Jumat, 26 April 2013





Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ يَقُولُ إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِي قَالَ وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kami istikharah dalam setiap urusan yan kami hadapi sebagaimana beliau mengajarkan kami suatu surah dari Al-Qur’an. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika seorang dari kalian menghadapi masalah maka ruku’lah (shalat) dua raka’at yang bukan shalat wajib kemudian berdo’alah: 
Allahumma inniy astakhiiruka bi ‘ilmika wa astaqdiruka biqudratika wa as-aluka min fadhlikal ‘azhim, fainnaka taqdiru wa laa aqdiru wa ta’lamu wa laa ‘Abdullah’lamu wa anta ‘allaamul ghuyuub. Allahumma in kunta ta’lamu anna haadzal amru khairul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy” atau; ‘Aajili amriy wa aajilihi faqdurhu liy wa yassirhu liy tsumma baarik liy fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna haadzal amru syarrul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy” aw qaola; fiy ‘aajili amriy wa aajilihi fashrifhu ‘anniy washrifniy ‘anhu waqdurliyl khaira haitsu kaana tsummar dhiniy.”
(Ya Allah aku memohon pilihan kepada-Mu dengan ilmuMu dan memohon kemampuan dengan kekuasaan-Mu dan aku memohon karunia-Mu yang Agung. Karena Engkau Maha Mampu sedang aku tidak mampu, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui, Engkaulah yang Maha Mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini -atau beliau bersabda: di waktu dekat atau di masa nanti- maka takdirkanlah buatku dan mudahkanlah kemudian berikanlah berkah padanya. Namun sebaliknya ya Allah, bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini -atau beliau bersabda: di waktu dekat atau di masa nanti- maka jauhkanlah urusan dariku dan jauhkanlah aku darinya. Dan tetapkanlah buatku urusan yang baik saja dimanapun adanya kemudian jadikanlah aku ridha dengan ketetapan-Mu itu”. Beliau bersabda: “Dia sebutkan urusan yang sedang diminta pilihannya itu”. (HR. Al-Bukhari no. 1162)
Cara menyebutkan urusannya misalnya: Ya Allah, jika engkau mengetahui bahwa safar ini atau pernikahan ini atau usaha ini atau mobil ini baik bagiku …,

Waktu dan Tempat Menghafal Ilmu

Seseorang hendaknya membagi waktu siang dan malamnya. Semestinya dia
memanfaatkan sisa umurnya, karena sisa umur seseorang tidak ternilai
harganya.

Waktu terbaik untuk menghafal adalah waktu sahur.

... Waktu terbaik untuk membahas/meneliti (suatu permasalahan) adalah di
awal pagi.

Waktu terbaik untuk menulis adalah di tengah siang.

Waktu terbaik untuk menelaah dan mengulang (pelajaran) adalah malam
hari.



Al-Khathib rahimahullahu berkata: “Waktu terbaik untuk menghafal adalah
waktu sahur, setelah itu pertengahan siang, kemudian waktu pagi.”

Beliau berkata lagi: “Menghafal di malam hari lebih bermanfaat daripada
di siang hari, dan menghafal ketika lapar lebih bermanfaat daripada
menghafal dalam keadaan kenyang.”

Beliau juga berkata: “Tempat terbaik untuk menghafal adalah di dalam
kamar, dan setiap tempat yang jauh dari hal-hal yang melalaikan.”

Beliau menyatakan pula: “Tidaklah terpuji untuk menghafal di hadapan
tetumbuhan, yang menghijau, atau di sungai, atau di tengah jalan, di
tempat yang gaduh, karena hal-hal itu umumnya akan menghalangi
kosongnya hati.”



(Diambil dari Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal
Muta’allim, karya Al-Qadhi Ibrahim bin Abil Fadhl ibnu Jamaah Al-Kinani
rahimahullahu, hal. 72-73, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah)



Sumber:
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=875

http://darussalaf.or.id/stories.php?id=1641

Mata adalah Utusan Hati

MATA ADALAH UTUSAN HATI

[Transkrip Faidah Ustadz Muhammad As-Sewed hafizhahullah]




Yang namanya manusia, suka untuk melihat gambar-gambar yang bagus, melihat wanita-wanita yang cantik. Tetapi ketika dia tahan karena itu haram, dia akan diberi oleh Allah yang lebih baik.

