Jumat, 10 Februari 2012

Maulid

- Aqiqah bayi yang baru lahir disyariatkan karena ada dalil. Makanya aqiqah memiliki adab2nya, seperti harinya, jenis hewan yang disembelih, jumlah sembelihan, yang bertanggung jawab atas aqiqah, syarat aqiqah, dsb.
- Memakai sandal memiliki banyak adab atau tata cara dalam syariat, karena ada dalil, seperti memulai memakai dengan kaki kanan, melepaskan dengan kaki kiri lebih dulu, tidak boleh memakai sandal sebelah, boleh mengusap sandal ketika berwudhu, doa memakai sandal, dsb.
- Meludah juga memiliki banyak adab2 yang diajarkan syariat, karena ada dalil yang mengajarkan.

- Memakai pakaian juga sudah diajarkan adab2nya dalam islam. Banyak dalil tentang ini.
- Cebok / istinja, buang air juga sudah diajarkan adab2nya dalam islam. Banyak dalil tentang ini.
- Khitan juga memiliki banyak adab yang ada dalil2nya. Dan islam tidak lupa telah mengajarkan tentang ini.
- Bekam juga memiliki banyak adab dan tata caranya, banyak dalil yang telah memberitahu tentang ini.
- Ada juga adab2 pada hari raya idul fithri dan idul adha. Semua itu ada dalilnya.
- Bersetubuh dengan istri juga memiliki banyak adab dan tata caranya. Dalil tidak lupa mengajarkannya semua.
- Segala sesuatu yang ada dalilnya dan telah diajarkan islam memiliki adab2nya, seperti adab poligami, menyisir, mencium, memasak, mandi, potong kuku, mencukur bulu kemaluan, shalat gerhana, shalat khauf, puasa tasu’a dan asyura, i’tikaf, walimah, makan, minum, tidur, mimpi, menyembelih, bersiwak, mentahniq bayi, dll. Hal ini adalah termasuk bentuk kesempurnaan agama islam.
Kemudian, bagaimana halnya dengan perayaan Maulid Nabi?
Al Masail:
1. Apakah perayaan Maulid Nabi memiliki dalil yang jelas dan shahih?
2. Jika memiliki dalil, maka apa saja adab2 atau tata cara Maulid Nabi yang sudah diajarkan Islam sesuai dengan dalilnya?
3. Jika tidak ada dalilnya, lantas kenapa diperingati dan dirayakan?
4. Jika tidak ada dalilnya, apakah mungkin Rasulullah shalallahu alaihis sallam kelupaan menyampaikan kepada umatnya?
5. Atau apakah mungkin Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menyembunyikannya agar tidak diketahui umatnya?
6. Apakah mungkin masalah tentang maulid Nabi hanya diketahui oleh orang2 setelah abad ke 4 hijriyah, sedangkan orang2 yang sebelumnya seperti para shahabat Nabi, Tabi’in, Tabiut Tabi’in, dan juga Imam yang empat tidak mengetahui tentang perayaan Maulid Nabi?
7. Atau apakah mungkin orang2 setelah abad ke 4 hijriyah lebih pintar atau alim karena mereka mengetahui dan merayakan Maulid daripada para shahabat Nabi dan para ulama sebelum abad ke 4 hijriyah?
8. Apakah perayaan Maulid Nabi termasuk perkara yang besar atau perkara yang kecil?
9. Jika Maulid Nabi termasuk perkara besar, lantas mana perintah atau dalilnya yang shahih dan diakui oleh para ulama ahlu hadits?
10. Jika Maulid Nabi adalah perkara besar, lantas kenapa tidak ada seorangpun dari shahabat Nabi yang merayakannya? Padahal mereka jauh lebih mencintai Rasulullah.
11. Jika Maulid Nabi adalah perkara kecil, lantas kenapa manusia begitu antusias dan semangat untuk merayakannya? Sedangkan perkara2 besar yang lain dan wajib hukumnya mereka tinggalkan dan kesampingkan.
12. Apakah mungkin jika perkara2 yang kecil telah diajarkan oleh islam, sedangkan perkara2 yang besar tidak diajarkan islam?
Jelas tidak mungkin. Justru perkara2 yang besar lebih diajarkan dalam islam.
13. Pantaskah Rasulullah mengajarkan tata cara memakai sendal, meludah, cebok, dsb sedangkan perayaan Maulidnya sendiri serta adab dan tata caranya tidak beliau ajarkan kepada sahabat2nya dan umatnya yang dicintainya?
14. Pernahkah kita membaca riwayat bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau sahabat2 Nabi lainnya mengucapkan Selamat Ulang Tahun kepada Nabinya? Atau mereka kumpul2 dan berpesta pada hari ‘Birthday’ Nabinya? Atau mereka melakukan ritual ibadah khusus pada hari Ulang Tahun Nabinya? Atau mereka saling memberikan kado atau hadiah untuk Nabinya spesial pada hari ulang tahunnya?
15. Apakah ada pembahasan atau bab tentang Maulid Nabi pada kitab2 ulama salaf terdahulu, seperti di kitab Al Umm Imam Syafi’i, Musnad Imam Ahmad, Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari Ibnu Hajar, Syarah Shahih Muslim an Nawawi, atau pada kitabut tis’ah? Dan pembahasan Fiqih Maulid pada kitab Fiqih Bulughul Maram dan Subulus Salam, Al Mughni, Al Muhadzdzab? atau pembahasan Fadhilah Maulid pada kitab Riyadhush Shalihin, Targhib wa Tarhib, Adabul Mufrad, dll?
Kesimpulan: Berhubung dalil tentang keutamaan perayaan Maulid masih dalam pencarian dan penakwilan, maka diputuskan bahwa Maulid Nabi tidak ada pada zaman Rasulullah dan zaman shahabat. Adapun segala sesuatu (dalam masalah ibadah) yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan para shahabat2nya maka itu bukan berasal dari Islam.
Wallahu a’lam.
