim di pengadilan, tidak akan diterima jika saksi tersebut tidak mengetahui? Atau ia tidak memahami apa yang dia ucap-kan? Bukankah jika ia berbicara dengan ragu dan tidak yakin juga tidak akan diterima persaksiannya? Demikian pula persaksian se-seorang yang bertentangan dengan perbu-atannya sendiri, tidak akan dipercaya oleh pengadilan manapun. Hal ini jika ditinjau dari makna شهد (mempersaksikan).
Oleh karena itu sebatas mengucapkan-nya tanpa adanya pengetahuan tentang mak-nanya, keyakinan hati, dan tanpa pengamalan terhadap konsekwensi-konsekwensinya baik berupa pensucian diri dari noda kesyirikan maupun pengikhlasan ucapan dan amalan –ucapan hati dan lisan, amalan hati dan anggo-ta badan- maka hal tersebut tidaklah berman-faat menurut kesepakatan para ulama (lihat Fathul Majid, Abdurrahman Alu Syaikh, hal. 52)
Itulah hakikat makna syahadat yang harus ditunjukkan dengan adanya keikhlasan dan kejujuran yang mana keduanya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika tidak mengikhlaskan persaksiannya berarti dia adalah musyrik dan apabila tidak jujur dalam persaksiannya berarti dia munafiq.
Jadi, persaksian dengan kalimat لا إله إلا الله yang merupakan kunci untuk membuka pintu surga tentu harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
Syarat pertama: Ilmu
yaitu pengetahuan terhadap makna syahadat yang membuahkan peniadaan terhadap kebo-dohan. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
dan dalam hadits disebutkan:
Syarat kedua: Yakin
Yaitu keyakinan dengan tanpa keraguan terhadap kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali jika seseorang meng-ucapkannya dalam keadaan yakin terhadap kandungan makna dari persaksiannya.
Dalilnya adalah firman-Nya:
Untuk membuktikan kebenaran keimanan-nya, Allah memberikan syarat adanya keya-kinan pada keimanannya ini. Karena orang yang ragu dalam keimanannya tidak lain hanyalah orang-orang munafiq –wal iyadzu billah- sebagaimana yang diterangkan dalam ayat-Nya:
Adapun dalil dari sunnah adalah sebagaima-na disebutkan dalam hadits:
Syarat ketiga: Menerima
Yaitu menerima segala konsekwensi-konsek-wensi dari kalimat syahadat baik dengan hatinya maupun dengan lisannya. Tidak se-perti kaum musyrikin yang tidak mau mene-rima konsekwensi kalimat tauhid yaitu me-ninggalkan sesembahan-sesembahan mereka.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
Adapun dalil dari hadits adalah:
Syarat keempat: Tunduk
yaitu tunduk dan menerima konsek-wensi-konsekwensi kalimat .لا إله إلا الله Allah Azza wa Jalla berfirman:
Syarat kelima: Jujur
Hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan mengucapkannya secara jujur dari dalam hatinya. Maka jika mengucapkan syahadat dengan lisannya akan tetapi tidak dibenarkan oleh hatinya berati dia adalah munafiq, pendusta.
Allah berfirman:
الم(1)أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُونَ 2 وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ العنكبوت: 3
Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengata-kan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah menge-tahui orang-orang yang jujur dan se-sungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (al-Ankabut: 1-3)
dan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam:
Syarat keenam: Ikhlas
yaitu keikhlasan yang bermakna memur-nikan, maka apabila ibadahnya diberikan pula kepada selain Allah, maka hilanglah keikh-lasan dan jatuh ke dalam kesyirikan. Maka keikhlasan harus meniadakan bentuk amalan kesyirikan, kemunafiqan, riya’ dan sum’ah. Allah Azza wa Jalla berfirman:
dan dalam hadits:
Syarat ketujuh: Kecintaan
yaitu kecintaan kepada Allah, terhadap kali-mat syahadat ini, terhadap konsekwensi-kon-sekwensinya, terhadap orang-orang yang me-ngamalkannya dan berpegang teguh dengan syarat-syaratnya serta benci terhadap perka-ra-perkara yang membatalkan syahadat. Se-bagaimana firman-Nya:
dan sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam:
Syarat kedelapan: Mengingkari Thaghut
yaitu segala sesuatu yang diibadahi selain Allah. Bentuk-bentuknya bisa bermacam-macam, bisa dalam bentuk jin, manusia atau pun pohon-pohonan dan hewan-hewan. Dide-finisikan oleh Ibnul Qayyim dengan ucapan-nya: “Thaghut adalah segala sesuatu yang me-nyebabkan manusia keluar dari batas keham-baannya kepada Allah apakah dalam bentuk matbu’ (panutan), ma’bud (sesembahan) atau mutha’ (yang ditaati)”. Atau dengan kata lain sesuatu yang menyebabkan seseorang menjadi kufur dan syirik.