Allah subhanahu wata’ala telah mengindahkan kepada manusia, kesukaan secara syahwat kepada perempuan. Laki-laki senang pada perempuan itu wajar. Berarti masalahnya adalah halal atau haram? Kalau yang namanya seorang laki-laki senang melihat perempuan itu sudah memang Allah ciptakan demikian. Kalau dikatakan sudah dijadikan seperti itu syahwat, maka dikendalikan kepada yang halal dan JANGAN DILEPAS KEPADA YANG HARAM.

Sesungguhnya nafsu akan selalu mengajak kepada yang jelek. Yaitu nafsul ammarah bis suu', nafsu yang mengajak kepada kejelekan-kejelekan. Akan selalu punya hasrat, punya keinginan untuk melihat gambar-gambar yang bagus, gambar-gambar yang indah.

Dan yang namanya mata adalah utusan hati. Mata itu diutus oleh hati. Hati itu yang memerintahkan, ‘lihat saja’. Maka mata mentaati perintah dari rajanya untuk melihat.

Maka utusannyanya adalah mata, ia melihat ke sana ke mari kemudian lapor kepada rajanya aku melihat demikian, demikian, demikian. Digambarkan betapa indahnya betapa bagusnya. Ketika dikhabarkankan keindahannya digambarkan kecantikannya, digambarkan apa yang telah dilihat oleh mata tadi maka hati tadi bergerak, goncang. Karena rindu kepadanya.

Bayangkan..... Akibat dari mata, siapa yang salah? Ya hatinya, karena dalam keadaan ia sakit sehingga dia mengutus matanya, mengumbar pandangannya ke sana ke mari. Maka ketika dilaporkan betapa cantiknya betapa putihnya betapa manisnya, mulai dia mengalami akibatnya. Akibat dari kesalahan pertama dia terjatuh pada kesalahan kedua. Yaitu rindu kepada yang haram, RINDU KEPADA YANG HARAM.

Mengutus utusannya sendiri kemudian dia merasakan akibatnya sendiri. Dan sungguh ,sering kali terjadi yang membikin capek, membikin lelah, membikin payah, justru utusannya sendiri. Kalau tadinya tidak diutus, dia tidak tahu. Kalau tidak tahu, tidak ada perasaan rindu, tidak ada perasaan kepingin, tidak ada perasaan-perasaan yang haram. Tetapi salah sendiri kenapa diutus utusannya yaitu MATANYA UNTUK MEMANDANG KE SANA KE MARI.



Senin, 08 April 2013

Maksud Hadist Wanita Kurang Akal dan Agamanya

"Wanita itu kurang akal dan agamanya."
Sehingga dengan itu ada sebagian lelaki menjadikannya sebagai cercaan terhadap wanita. Sebenarnya ada makna hadits tersebut?

Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah ibnu Baz rahimahullah menjawab, “Makna hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

“Aku tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya paling bisa mengalahkan akal lelaki yang kokoh daripada salah seorang kalian (kaum wanita).” Maka ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa maksudnya kurang akalnya wanita?” Beliau menjawab, “Bukankah persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian seorang lelaki?” Ditanyakan lagi, “Ya Rasulullah, apa maksudnya wanita kurang agamanya?” "Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa?” jawab beliau.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menerangkan kurangnya akal wanita dari sisi lemahnya ingatan/hapalannya. Persaksiannya baru diterima bila disertai persaksian wanita yang lainnya, guna memperkuat/mengokohkan persaksian yang ada. Karena bila si wanita bersendirian dalam memberikan persaksian terkadang ia lupa sehingga ia menambah ataupun mengurangi dalam persaksian tersebut. Sebagaimana Allah berfirman:

"Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari kaum lelaki di antara kalian. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridhai, supaya jika salah seorang dari wanita itu lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya." (Al-Baqarah: 282)

Adapun kurangnya agama si wanita karena saat ia haid dan nifas, ia harus meninggalkan shalat dan puasa, tanpa tuntutan mengqadha shalat yang ditinggalkan. Ini sisi kurangnya agamanya. Akan tetapi kekurangan ini bukan celaan baginya dan ia tidak berdosa karenanya. Karena kekurangan tersebut didapatkannya dengan ketentuan syariat Allah k. Allah k lah yang mensyariatkan hal tersebut kepada kaum wanita sebagai kasih sayang/kelembutan terhadapnya dan kemudahan baginya. Karena bila si wanita puasa dalam keadaan ia haid atau nifas, niscaya akan memadaratkannya. Maka termasuk rahmat Allah, Dia mensyariatkan kepada wanita untuk tidak berpuasa saat haid dan nifas. Sebagai gantinya, ia mengqadha di waktu yang lain setelah suci.