(Bersambung…Insya Allah)

APAKAH MAULID NABI ITU BUKAN IBADAH?
Mengatakan bahwa perayaan Maulid Nabi bukan ibadah??? Agar manusia boleh merayakannya??
Hehe…itu sama saja dengan membohongi dan membodohi diri sendiri.
Lha wong banyak kyai, ustadz, habib, dan tokoh2 agama yang mengatakan bahwa perayaan Maulid Nabi adalah termasuk bagian dari ibadah. Bagaimana bisa seorang murid mengatakan bhw itu adalah bukan ibadah, sdgkan guru2nya sendiri mengatakan itu ada…lah ibadah. Apakah muridnya merasa lebih pintar dari gurunya?
Seandainya perayaan maulid bukan ibadah, lantas kenapa mereka berusaha mencari2 dan mentakwil dalil2 tentang maulid? Sampe sekarang masih mencari2 dalil yg sekiranya cocok utk dijadikan hujjah, namun belum ketemu juga yg cocok dan masih mudah dibantah. Kalo itu bukan ibadah, gak perlu repot2 cari dalil utk pembenaran. Contoh, pake celana jeans bukan termasuk ibadah, jadi ngapain repot2 cari dalil tentang keutamaan celana jeans?!
Seandainya perayaan maulid nabi bukan ibadah, toh buktinya orang2 yang hadir mendatangi maulid menyakini agar mereka mendapat keutamaan dan pahala. Bahkan byk dari org2 pelaku kemaksiatan spt preman, dsb yang menghadirinya, dan mrk pura2 menjadi alim dan shalih pada perayaan itu saja.
Seandainya perayaan maulid bukan ibadah, lantas kenapa dirayakan di tempat2 yg religi spt masjid, majlis taklim, dan semisalnya yg berbau agama? Kenapa tdk di rumah masing2 atau di kantor, pasar, mall, kafe, dsb?
Seandainya perayaan maulid bukan ibadah, lantas kenapa didalamnya diisi dgn acara2 yg berbau ibadah? Spt shalawatan, dzikir, doa, ceramah, dsb? Kenapa isi acaranya tidak seperti acara2 yg bersifat duniawi seperti acara arisan, rapat, seminar, reuni, dsb.
Seandainya perayaan maulid bukan ibadah, lantas kenapa harus memanggil tokoh2 agama spt kyai, ustadz, habib, dsb? Kenapa tdk memanggil tokoh politik, group band, penyanyi dangdut spt ayu ting ting, pelawak, pesulap, dll?
Dan masih byk lagi jawabannya…
Yang mengatakan perayaan maulid bukan ibadah, tdk lain hanya utk membodohi dan membohongi dirinya sendiri. Berawal mereka mencari2 dalil namun mereka tdk menemukannya, apalagi masih mudah dibantah takwil2 yg dipakai, kemudian mereka bingung mau pake dalil apa lagi?! Akhirnya mereka pun menyerah, dan kemudian mengatakan bhw perayaan maulid nabi bukan ibadah?!
Perkataan mereka itu hakikatnya malah jauh lebih lemah dari hujjah mereka sebelumnya?!
Wallahu alam.
Oleh Abu Fahd Negara Tauhid

Tukang Roti dan Istighfar

Kisah ini terjadi pada zaman Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu. Imam Ahmad ingin menghabiskan malamnya di masjid, akan tetapi beliau dilarang menginap di masjid lewat perantara penjaga masjid. Imam Ahmad berusaham agar diizinkan namun sia-sia. Imam Ahmad berkata kepadanya, “Saya akan tidur di sini.” Dan benar, Imam Ahmad bin Hanbal tidur di tempatnya itu. Maka penjaga masjid mengeluarkannya dari area masjid.
Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang syaikh yang berwibawa, terlihat padanya ciri-ciri kebaikan dan ketakwaan. Tiba-tiba beliau dilihat oleh seorang tukang roti. Melihat beliau seperti itu, dia menawarkan agar menginap di rumahnya. Lantas Imam Ahmad bin Hanbal mengikuti si tukang roti. Dia menjamu beliau kemudian beranjak pergi mengambil adonannya untuk membuat roti. Imam Ahmad mendengar si tukang roti beristihfar dan beristighfar.
Waktu berlalu lama, sementara dia tetap seperti itu (beristighfar), Imam Ahmad bin Hanbal keheranan. Ketika hari beranjak pagi, Imam Ahmad bertanya kepada sang tukang roti tentang istighfarnya semalam, dia menjawab bahwa selama mengadon tepungnya, dia mengadon sambil beristighfar.
Imam Ahmad bertanya kepadanya, “Apakah kamu mendapatkan buah dari istighfarmu?” Imam Ahmad bertanya kepada sang tukang roti dengan pertanyaan ini karena beliau tahu buah-buah istighfar, beliau tahu keutamaan istighfar, serta tahu faidah-faidah istighfar.
Tukang roti berkata, “Ya. Demi Allah, saya tidak memohon permohonan kecuali pasti dikabulkan, kecuali satu doa.”
Imam Ahmad bertanya, “Apa itu?”
Si tukang roti berkata, “(Permohonan untuk) melihat Imam Ahmad bin Hanbal!”
Imam Ahmad berkata, “Saya Ahmad bin Hanbal. Demi Allah, aku diseret kepadamu.”
> Kisah ini disebutkan oleh al-Ustadz Amr Khalid
Sumber: Keajaiban Sedekah & Istighfar karya Hasan bin Ahmad bin Hasan Hammam (penerjemah Muhammad Iqbal, Lc & Jamaluddin), penerbit Darul Haq cet. V, Rajab 1429 H/Agustus 2008 M, hal.

Kisah Tauladan: "Para Pendamba Surga"

…….
Ibunda Sang Mujahid Muda:
Ibnul Jauzi dalam Shifatus Shofwah (1/460) dan Ibnun Nahhas dalam Masyariqul ‘Asywaq mengisahkan dari seorang yang shalih yang bernama Abu Qudamah asy-Syami.