Maka pimpinan thaghut yang harus diingkari pertama adalah setan, kemudian dukun-dukun yang datang pada mereka setan-setan, kemudian semua yang diibadahi selain Allah dalam keadaan ridha yang meng-ajak manusia untuk beribadah kepada diri-nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
dan dalam hadits:
Namun sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh dalam kitab Fathul Majid bahwa setiap kunci memiliki gigi-gigi. Dan tanpa gigi-gigi tersebut tidak dapat dikatakan kunci dan tidak bisa dipakai untuk membuka. Gigi-gigi pada kunci surga tersebut adalah syarat-syarat لا إله إلا الله. Barang siapa memenuhi syarat-syarat tersebut dia akan mendapatkan surga, sedangkan barang-sapa yang tidak melengkapinya maka ucapan-nya hanya igauan tanpa makna.
Ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam memberikan jaminan surga kepada orang-orang mukmin, Rasulullah menyebutkannya degan lafadz:
مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ..... (متفق عليه
Barang siapa yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diiba-dahi kecuali Allah… (HR. Bukhari Muslim)
Lafadz شهد (bersaksi) bukanlah sekedar ucapan, karena persaksian lebih luas makna-nya daripada ucapan. Lafadz ini mengandung ucapan dengan lisan, ilmu, pemahaman, keyakinan dalam hati dan pembuktian dengan amalan.
Bukankah kita ketahui bahwa seseorang yang mempersaksikan suatu persaksian di hadapan hakim di pengadilan, tidak akan diterima jika saksi tersebut tidak mengetahui? Atau ia tidak memahami apa yang dia ucap-kan? Bukankah jika ia berbicara dengan ragu dan tidak yakin juga tidak akan diterima persaksiannya? Demikian pula persaksian se-seorang yang bertentangan dengan perbu-atannya sendiri, tidak akan dipercaya oleh pengadilan manapun. Hal ini jika ditinjau dari makna شهد (mempersaksikan).
Oleh karena itu sebatas mengucapkan-nya tanpa adanya pengetahuan tentang mak-nanya, keyakinan hati, dan tanpa pengamalan terhadap konsekwensi-konsekwensinya baik berupa pensucian diri dari noda kesyirikan maupun pengikhlasan ucapan dan amalan –ucapan hati dan lisan, amalan hati dan anggo-ta badan- maka hal tersebut tidaklah berman-faat menurut kesepakatan para ulama (lihat Fathul Majid, Abdurrahman Alu Syaikh, hal. 52)
Itulah hakikat makna syahadat yang harus ditunjukkan dengan adanya keikhlasan dan kejujuran yang mana keduanya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika tidak mengikhlaskan persaksiannya berarti dia adalah musyrik dan apabila tidak jujur dalam persaksiannya berarti dia munafiq.
Jadi, persaksian dengan kalimat لا إله إلا الله yang merupakan kunci untuk membuka pintu surga tentu harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
Syarat pertama: Ilmu
yaitu pengetahuan terhadap makna syahadat yang membuahkan peniadaan terhadap kebo-dohan. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ.... محمد: 19
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya ti-dak ada Ilah (sesembahan) yang patut diiba-dahi kecuali Allah .... (Muhammad: 19)
dan dalam hadits disebutkan:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ. (رواه مسلم عن عثمان بن عفان
Barangsiapa yang mati, sedangkan ia me-ngetahui bahwa tidak
ada ilah yang patut diibadahi kecuali Allah, maka ia akan masuk surga
(HR. Muslim)
Syarat kedua: Yakin
Yaitu keyakinan dengan tanpa keraguan terhadap kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali jika seseorang meng-ucapkannya dalam keadaan yakin terhadap kandungan makna dari persaksiannya.