“Suatu ketika aku berangkat bersama beberapa sahabatku untuk memerangi kaum Salibis di beberapa pos penjagaan dekat perbatasan. Dalam
perjalanan itu aku melalui kota Raqqah (sebuah kota di Irak, dekat
sungai Eufrat). Di sana aku membeli seekor unta yang akan kugunakan untuk membawa persenjataanku. Di samping itu aku mengajak warga kota lewat masjid-masjid, untuk ikut serta dalam jihad dan berinfak jihad fisabilillah.
Menjelang malam harinya, ada orang yang mengetuk pintu. Tatkala kubukakan, ternyata ada seorang wanita yang menutupi wajahnya dengan gaunnya.
“Apa yang Anda inginkan?” tanyaku.
“Andakah yang bernama Abu Qudamah?” katanya balik bertanya.
“Benar,” kataku.
“Andakah yang hari ini yang mengumpulkan dana untuk membantu jihad di perbatasan?” tanyanya kembali.
“Ya, benar,” jawabku.
Maka wanita itu menyerahkan secarik kertas dan sebuah bungkusan terikat, kemudian berpaling sambil menangis.
Pada kertas itu tertulis, “Anda mengajak kami untuk ikut berjihad,
namun aku tak sanggup untuk itu. Maka kupotong dua buah kuncir
kesayanganku agar Anda jadikan sebagai tali kuda Anda. Kuharap bila Allah melihatnya pada kuda Anda dalam jihad, Dia mengampuni dosaku karenanya.”
Ibnul Jauzi dalam komentarnya mengatakan, “Wanita ini niatnya baik, namun caranya keliru karena ia tidak tahu bahwa perbuatannya itu – yakni memotong kucirnya – terlarang, karenanya dalam hal ini kita hanya menyoroti niatnya saja.” (Shifatus Shafwah, 1/459)
“Demi Allah, aku kagum atas semangat dan kegigihannya untuk ikut berjihad, demikian pula dengan kerinduannya untuk mendapat ampunan Allah dan Surga-Nya.” Kata Abu Qudamah.
Keesokan harinya, aku bersana sahabatku beranjak meninggalkan Raqqah.
Tatkala kami tiba di benteng Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seorang penunggan kuda yang memanggil-manggil,
“Hai Abu Qudamah.. hai Abu Qudamah.. tunggulah sebentar, semoga Allah merahmatimu,” teriak orang itu.
“Kalian berangkat saja duluan, biar aku yang mencari tahu tentang orang ini,” perintahku pada para sahabatku.
Ketika aku hendak menyapanya, orang itu mendahuluiku dan mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang mengizinkanku untuk ikut bersamamu dan tidak menolak keikutsertaanku.”
“Apa yang kau inginkan?” tanyaku.
“Aku ingin ikut bersamamu memerangi orang-orang kafir,” jawabnya.
“Perlihatkan wajahmu, aku ingin lihat, kalau engkau memang cukup dewasa dan wajib berjihad, akan aku terima. Namun jika masih kecil dan tidak wajib berjihad, terpaksa kutolak.” Kataku.
Ketika ia menyingkap wajahnya, tampaklah olehku wajah yang putih bersinar bak bulan purnama. Ternyata ia masih muda belia, dan umurnya baru 17 tahun.
“Wahai anakku, apakah kamu memiliki ayah?” tanyaku.
“Ayah terbunuh di tangan kaum Salibis dan aku ingin ikut bersamamu untuk memerangi orang-orang yang membunuh ayahku,” tanyaku.
“Bagaimana dengan ibumu, masih hidupkah dia?” tanyaku lagi.
“Ya,” jawabnya.
“Kembalilah ke ibumu dan rawatlah ia baik-baik, karena surga ada di bawah telapak kakinya,” pintaku kepadanya.
“Kau tak kenal ibuku?” tanyanya.
“Tidak,” jawabku.
“Ibuku ialah pemilik titipan itu,” katanya.
“Titipan yang mana?” tanyaku.
“Dialah yang menitipkan tali kuda itu,” jawabnya.
“Tali kuda yang mana?” tanyaku keheranan.
“Subhanallah..!! Alangkah pelupanya Anda ini, tidak ingatkah Anda
dengan wanita yang datang tadi malam menyerahkan seutas tali kuda dan bingkisan?”
“Ya, aku ingat,” jawabku.
“Dialah ibuku! Dia menyuruhku untuk berjihad bersamamu dan mengambil sumpah dariku supaya aku tidak kembali lagi,” katanya.
“Ibuku berkata, “Wahai anakku, jika kamu telah berhadapan dengan musuh, maka janganlah kamu melarikan diri. Persembahkanlah jiwamu untuk Allah. Mintalah kedudukan di sisi-Nya, dan mintalah agar engkau
ditempatkan bersama ayah dan paman-pamanmu di Jannah. Jika Allah mengaruniaimu mati syahid, maka mintalah syafa’at bagiku.”
Kemudian ibu memelukku, lalu menengadahkan kepalanya ke langit seraya berkata, “Ya Allah.. ya Ilahi.. inilah putraku, buah hati dan
belahan jiwaku, kupersembahkan ia untukmu, maka dekatkanlah ia dengan ayahnya.”
“Aku benar-benar takjub dengan anak ini,” kata Abu Qudamah, lalu anak itupun segera menyela,
“Karenanya, kumohon atas nama Allah, janganlah kau halangi aku untuk berjihad bersamamu. Insya Allah akulah asy-syahid putra asy-syahid. Aku telah hafal al-Quran. Aku juga jago menunggang kuda dan memanah. Maka janganlah meremehkanku karena usiaku yang masih belia,” kata anak itu memelas.
Setelah mendengar uraiannya aku tak kuasa melarangnya, maka kusertakanlah ia bersamaku.
Demi Allah, ternyata tak pernah kulihat orang yang lebih cekatan
darinya. Ketika pasukan bergerak, dialah yang tercepat, ketika kami singgah untuk beristirahat, dialah yang paling sibuk mengurus kami, sedang lisannya tak pernah berhenti dari dzikrullah sama sekali.
Sampai tibanya di medan perang, Aku pun terus mengikuti dan
memperhatikan gerak-geriknya, lalu tampaklah olehku bahwa ia berada dibarisan terdepan. Maka segera kukejar dia, kusibak barisan demi barisan hingga sampai kepadanya, kemudian aku berkata,
“Wahai anakku, adakah engkau memiliki pengalaman berperang..?”
“Tidak.. tidak pernah. Ini justru pertempuranku yang pertama kali melawan orang kafir,” jawab si bocah.
“Wahai anakku, sesungguhnya perkara ini tak segampang yang kau bayangkan, ini adalah peperangan. Sebuah pertumpahan darah di tengah gemerincingnya pedang, ringkikan kuda, dan hujan panah.
Wahai anakku, sebaiknya engkau ambil posisi di belakang saja. Jika kita menang kaupun ikut menang, namun jika kita kalah kau tak jadi korban pertama,” pintaku kepadanya.
Lalu dengan tatapan penuh keheranan ia berkata, “Paman, engkau berkata seperti itu kepadaku..!?”
“Ya, aku mengatakan seperti itu kepadamu,” jawabku.
“Paman.. apa engkau menginginkanku jadi penghuni neraka..?” tanyanya.
“A’udzubillah!! Sungguh, bukan begitu.. kita semua tidak berada di
medan jihad seperti ini kecuali karena lari dari neraka dan memburu surga,” jawabku.
Lalu kata sibocah, “Sesungguhnya Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan
orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. Al-Anfal: 15-16)
“Adakah Paman menginginkan aku berpaling membelakangi mereka sehingga tampat kembaliku adalah neraka?” tanya si bocah.
Aku pun heran dengan kegigihannya dan sikapnya yang memegang teguh ayat tersebut. Kemudian aku berusaha menjelaskan, “Wahai anakku, ayat itu maksudnya bukan seperti yang kau katakan.” Namun tetap saja ia bersikeras tak mau pindah ke belakang. Aku pun menarik tangannya secara paksa, membawa ke akhir barisan. Namun ia justru menarik lengannya kembali seakan ingin melepaskan diri dari genggamanku. Lalu perang pun dimulai dan aku terhalangi oleh pasukan berkuda darinya.
sampai perang pun berakhir, Aku pun mulai mencarinya di tengah para korban, aku menoleh ke kanan dan ke kiri kalau-kalau ia terlihat olehku. Di saat itulah aku mendengar suara lirih di belakangku yang mengatakan, “Saudara-saudara.. tolong panggilkan pamanku Abu Qudamah kemari panggilkan Abu Qudamah kemari.”
Aku menoleh ke arah suara tadi, ternyata tubuh itu ialah tubuh si bocah dan ternyata puluhan tombak telah menusuk tubuhnya. Ia babak belur terinjak pasukan berkuda. Dari mulutnya keluar darah segar. Dagingnya tercabik-cabik dan tulangnya remuk total.
Ia tergeletak seorang diri di tengah padang pasir. Maka aku segera bersimpuh di hadapannya dan berteriak sekuat tenagaku,
“Akulah Abu Qudamah..!! Aku ada di sampingmu..!!”
“Segala puji bagi Allah yang masih menghidupkanku hingga aku dapat berwasiat kepadamu.. maka dengarlah baik-baik wasiatku ini..!” kata si bocah.
Abu Qudamah mengatakan, sungguh demi Allah, tak kuasa menahan tangisku.
Aku teringat akan segala kebaikannya, sekaligus sedih akan ibunya yang tinggal di Raqqah. Tahun lalu ia dikejutkan dengan kematian suami dan saudara-saudaranya, lalu sekarang dikejutkan dengan kematian anaknya.
Aku menyingsingkan sebagian kainku lalu mengusap darah yang menutup iwajah polos itu. Ketika ia merasakan sentuhanku ia berkata, “Paman..usaplah darah dengan pakaianku, dan jangan kau usap dengan pakaianmu.”
Demi Allah, aku tak kuasa menahan tangisku dan tak tahu harus berbuatapa. Sesaat kemudian, bocah itu berkata dengan suara lirih, “Paman..berjanjilah bahwa sepeninggalku nanti kau akan kembali ke Raqqah, dan memberi kabar gembira bagi ibuku bahwa Allah telah menerima hadiahnya, dan bahwa anaknya telah gugur di jalan Allah dalam keadaan maju dan pantang mundur. Sampaikan pula padanya jikalau Allah menakdirkanku sebagai syuhada, akan kusampaikan salamnya untuk ayah dan paman-pamanku di Jannah.
Paman.. aku khawatir kalau nanti ibu tak mempercayai ucapanmu. Maka ambillah pakaianku yang berlumuran darah ini, karena bila ibu
melihatnya ia akan yakin bahwa aku telah terbunuh, dan Insya Allah kami bertemu kembali di Jannah.
Paman.. setibanya engkau di rumahku, akan kau dapati seorang gadis kecil berumur sembilan tahun. Ia adalah saudariku.. tak pernah aku masuk rumah kecuali ia sambut dengan keceriaan, dan tak pernah aku pergi kecuali diiringi isak tangis dan kesedihannya. Ia sedemikian kaget ketika mendengar kematian ayah tahun lalu, dan sekarang ia akan kaget mendengar kematianku.
Ketika melihatku mengenakan pakaian safar ia berkata dengan berat hati, “Kak.. jangan kau tinggalkan kami lama-lama.. segeralah pulang..!!”
Paman.. jika engkau bertemu dengannya maka hiburlah hatinya dengan kata-kata manis. Katakan kepadanya bahwa kakakmu mengakatakan,
“Allah-lah yang akan menggantikanku mengurusmu.”