Dalilnya adalah firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا...الحجرات: 15
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah
orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian
mereka tidak ragu-ragu ... (al-Hujurat: 15)
Untuk membuktikan kebenaran keimanan-nya, Allah memberikan syarat adanya keya-kinan pada keimanannya ini. Karena orang yang ragu dalam keimanannya tidak lain hanyalah orang-orang munafiq –wal iyadzu billah- sebagaimana yang diterangkan dalam ayat-Nya:
إِنَّمَا
يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ
وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ. التوبة:
45
Sesungguhnya yang akan meminta izin ke-padamu, hanyalah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati
mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam
keragu-annya.(at-Taubah: 45)
Adapun dalil dari sunnah adalah sebagaima-na disebutkan dalam hadits:
مَنْ
لَقِيْتُ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبَهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ. (رواه مسلم
عن أبي هريرة
Barangsiapa yang menemui-Ku dari balik tabir ini yang
bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang patut diibadahi ke-cuali
Allah dengan yakin terhadapnya dalam hatinya, maka berilah kabar
gembira kepa-danya dengan surga. (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Syarat ketiga: Menerima
Yaitu menerima segala konsekwensi-konsek-wensi dari kalimat syahadat baik dengan hatinya maupun dengan lisannya. Tidak se-perti kaum musyrikin yang tidak mau mene-rima konsekwensi kalimat tauhid yaitu me-ninggalkan sesembahan-sesembahan mereka.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّهُمْ
كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ .
وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
الصافات: 36
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dika-takan kepada mereka:
"Laa ilaaha illallah" (Tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali
Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: "Apakah
sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sem-bahan kami karena
seorang penyair gila?" (ash-Shafat: 35-36)
Adapun dalil dari hadits adalah:
إِنَّ
مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللَّهُ بِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْهُدَى
وَالْعِلْمِ كَمَثَ لِغَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ
طَيِّبَةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ
فَأَنْبَتَتِ الْكَـَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا مِنْهَا وَسَقَوْا وَرَعَوْا وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَـَلأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِيْنِ اللهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ. (رواه البخاري
Sesungguhnya permisalan apa-apa yang Allah Azza wa Jalla
telah mengutusku dengan petunjuk dan ilmu ini adalah bagaikan hujan
yang membasahi bumi. Ada di antara bumi yang subur, ia dapat menerima
air, menumbuh-kan pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan yang banyak. Ada pula
bumi yang tidak subur, ia tidak dapat menerima air tesebut, namun Allah
memberikan manfaat bagi ma-nusia, hingga mereka dapat minum darinya dan
menggembalakan ternaknya. Dan ada pula bumi lain yaitu padang pasir
yang tidak bisa menerima air dan tidak pula dapat menumbuhkan
pohon-pohonan. Maka demikianlah permisalan bagi siapa yang paham
terhadap agama Allah dan dapat mengambil manfaat dari apa-apa yang
Allah mengutusku dengannya maka dia mengetahui dan mengajarkannya. Dan
per-misalan bagi siapa yang tidak mengangkat kepalanya dengan hal itu
dan tidak me-nerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya. (HR.
Bukhari)
فَأَنْبَتَتِ الْكَـَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا مِنْهَا وَسَقَوْا وَرَعَوْا وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَـَلأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِيْنِ اللهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ. (رواه البخاري
Syarat keempat: Tunduk
yaitu tunduk dan menerima konsek-wensi-konsekwensi kalimat .لا إله إلا الله Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ
يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ اْلأُمُورِ. لقمان: 22
Dan barangsiapa yang menyerahkan diri-nya kepada Allah,
sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah
berpegang pada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah
kesudahan segala urusan. (Luqman: 22)
Syarat kelima: Jujur
Hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan mengucapkannya secara jujur dari dalam hatinya. Maka jika mengucapkan syahadat dengan lisannya akan tetapi tidak dibenarkan oleh hatinya berati dia adalah munafiq, pendusta.
Allah berfirman:
الم(1)أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُونَ 2 وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ العنكبوت: 3
Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengata-kan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah menge-tahui orang-orang yang jujur dan se-sungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (al-Ankabut: 1-3)
dan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam:
مَا
مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمّدًا
رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى
النَّارِ . (رواه البخاري
Tidaklah dari salah seorang di antara kalian yang bersaksi
bahwasanya tidak ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan
bahwasa-nya Muhammad adalah utusan Allah dengan jujur dari lubuk
hatinya, kecuali Allah akan mengharamkannya dari api neraka. (HR.