Abu Qudamah melanjutkan, “Kemudian bocah itu berusaha menguatkan dirinya, namun napasnya mulai sesak dan bicaranya tak jelas. Ia berusaha kedua kalinya untuk menguatkan dirinya dan berkata,
“Paman.. demi Allah, mimpi itu benar.. mimpi itu sekarang menjadi
kenyataan. Demi Allah, saat ini aku benar-benar sedang melihat
al-Mardhiyyah dan mencium bau wanginya.”
Lalu bocah itu mulai sekarat, dahinya berkeringat, napasnya tersengal-sengal dan kemudian wafat di pangkuanku.”
Abu Qudamah berkata, “Maka kulepaslah pakaiannya yang berlumuran darah, lalu kuletakkan dalam sebuah kantong, kemudian kukebumikan dia.Usai mengebumikannya, keinginan terbesarku ialah segera kembali ke Raqqah dan menyampaikan pesannya kepada ibunya.
Maka aku pun kembali ke Raqqah. Aku tak tahu siapa nama ibunya dan di mana rumah mereka.
Tatkala aku menyusuri jalan-jalan di Raqqah, tampak olehku sebuah rumah. Di depan rumah itu ada gadis kecil berumur sembilan tahun yang berdiri menunggu kedatangan seseorang. Ia melihat-lihat setiap orang yang berlalu di depannya. Tiap kali melihat orang yang baru datang dari bepergian ia bertanya,
“Paman.. Anda datang dari mana?”
“Aku datang dari jihad,” kata lelaki itu.
“Kalau begitu kakakku ada bersamamu..?” tanyanya.
“Aku tak kenal, siapa kakakmu..?” kata lelaki itu sambil berlalu.
Lalu lewatlah orang kedua, dan tanyanya,
“Akhi.. Anda datang dari mana?”
“Aku datang dari jihad,” jawabnya.
“Kakakku ada bersamamu..?” tanya gadis itu.
“Aku tak kenal siapa kakakmu,” jawabnya sambil berlalu.
Lalu lewatlah orang ketiga, keempat dan demikian seterusnya. Lalu setelah putus asa menaynakan saudaranya, gadis itu menangis sambil tertunduk dan berkata,
“Mengapa mereka semua kembali tapi kakakku tak kunjung kembali?”
Melihat ia seperti itu, aku pun datang menghampirinya. Ketika ia
melihat bekas-bekas safar padaku dan kantong yang kubawa, ia bertanya,
“Paman.. Anda datang dari mana?”
“Aku datang dari jihad,” jawabku.
“Kalau begitu kakakku ada bersamamu?” tanyanya.
“Dimanakah ibumu?” tanyaku.
“Ibu ada di dalam rumah,” jawabnya.
“Sampaikan kepadanya agar ia keluar menemuiku,” perintahku kepadanya.
Ketika perempuan tua itu keluar, ia menemuiku dengan wajah tertutup gaunnya. Ketika aku mendengar suaranya dan ia mendengar suaraku, ia bertanya,
“Hai Abu Qudamah, engkau datang hendak berbela sungkawa atau memberi kabar gembira?”
Maka tanyaku, “Semoga Allah merahmatimu. Jelaskan kepadaku apa yang kau maksud dengan bela sungkawa dan kabar gembira itu?”
“Jika engkau hendak mengatakan bahwa anakku telah gugur di jalan Allah, dalam keadaan maju dan pantang mundur berarti engkau datang membawa kabar gembira untukku, karena Allah telah menerima hadiahku yang telah kusiapkan untuk-Nya sejak tujuh belas tahun silam.
Namun jika engkau hendak mengatakan bahwa anakku kembali dengan selamat dan membawa ghanimah, berarti engkau datang untuk berbela sungkawa kepadaku, karena Allah belum berkenan menerima hadiah yang kupersembahkan untuk-Nya,” jelas si perempuan tua.
Maka kataku, “Kalau begitu aku datang membawa kabar gembira untukmu.
Sesungguhnya anakmu telah terbunuh fisabilillah dalam keadaan maju dan pantang mundur. Ia bahkan masih menyisakan sedikit kebaikan, dan Allah berkenan untuk mengambil sebagian darahnya hingga ia ridha.”
“Tidak, kurasa engkau tidak berkata jujur,” kata si ibu sembari
melirik kepada kantong yang kubawa, sedang puterinya menatapku dengan
seksama.
Maka kukeluarkanlah isi kantong tersebut, kutunjukkan kepadanya pakaian puteranya yang berlumuran darah.
Nampak serpihan wajah anaknya berjatuhan dari kain itu, diikuti tetesan darah yang tercampur beberapa helai rambutnya.
“Bukankah ini adalah pakaiannya.. dan ini surbannya.. lalu ini gamisnya yang kau kenakan pada anakmu sewaktu berangkat jihad..?” kataku.
“Allahu Akbar..!!” teriak si ibu kegirangan.
Adapun gadis kecil tadi, ia justru berteriak histeris lalu jatuh
terkulai tak sadarkan diri. Tak lama kemudian ia mulai merintih,
“Aakh..! aakh..!”
Sang ibu merasa cemas, ia bergegas masuk ke dalam mengambil air untuk puterinya, sedang aku duduk di samping kepalanya, mengguyurkan air kepadanya.
Demi Allah, ia tak sedang merintih.. ia tak sedang memanggil-manggil kakaknya. Akan tetapi ia sedang sekarat!! Napasnya semakin berat..dadanya kembang kempis.. lalu perlahan rintihannya terhenti. Ya, gadisitu telah tiada.
Setelah puterinya tiada, ia mendekapnya lalu membawanya ke dalam rumah dan menutup pintu di hadapanku. Namun sayup-sayup terdengar suara dari dalam,
“Ya Allah, aku telah merelakan kepergian suamiku, saudaraku, dan
anakku di jalan-Mu. Ya Allah, kuharap Engkau meridhaiku dan
mengumpulkan bersama mereka di jannah-Mu.”