Bukhari)
Syarat keenam: Ikhlas
yaitu keikhlasan yang bermakna memur-nikan, maka apabila ibadahnya diberikan pula kepada selain Allah, maka hilanglah keikh-lasan dan jatuh ke dalam kesyirikan. Maka keikhlasan harus meniadakan bentuk amalan kesyirikan, kemunafiqan, riya’ dan sum’ah. Allah Azza wa Jalla berfirman:
...فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ. الزمر: 2
…Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan agama kepada-Nya. (az-Zu-mar: 2)
وَمَآ أُمِرُوآ إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ...
Padahal mereka tidak disuruh kecuali su-paya beribadah kepada
Allah dengan me-murnikan ibadah kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus. (al-Bayyinah: 5)
dan dalam hadits:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ. (رواه البخاري
Manusia yang paling berbahagia dengan syafa’atku di hari
kiamat adalah seseorang yang berkata لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ dengan
ikhlas dari lubuk hatinya. (HR. Bukhari)
Syarat ketujuh: Kecintaan
yaitu kecintaan kepada Allah, terhadap kali-mat syahadat ini, terhadap konsekwensi-kon-sekwensinya, terhadap orang-orang yang me-ngamalkannya dan berpegang teguh dengan syarat-syaratnya serta benci terhadap perka-ra-perkara yang membatalkan syahadat. Se-bagaimana firman-Nya:
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ
كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ....
البقرة: 165
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan se-lain Allah; mereka mencintainya sebagai-mana
mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat
cintanya kepada Allah. (al-Baqarah: 165)
dan sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam:
مَنْ
كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانَ أَنْ يَكُوْنَ اللهُ
وَرَسوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ
لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهُ أنَ ْيَعُوْدَ فِي
الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يَْقذِفَ فِي الناَّرِ. (رواه البخاري
Barangsiapa yang ada padanya (tiga per-kara ini) maka ia akan
mendapatkan manis-nya keimanan. Yakni jika ia lebih mencin-tai Allah
dan rasul-Nya daripada selain ke-duanya, dan jika mencintai seseorang,
ti-daklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan benci pada
kekafiran sebagaimana ke-benciannya untuk dilemparkan ke dalam api
neraka. (HR. Bukhari)
Syarat kedelapan: Mengingkari Thaghut
yaitu segala sesuatu yang diibadahi selain Allah. Bentuk-bentuknya bisa bermacam-macam, bisa dalam bentuk jin, manusia atau pun pohon-pohonan dan hewan-hewan. Dide-finisikan oleh Ibnul Qayyim dengan ucapan-nya: “Thaghut adalah segala sesuatu yang me-nyebabkan manusia keluar dari batas keham-baannya kepada Allah apakah dalam bentuk matbu’ (panutan), ma’bud (sesembahan) atau mutha’ (yang ditaati)”. Atau dengan kata lain sesuatu yang menyebabkan seseorang menjadi kufur dan syirik.
Maka pimpinan thaghut yang harus diingkari pertama adalah setan, kemudian dukun-dukun yang datang pada mereka setan-setan, kemudian semua yang diibadahi selain Allah dalam keadaan ridha yang meng-ajak manusia untuk beribadah kepada diri-nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
...قَدْ
تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ
وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ
انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. البقرة: 256
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. Karena itu ba-rangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguh-nya ia telah berpegang kepada tali yang
amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (al-Baqarah: 256)
dan dalam hadits:
مَنْ
قالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ
حَرَّمَ مَالُهُ وَدَمُّهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ. (رواه مسلم
Barangsiapa yang berkata لا إله إلا الله dan me-ngingkari
terhadap apa-apa yang diibada-hi selain Allah, maka haram harta dan
da-rahnya. Adapun perhitungannya ada pada sisi Allah (HR. Muslim).
Wallahu a’lam. Ustadz Muhammad Umar As-sewed
http://www.muhammad-assewed.blogspot.com/
Kalimat tauhid mempunyai keuta-maan yang sangat agung. Dengan kalimat
tersebut seseorang akan dapat masuk surga dan selamat dari api neraka.
Sehingga dikata-kan bahwa kalimat tauhid merupakan kunci surga.
Barangsiapa yang akhir kalimatnya adalah لا إله إلا الله maka dia termasuk ahlul jannah (penghuni surga).
Namun sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh dalam kitab Fathul Majid bahwa setiap kunci memiliki gigi-gigi. Dan tanpa gigi-gigi tersebut tidak dapat dikatakan kunci dan tidak bisa dipakai untuk membuka. Gigi-gigi pada kunci surga tersebut adalah syarat-syarat لا إله إلا الله. Barang siapa memenuhi syarat-syarat tersebut dia akan mendapatkan surga, sedangkan barang-sapa yang tidak melengkapinya maka ucapan-nya hanya igauan tanpa makna.
Ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam memberikan jaminan surga kepada orang-orang mukmin, Rasulullah menyebutkannya degan lafadz:
Lafadz شهد (bersaksi) bukanlah sekedar ucapan, karena persaksian lebih luas makna-nya daripada ucapan. Lafadz ini mengandung ucapan dengan lisan, ilmu, pemahaman, keyakinan dalam hati dan pembuktian dengan amalan.
Bukankah kita ketahui bahwa seseorang yang mempersaksikan suatu persaksian di hadapan hakim di pengadilan, tidak akan diterima jika saksi tersebut tidak mengetahui? Atau ia tidak memahami apa yang dia ucap-kan? Bukankah jika ia berbicara dengan ragu dan tidak yakin juga tidak akan diterima persaksiannya? Demikian pula persaksian se-seorang yang bertentangan dengan perbu-atannya sendiri, tidak akan dipercaya oleh pengadilan manapun. Hal ini jika ditinjau dari makna شهد (mempersaksikan).
Oleh karena itu sebatas mengucapkan-nya tanpa adanya pengetahuan tentang mak-nanya, keyakinan hati, dan tanpa pengamalan terhadap konsekwensi-konsekwensinya baik berupa pensucian diri dari noda kesyirikan maupun pengikhlasan ucapan dan amalan –ucapan hati dan lisan, amalan hati dan anggo-ta badan- maka hal tersebut tidaklah berman-faat menurut kesepakatan para ulama (lihat Fathul Majid, Abdurrahman Alu Syaikh, hal. 52)
Itulah hakikat makna syahadat yang harus ditunjukkan dengan adanya keikhlasan dan kejujuran yang mana keduanya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika tidak mengikhlaskan persaksiannya berarti dia adalah musyrik dan apabila tidak jujur dalam persaksiannya berarti dia munafiq.
Jadi, persaksian dengan kalimat لا إله إلا الله yang merupakan kunci untuk membuka pintu surga tentu harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
Syarat pertama: Ilmu
yaitu pengetahuan terhadap makna syahadat yang membuahkan peniadaan terhadap kebo-dohan. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
dan dalam hadits disebutkan:
Syarat kedua: Yakin
Yaitu keyakinan dengan tanpa keraguan terhadap kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali jika seseorang meng-ucapkannya dalam keadaan yakin terhadap kandungan makna dari persaksiannya.
Dalilnya adalah firman-Nya:
Untuk membuktikan kebenaran keimanan-nya, Allah memberikan syarat adanya keya-kinan pada keimanannya ini. Karena orang yang ragu dalam keimanannya tidak lain hanyalah orang-orang munafiq –wal iyadzu billah- sebagaimana yang diterangkan dalam ayat-Nya:
Adapun dalil dari sunnah adalah sebagaima-na disebutkan dalam hadits:
Syarat ketiga: Menerima
Yaitu menerima segala konsekwensi-konsek-wensi dari kalimat syahadat baik dengan hatinya maupun dengan lisannya. Tidak se-perti kaum musyrikin yang tidak mau mene-rima konsekwensi kalimat tauhid yaitu me-ninggalkan sesembahan-sesembahan mereka.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
Adapun dalil dari hadits adalah:
Syarat keempat: Tunduk
yaitu tunduk dan menerima konsek-wensi-konsekwensi kalimat .لا إله إلا الله Allah Azza wa Jalla berfirman:
Syarat kelima: Jujur
Hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan mengucapkannya secara jujur dari dalam hatinya. Maka jika mengucapkan syahadat dengan lisannya akan tetapi tidak dibenarkan oleh hatinya berati dia adalah munafiq, pendusta.