Abu Qudamah berkata, “Maka kuketuk pintu rumahnya dengan harapan ia akan membukakan. Aku ingin memberinya sejumlah uang, atau menceritakan kepada orang-orang tentang kesabarannya hingga kisahnya menjadi teladan. Akan tetapi sungguh, ia tak membukakanku maupun menjawabseruanku.
“Sungguh demi Allah, tak pernah kualami kejadian yang lebih menakjubkan dari ini,” kata Abu Qudamah mengakhiri kisahnya.
Lihatlah bagaimana si ibu mengorbankan segala yang ia miliki demi menggapai kebahagiaan ukhrawi. Ia perintahkan anaknya untuk berjihad fisablillah demi keridhaan Ilahi. Maka bagaimanakah nasib para pemalas seperti kita. Apa yang telah kita korbankan demi keridhaan-Nya?”

Si Gubernur Miskin

Hari itu kota Hims, salah satu kota besar di bilangan Syam, dikejutkan  oleh inspeksi mendadak sang khalifah Umar bin Khoththob. Sebenarnya inspeksi semacam ini bukan hal yang aneh bagi kaum muslimin pada zaman itu. Pasalnya, khalifah yang satu ini memang terkenal suka melakukan peninjauan langsung terhadap kinerja seluruh staf-staf kenegaraannya. Apabila ada hal yang tidak beres dia tidak segan-segan memecat dan mengganti pegawainya.
Begitu tiba di kota Hims, Umar meminta kepada beberapa staf  setempat untuk mensurvey nama-nama fakir miskin di wilayah tersebut. Beberapa saat kemudian, para pegawai kembali dengan sebuah laporan tertulis berisi daftar nama-nama fakir miskin. Disaat membuka buku laporan itu lembar demi lembar, tiba-tiba pandangannya terhenti pada sebuah nama, “Sa’id bin ‘Amir” . Sejenak, dia berkelana didalam  memori kepalanya, membongkar tumpukan nama-nama orang yang pernah ia kenal, sembari mencocokan nama orang  ini: “Sa’id bin ‘Amir”, sepertinya nama ini tidak asing baginya.
“siapa yang kalian maksud dengan Sa’id bin ‘Amir disini?” Tanya Umar keheranan.
“ wahai amirul mukminin, dia itu gubernur kami” jawab mereka.
“apa..!? gubernur kalian…!? “
Mendengar jawaban itu ubun-ubun Umar bagai disambar petir. Ternyata dugaannya benar, orang ini memang sangat tidak asing baginya.
“Bagaimana namanya bisa dia masuk kedalam daftar fakir miskin? Kemana gajinya selama ini?”
“wahai amirul mukminin, dia tidak menyimpan gajinya sedikit pun” jawab mereka.
Mendengar pernyataan tersebut hatinya menjadi luluh, tanpa terasa butir demi butir air mata mulai membanjiri pipinya, membayangkan betapa sengsaranya sahabat sekaligus orang kepercayannya yang satu ini menanggung beban.
Gubernur yang satu ini begitu zuhud. Tiap bulannya, dia hanya mengambil beberapa keping uang gaji yang dia rasa cukup untuk memenuhi kebutuhan harian rumah tangganya, sisanya dia sedekahkan kepada fakir miskin. Sebagai seorang gubernur, sosoknya begitu berbeda dibandingkan para pejabat negara lainnya, begitu kontras dengan jabatan yang ia sandang. Tidak punya istana, penampilan ala kadarnya, tidak ada satupun petugas keamanan berjaga di pintu rumahnya, dan tidak ada seorang pun pelayan atau budak belian di rumahnya.
Sa’id bin ‘Amir bin Hadzyam, memeluk agama islam beberapa waktu sebelum terjadinya perang Khaibar. Reputasinya sebagai salah satu orang-orang sholih yang dapat diamanahi, mendorong Umar untuk memanggilnya beberapa waktu lalu seraya berkata,
”Sa’id, aku memanggilmu kemari untuk mengangkatmu sebagai gubernur di wilayah Syam”.
Kalau saja manusia zaman sekarang disodorkan tawaran semacam ini, tentu dia akan kegirangan bukan kepalang. Begitulah orang-orang yang memandang kekuasaan sebagai ladang subur untuk meningkatkan taraf perekonomian hidup (baca: memperkaya diri).
Namun lain halnya dengan orang-orang yang pernah mengenyam bangku madrasah Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- semacam Sa’ad bin ‘Amir. Jawaban yang keluar dari mulutnya bukanlah “jazakallahu khoiron” atau ucapan manis semacamnya, melainkan kata-kata,
”wahai Umar, kumohon, jangan kau lempar diriku ke dalam kubangan fitnah”.
Begitulah, sahabat yang mulia ini menolak mentah-mentah tawaran mengiurkan itu. Aneh memang, kalau di lihat melalui kacamata materialis tentu perbuatannya ini merupakan hal dungu. “Alangkah bodohnya orang ini, diberi kesempatan hidup enak kok malah disia-siakan”, kira-kira begitulah tanggapan orang-orang yang hatinya sudah terbakar nafsu dunia.
Adapun Sa’id bin ‘Amir, melalui pelajaran-pelajaran nubuwah yang ia cerna selama di madrasah Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam-, dia memahami bahwa berkuasa sama artinya dengan menanggung beban amanat sangat-sangat berat untuk di pertanggungjawabkan di padang mahsyar nanti. Setiap rasa lapar yang diderita rakyatnya, sekecil apapun kedzaliman yang terjadi, itu semua akan menjadi bahan pertanyaan pada hari kiamat kelak.
Namun, Umar lantas menanggapi penolakan Sa’id tadi dengan tegas, “demi Allah, aku harus memaksamu, seenaknya saja kalian membebankan amanat ini ke atas pundakku lantas kalian mau pergi bagitu saja tanpa membantuku”.