Allah berfirman:
الم(1)أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُونَ 2 وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ العنكبوت: 3
Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengata-kan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah menge-tahui orang-orang yang jujur dan se-sungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (al-Ankabut: 1-3)
dan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam:
Syarat keenam: Ikhlas
yaitu keikhlasan yang bermakna memur-nikan, maka apabila ibadahnya diberikan pula kepada selain Allah, maka hilanglah keikh-lasan dan jatuh ke dalam kesyirikan. Maka keikhlasan harus meniadakan bentuk amalan kesyirikan, kemunafiqan, riya’ dan sum’ah. Allah Azza wa Jalla berfirman:
dan dalam hadits:
Syarat ketujuh: Kecintaan
yaitu kecintaan kepada Allah, terhadap kali-mat syahadat ini, terhadap konsekwensi-kon-sekwensinya, terhadap orang-orang yang me-ngamalkannya dan berpegang teguh dengan syarat-syaratnya serta benci terhadap perka-ra-perkara yang membatalkan syahadat. Se-bagaimana firman-Nya:
dan sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam:
Syarat kedelapan: Mengingkari Thaghut
yaitu segala sesuatu yang diibadahi selain Allah. Bentuk-bentuknya bisa bermacam-macam, bisa dalam bentuk jin, manusia atau pun pohon-pohonan dan hewan-hewan. Dide-finisikan oleh Ibnul Qayyim dengan ucapan-nya: “Thaghut adalah segala sesuatu yang me-nyebabkan manusia keluar dari batas keham-baannya kepada Allah apakah dalam bentuk matbu’ (panutan), ma’bud (sesembahan) atau mutha’ (yang ditaati)”. Atau dengan kata lain sesuatu yang menyebabkan seseorang menjadi kufur dan syirik.
Maka pimpinan thaghut yang harus diingkari pertama adalah setan, kemudian dukun-dukun yang datang pada mereka setan-setan, kemudian semua yang diibadahi selain Allah dalam keadaan ridha yang meng-ajak manusia untuk beribadah kepada diri-nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
dan dalam hadits:
Namun sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh dalam kitab Fathul Majid bahwa setiap kunci memiliki gigi-gigi. Dan tanpa gigi-gigi tersebut tidak dapat dikatakan kunci dan tidak bisa dipakai untuk membuka. Gigi-gigi pada kunci surga tersebut adalah syarat-syarat لا إله إلا الله. Barang siapa memenuhi syarat-syarat tersebut dia akan mendapatkan surga, sedangkan barang-sapa yang tidak melengkapinya maka ucapan-nya hanya igauan tanpa makna.
Ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam memberikan jaminan surga kepada orang-orang mukmin, Rasulullah menyebutkannya degan lafadz:
مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ..... (متفق عليه
Barang siapa yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diiba-dahi kecuali Allah… (HR. Bukhari Muslim)
Lafadz شهد (bersaksi) bukanlah sekedar ucapan, karena persaksian lebih luas makna-nya daripada ucapan. Lafadz ini mengandung ucapan dengan lisan, ilmu, pemahaman, keyakinan dalam hati dan pembuktian dengan amalan.
Bukankah kita ketahui bahwa seseorang yang mempersaksikan suatu persaksian di hadapan hakim di pengadilan, tidak akan diterima jika saksi tersebut tidak mengetahui? Atau ia tidak memahami apa yang dia ucap-kan? Bukankah jika ia berbicara dengan ragu dan tidak yakin juga tidak akan diterima persaksiannya? Demikian pula persaksian se-seorang yang bertentangan dengan perbu-atannya sendiri, tidak akan dipercaya oleh pengadilan manapun. Hal ini jika ditinjau dari makna شهد (mempersaksikan).
Oleh karena itu sebatas mengucapkan-nya tanpa adanya pengetahuan tentang mak-nanya, keyakinan hati, dan tanpa pengamalan terhadap konsekwensi-konsekwensinya baik berupa pensucian diri dari noda kesyirikan maupun pengikhlasan ucapan dan amalan –ucapan hati dan lisan, amalan hati dan anggo-ta badan- maka hal tersebut tidaklah berman-faat menurut kesepakatan para ulama (lihat Fathul Majid, Abdurrahman Alu Syaikh, hal. 52)
Itulah hakikat makna syahadat yang harus ditunjukkan dengan adanya keikhlasan dan kejujuran yang mana keduanya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika tidak mengikhlaskan persaksiannya berarti dia adalah musyrik dan apabila tidak jujur dalam persaksiannya berarti dia munafiq.
Jadi, persaksian dengan kalimat لا إله إلا الله yang merupakan kunci untuk membuka pintu surga tentu harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
Syarat pertama: Ilmu
yaitu pengetahuan terhadap makna syahadat yang membuahkan peniadaan terhadap kebo-dohan. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ.... محمد: 19
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya ti-dak ada Ilah (sesembahan) yang patut diiba-dahi kecuali Allah .... (Muhammad: 19)
dan dalam hadits disebutkan:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ. (رواه مسلم عن عثمان بن عفان
Barangsiapa yang mati, sedangkan ia me-ngetahui bahwa tidak
ada ilah yang patut diibadahi kecuali Allah, maka ia akan masuk surga
(HR. Muslim)
Syarat kedua: Yakin
Yaitu keyakinan dengan tanpa keraguan terhadap kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali jika seseorang meng-ucapkannya dalam keadaan yakin terhadap kandungan makna dari persaksiannya.