Jawaban Umar barusan membuatnya terpaksa menerima tawaran tadi, bukan atas dasar hawa nafsu untuk menjadi penguasa, melainkan atas dasar menjalankan perintah Allah ta’ala untuk saling membantu dalam melaksanakan ketakwaan. Memang tidak adil rasanya, apabila Sa’id membiarkan Umar bin Khoththob sendirian menanggung beban amanah kekhalifahan yang berat, sementara dia memiliki kemampuan untuk membantunya. Yang membebani Umar dengan amanat berat kekhalifahan itu adalah para sahabat, jadi sudah sepantasnyalah bagi para sahabat seperti Sa’id untuk membantunya
Begitulah para sahabat Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam-, memandang amanah kekuasaan bukan sebagai sesuatu yang layak untuk diperebutkan, melainkan sebagai suatu beban berat yang akan memperlambat laju mereka dalam menempuh perjalanan akhirat. Oleh karenanya, kita akan menyaksikan hal-hal aneh dalam keseharian mereka yang menggambarkan secara jelas bahwa mereka mengemban amanah pemerintahan bukan untuk berfoya-foya. Contohnya kisah berikut:
Pada kesempatan lainnya, Umar mengumpulkan penduduk kota Hims di suatu tempat guna mendengar secara langsung kesaksian mereka tentang kinerja para staf pemerintahan disana. Umar melontarkan pertanyaan kepada mereka,
“wahai penduduk Hims, bagaimana pendapat kalian mengenai kinerja gubernur kalian?”
Mereka menjawab, “wahai amirul mukminin, ada empat hal yang kami keluhkan tentang kinerja gubernur kami. Adapun yang pertama, setiap harinya, dia baru keluar dari rumahnya untuk melayani kami dikala matahari sudah tinggi”
“benar-benar keterlaluan”,kata Umar menanggapi keluhan mereka.
Keluhan pertama ini membuat tekanan darah Umar meningkat, pertanda rasa marah dan kecewa mulai menghampiri dirinya.
“lalu apa lagi?”,tanyanya.
“yang kedua, apabila malam tiba, dia tidak mau melayani siapapun”, jawab mereka.
“ini juga sudah kelewatan”,tanggapnya.
Keluhan kedua ini membuatnya semakin kecewa.
“lalu apa lagi?”,tanyanya lebih lanjut.
“yang ketiga, dalam satu bulan, ada satu hari dimana dia tidak melayani kami sama sekali”,jawab mereka.
“ini sudah melampaui batas wajar”,kata Umar yang makin bertambah kecewa.
“lalu apa lagi?” tanyanya kembali.
“yang keempat, dia sering sekali mendadak pingsan tak sadarkan diri” , jawab mereka.
Keempat keluhan ini benar-benar mengganggu perasaan Umar. Pasalnya, Sa’id bin ‘Amir adalah salah satu sahabat Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- yang terpercaya. Umar sangat mengetahui reputasinya selama ini. Rasanya tidak mungkin dia berbuat demikian kecuali ada alasan kuat yang mendorongnya. Akhirnya, dia memanggil Sa’id bin ‘Amir sang gubernur guna dimintai keterangan mengenai keluhan-keluhan penduduk Hims atas kinerjanya selama ini. Tidak tanggung-tanggung, dia memanggilnya dan mengadilinya langsung dihadapan penduduk kota.
Sebelum memulai sesi pengadilan, Umar sempat melantunkan doa,”Ya Allah, Janganlah kau jadikan penilaianku selama ini terhadap dirinya meleset”.
Walaupun kritikan-kritikan pedas yang tidak menyenangkan hati tadi datang bagaikan hujan anak panah, namun di sudut hatinya Umar masih menyimpan prasangka baik terhadap Sa’id. Tidak mungkin penilainnya terhadap sahabat yang satu ini meleset. Pasti ada alasan kuat yang membuatnya bertingkah demikian.
“rakyat Hims sekalian… coba sebutkan keluhan-keluahan kalian tadi”, kata Umar memulai persidangan.
“dia baru keluar dari rumahnya untuk melayani kami dikala matahari sudah tinggi”, jawab mereka.
“Sa’id, apa pembelaanmu?”,tanyanya.
“wahai amirul mukminin, Demi Allah, sebenarnya aku benci mengatakan hal ini, namun apa daya, aku akan mengatakannya demi membela diri”,jawab Sa’id. “Aku tidak memiliki pembantu di rumah. Setiap pagi aku membuat sendiri adonan roti untuk keluargaku, kemudian aku juga yang memanggangnya hingga matang. Setelah semuanya selesai, aku  lantas berwudhu kemudian keluar melayani mereka”,lanjutnya.
Mendengar jawaban Sa’id tersebut hati Umar mulai terobati. Ternyata benar, penilaiannya selama ini tidak meleset, dia berbuat demikian bukan karena dorongan rasa malas dan ingin bersantai-santai. Kejujuranlah yang mendorongnya. Karena sifat jujur dan amanahnya itulah dia tidak berani mengambil uang rakyat sepeser pun untuk kepentingan pribadi. Oleh sebab itulah dia tetap hidup miskin dan tidak memiliki pembantu. Kalau saja dia tidak jujur dan amanah, tentu sekarang dia sudah hidup nyaman dikelilingi para pelayan.
“lantas apa lagi?”,Tanya Umar kepada rakyat Hims.
“apabila malam tiba dia tidak mau melayani siapapun” jawab mereka.
“apa pembelaanmu, Sa’id?”
”lagi-lagi aku benci untuk menjawabnya, tapi apa boleh buat, aku terpaksa akan menjawabnya demi membela diri”, Jawab Sa’id. “aku telah mengorbankan waktu siangku demi melayani mereka,  jadi sudah sewajarnya bila waktu malamku aku khususkan untuk bermunajat kepada Allah ta’ala”.