Dalilnya adalah firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا...الحجرات: 15
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah
orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian
mereka tidak ragu-ragu ... (al-Hujurat: 15)
Untuk membuktikan kebenaran keimanan-nya, Allah memberikan syarat adanya keya-kinan pada keimanannya ini. Karena orang yang ragu dalam keimanannya tidak lain hanyalah orang-orang munafiq –wal iyadzu billah- sebagaimana yang diterangkan dalam ayat-Nya:
إِنَّمَا
يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ
وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ. التوبة:
45
Sesungguhnya yang akan meminta izin ke-padamu, hanyalah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati
mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam
keragu-annya.(at-Taubah: 45)
Adapun dalil dari sunnah adalah sebagaima-na disebutkan dalam hadits:
مَنْ
لَقِيْتُ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبَهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ. (رواه مسلم
عن أبي هريرة
Barangsiapa yang menemui-Ku dari balik tabir ini yang
bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang patut diibadahi ke-cuali
Allah dengan yakin terhadapnya dalam hatinya, maka berilah kabar
gembira kepa-danya dengan surga. (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Syarat ketiga: Menerima
Yaitu menerima segala konsekwensi-konsek-wensi dari kalimat syahadat baik dengan hatinya maupun dengan lisannya. Tidak se-perti kaum musyrikin yang tidak mau mene-rima konsekwensi kalimat tauhid yaitu me-ninggalkan sesembahan-sesembahan mereka.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّهُمْ
كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ .
وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
الصافات: 36
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dika-takan kepada mereka:
"Laa ilaaha illallah" (Tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali
Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: "Apakah
sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sem-bahan kami karena
seorang penyair gila?" (ash-Shafat: 35-36)
Adapun dalil dari hadits adalah:
إِنَّ
مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللَّهُ بِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْهُدَى
وَالْعِلْمِ كَمَثَ لِغَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ
طَيِّبَةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ
فَأَنْبَتَتِ الْكَـَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا مِنْهَا وَسَقَوْا وَرَعَوْا وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَـَلأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِيْنِ اللهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ. (رواه البخاري
Sesungguhnya permisalan apa-apa yang Allah Azza wa Jalla
telah mengutusku dengan petunjuk dan ilmu ini adalah bagaikan hujan
yang membasahi bumi. Ada di antara bumi yang subur, ia dapat menerima
air, menumbuh-kan pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan yang banyak. Ada pula
bumi yang tidak subur, ia tidak dapat menerima air tesebut, namun Allah
memberikan manfaat bagi ma-nusia, hingga mereka dapat minum darinya dan
menggembalakan ternaknya. Dan ada pula bumi lain yaitu padang pasir
yang tidak bisa menerima air dan tidak pula dapat menumbuhkan
pohon-pohonan. Maka demikianlah permisalan bagi siapa yang paham
terhadap agama Allah dan dapat mengambil manfaat dari apa-apa yang
Allah mengutusku dengannya maka dia mengetahui dan mengajarkannya. Dan
per-misalan bagi siapa yang tidak mengangkat kepalanya dengan hal itu
dan tidak me-nerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya. (HR.
Bukhari)
فَأَنْبَتَتِ الْكَـَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا مِنْهَا وَسَقَوْا وَرَعَوْا وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَـَلأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِيْنِ اللهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ. (رواه البخاري
Syarat keempat: Tunduk
yaitu tunduk dan menerima konsek-wensi-konsekwensi kalimat .لا إله إلا الله Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ
يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ اْلأُمُورِ. لقمان: 22
Dan barangsiapa yang menyerahkan diri-nya kepada Allah,
sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah
berpegang pada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah
kesudahan segala urusan. (Luqman: 22)
Syarat kelima: Jujur
Hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan mengucapkannya secara jujur dari dalam hatinya. Maka jika mengucapkan syahadat dengan lisannya akan tetapi tidak dibenarkan oleh hatinya berati dia adalah munafiq, pendusta.
Allah berfirman:
الم(1)أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُونَ 2 وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ العنكبوت: 3
Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengata-kan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah menge-tahui orang-orang yang jujur dan se-sungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (al-Ankabut: 1-3)
dan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam:
مَا
مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمّدًا
رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى
النَّارِ . (رواه البخاري
Tidaklah dari salah seorang di antara kalian yang bersaksi
bahwasanya tidak ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan
bahwasa-nya Muhammad adalah utusan Allah dengan jujur dari lubuk
hatinya, kecuali Allah akan mengharamkannya dari api neraka. (HR.
Bukhari)
Syarat keenam: Ikhlas
yaitu keikhlasan yang bermakna memur-nikan, maka apabila ibadahnya diberikan pula kepada selain Allah, maka hilanglah keikh-lasan dan jatuh ke dalam kesyirikan. Maka keikhlasan harus meniadakan bentuk amalan kesyirikan, kemunafiqan, riya’ dan sum’ah. Allah Azza wa Jalla berfirman:
...فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ. الزمر: 2
…Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan agama kepada-Nya. (az-Zu-mar: 2)
وَمَآ أُمِرُوآ إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ...
Padahal mereka tidak disuruh kecuali su-paya beribadah kepada
Allah dengan me-murnikan ibadah kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus. (al-Bayyinah: 5)
dan dalam hadits:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ. (رواه البخاري
Manusia yang paling berbahagia dengan syafa’atku di hari
kiamat adalah seseorang yang berkata لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ dengan
ikhlas dari lubuk hatinya. (HR. Bukhari)
Syarat ketujuh: Kecintaan
yaitu kecintaan kepada Allah, terhadap kali-mat syahadat ini, terhadap konsekwensi-kon-sekwensinya, terhadap orang-orang yang me-ngamalkannya dan berpegang teguh dengan syarat-syaratnya serta benci terhadap perka-ra-perkara yang membatalkan syahadat. Se-bagaimana firman-Nya:
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ
كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ....
البقرة: 165
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan se-lain Allah; mereka mencintainya sebagai-mana
mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat
cintanya kepada Allah. (al-Baqarah: 165)
dan sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam:
مَنْ
كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانَ أَنْ يَكُوْنَ اللهُ
وَرَسوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ
لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهُ أنَ ْيَعُوْدَ فِي
الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يَْقذِفَ فِي الناَّرِ. (رواه البخاري
Barangsiapa yang ada padanya (tiga per-kara ini) maka ia akan
mendapatkan manis-nya keimanan. Yakni jika ia lebih mencin-tai Allah
dan rasul-Nya daripada selain ke-duanya, dan jika mencintai seseorang,
ti-daklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan benci pada
kekafiran sebagaimana ke-benciannya untuk dilemparkan ke dalam api
neraka. (HR. Bukhari)
Syarat kedelapan: Mengingkari Thaghut
yaitu segala sesuatu yang diibadahi selain Allah. Bentuk-bentuknya bisa bermacam-macam, bisa dalam bentuk jin, manusia atau pun pohon-pohonan dan hewan-hewan. Dide-finisikan oleh Ibnul Qayyim dengan ucapan-nya: “Thaghut adalah segala sesuatu yang me-nyebabkan manusia keluar dari batas keham-baannya kepada Allah apakah dalam bentuk matbu’ (panutan), ma’bud (sesembahan) atau mutha’ (yang ditaati)”. Atau dengan kata lain sesuatu yang menyebabkan seseorang menjadi kufur dan syirik.
Maka pimpinan thaghut yang harus diingkari pertama adalah setan, kemudian dukun-dukun yang datang pada mereka setan-setan, kemudian semua yang diibadahi selain Allah dalam keadaan ridha yang meng-ajak manusia untuk beribadah kepada diri-nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
...قَدْ
تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ
وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ
انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. البقرة: 256
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. Karena itu ba-rangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguh-nya ia telah berpegang kepada tali yang
amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (al-Baqarah: 256)
dan dalam hadits:
مَنْ
قالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ
حَرَّمَ مَالُهُ وَدَمُّهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ. (رواه مسلم
Barangsiapa yang berkata لا إله إلا الله dan me-ngingkari
terhadap apa-apa yang diibada-hi selain Allah, maka haram harta dan
da-rahnya. Adapun perhitungannya ada pada sisi Allah (HR. Muslim).
Wallahu a’lam. Ustadz Muhammad Umar As-sewed
http://www.muhammad-assewed.blogspot.com/
Langganan:
Postingan (Atom)