Untuk kedua kalinya, jawaban Sa’id bagaikan semilir angin yang mengusir hawa panas dari hati Umar. Memang beginilah seharusnya perilaku orang-orang solih alumni madrasah Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam-. Mereka tidak memandang urusan dunia yang membuat mereka super sibuk sebagai uzur untuk melalaikan hak-hak Allah ta’ala.
Kesemrawutan problem sehari-hari, gejolak hidup yang tak lekas pergi, hiruk pikuk alam fana ini, serta beribu urusan yang lalu lalang di kepala mereka, semua itu akan mereda begitu malam tiba, berganti dengan nuansa khusyu’ berbalut alunan senandung al- qur’an. Rintihan lirih ketika bermunajat, isak tangis karena takut akhirat, berpadu dengan tasbih dan istighfar hingga penghujung malam, itu semua menjadi melodi tak terpisahkan dari kehidupan malam mereka. Andaisaja kita bisa menyaksikan langsung rupa  mereka di pagi hari, niscaya kita akan melihat wajah-wajah berhiaskan garis-garis hitam membujur dari mata hingga pipi. Itulah bekas banjir air mata, saking banyaknya mereka menangis hingga aliran air mata meninggalkan bekas seperti parit di wajah.
“apalagi?”,Tanya Umar melanjutkan sidang.
“dalam satu bulan, ada satu hari dimana dia tidak melayani kami sama sekali”,jawab mereka.
“apa pembelaanmu, Sa’id?”
“wahai amirul mukminin, aku tidak memiliki pelayan yang mencucikan pakaianku, dan juga aku tidak memiliki pakaian lain selain yang menempel di badanku ini. Oleh karenanya, aku mencuci pakaianku ini satu kali dalam sebualan. Pada hari itu aku mencucinya, kemudian aku menungguinya hingga mengering pada sore hari”, jawab Sa’id.
“apalagi?”, lanjut Umar kepada penduduk Hims.
“dia sering sekali mendadak pingsan tak sadarkan diri”, jawab mereka.
“apa tanggapanmu, Sa’id?”
“wahai amirul mukminin, aku telah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Khubaib Al-anshory menemui ajalnya”, jawab Sa’id.
“Ketika itu aku masih dalam keadaan musyrik. Aku menyaksikan orang-orang kafir Quraisy mencincang tubuhnya hidup-hidup seraya berkata,”wahai Khubaib! Apa kau rela andaisaja Muhammad menggantikan posisimu sekarang ini?”. Khubaib menjawab,”demi Allah, jangankan posisiku sekarang, sedikit pun aku tak rela Muhammad tertusuk duri sementara aku duduk di rumah bersama anak dan istriku”. Setiap kali aku mengingat peristiwa itu, aku selalu dirundung penyesalan. Menyesal karena aku tidak menolongnya. Menyesal karena aku ketika itu bukan termasuk golongan orang beriman. Aku khawatir, jangan-jangan Allah ta’ala tidak akan mengampuni dosaku itu. Itulah yang membuat sering pingsan”.
Mendengar jawaban-jawaban Sa’id diatas, hati Umar berbunga-bunga. ”segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan penilaianku terhadap dirinya meleset”, kalimat itulah itulah yang spontan terlontar dari lisannya. Betapa bahagia dia, ternyata tudingan-tudingan penduduk Hims tehadap orang kepercayaannya ini  hanya salah paham belaka.
Seusai sidang, Umar memerintahkan salah seorang pegawainya mengirimkan sekantung uang sejumlah seribu dinar ke rumah Sa’id seraya berpesan, “wahai Sa’id, gunakanlah uang ini untuk membantu keperluan hidupmu”.
Sesampai di rumah, istri Sa’id berkata, “Alhamdulillah, akhirnya kita bisa membeli budak pelayan, sehingga engkau tidak perlu lagi kerepotan”.
“Wahai istriku, aku punya usul lain”, tanggap Sa’id. “Kita investasikan uang ini di tangan orang-orang. Lalu, jika suatu saat nanti kita dalam kondisi terdesak membutuhkan uang, baru kita ambil laba dari investasi ini. Bagaimana menurutmu?”,usulnya.
“wah, setuju sekali”, jawab sang istri spontan.
Istrinya tidak menyadari maksud Sa’id yang sebenarnya. Gambaran yang ada di benaknya, Sa’id akan menanamkan modal pada beberapa pedagang. Dengan begitu, seribu dinar tadi akan berkembang dan semakin banyak, dan menjadi tabungan yang bisa diambil sewaktu-waktu saat kebutuhan mendesak. Padahal maksud Sa’id yang sesungguhnya, dia ingin menyedekahkan seribu dinar itu kepada fakir miskin. Yang nantinya pada hari kiamat, dimana manusia dalam kondisi sangat terdesak membutuhkan amal soleh, sedekah seribu dinar tadi akan sangat menolong mereka.
Tanpa pikir panjang, Sa’id langsung keluar dan memanggil salah seorang kepercayaanya. Lalu, seribu dinar tadi dibagi-bagi dalam beberapa kantung kecil.
“kantung yang ini, tolong berikan  kepada janda-janda miskin di kabilah fulan, yang ini, berikan kepada fakir miskin di kabilah fulan, yang ini, berikan kepada keluarga fulan yang sedang terkena musibah”, perintah Sa’id. Begitulah seterusnya, hingga yang tersisa tinggal beberapa keping uang dinar.
Lantas ia pulang dan memberikan sisa uang tadi kepada istrinya.”gunakan sisa uang ini untuk memenuhi kebutuhan kita”, katanya.
“Lho, kau kemanakan uang uang seribu dinar tadi?”, tanya sang istri keheranan.
“kita akan mengambil uang itu suatu saat nanti, di saat kita dalam keadaan sangat terdesak”, jawabnya sambil berlalu menuju tempat kerjanya.

Semoga rahmat Allah ta’ala selau tercurah kepada pemimpin-pemimpin semacam ini.
Disarikan dari buku: Shifatus Shofwah, karya Imam Ibnul Jauzi –rohimahullahu- halaman 254-247.