Untuk shalat yang harus ditinggalkannya saat haid dan nifas, karena ketika dalam keadaan haid si wanita mendapati pada dirinya sesuatu yang mencegahnya dari thaharah/bersuci. Maka termasuk rahmat Allah k, Dia mensyariatkan si wanita untuk meninggalkan shalat. Demikian pula saat nifas. Kemudian Allah mensyariatkan shalat yang ditinggalkan tersebut tidak diqadha, karena kalau ada qadha niscaya akan memberikan keberatan yang besar. Di mana pengerjaan shalat fardhu akan berulang dalam sehari semalam sebanyak lima kali. Sedangkan haid terkadang waktunya lama/beberapa hari, bisa 7 hari atau 8 hari atau bahkan lebih. Nifas lebih lama lagi, kadang sampai 40 hari. Maka termasuk rahmat Allah kepada si wanita dan kebaikan Allah kepadanya, Dia gugurkan penunaian shalat baginya dan gugur pula qadha shalat tersebut.

Yang perlu diingat, tidak mesti wanita itu kurang akalnya dalam segala hal. Demikian pula tidak mesti agamanya kurang dalam segala hal. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hanya menerangkan kurangnya akal wanita dari sisi kurangnya ingatannya dalam memberikan persaksian. Dalam hal kurangnya agama, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hanya menyebutkan dari sisi ia meninggalkan shalat dan puasa di saat haid dan nifas. Sehingga kekurangan tersebut tidak mesti menjadikan si wanita berada di bawah lelaki (kurang dari lelaki) dalam segala hal dan tidak mesti lelaki lebih utama dari si wanita dalam segala hal. Memang dari sisi jenis, secara umum kaum lelaki lebih utama dari kaum wanita karena sebab yang banyak. Sebagaimana Allah berfirman:

"Kaum lelaki adalah pemimpin atas kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (An-Nisa': 34)

Akan tetapi terkadang wanita melampaui lelaki pada beberapa keadaan, dalam banyak perkara. Ada wanita yang akal, agama dan kekokohan hapalannya melebihi banyak lelaki. Yang datang beritanya dari Nabi n hanyalah penyataan bahwa jenis wanita berada di bawah jenis lelaki dalam hal akal dan agama dari dua sisi yang telah diterangkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Terkadang ada wanita yang memiliki banyak amal shalih sehingga ia melampui banyak lelaki dalam amal shalihnya tersebut dan dalam ketakwaannya kepada Allah k. Demikian pula dalam hal kedudukannya di akhirat kelak. Terkadang ada wanita yang memiliki perhatian terhadap sebagian perkara lalu ia menghapal/mengingatnya dengan kuat, lebih kuat dari ingatan/hapalan sebagian lelaki dalam banyak permasalahan yang diperhatikan si wanita dan ia bersungguh-sungguh dalam menghapal dan mengingatnya. Jadilah si wanita sebagai rujukan dalam sejarah Islam dan dalam banyak hal. Hal ini tampak jelas bagi orang yang memperhatikan keadaan para wanita di masa Nabi n dan setelahnya. Dengan demikian, diketahuilah bahwa kekurangan yang ada tidaklah menjadi penghalang untuk menjadikan wanita sebagai sandaran dalam periwayatan. Demikian pula dalam persaksian bila ia disertai dengan wanita lainnya. Kekurangan tersebut tidak pula menghalangi si wanita untuk bertakwa kepada Allah dan menjadi sebaik-baik hamba Allah, bila ia tetap istiqamah dalam agamanya. Walaupun gugur darinya kewajiban puasa saat haid dan nifas, namun tidak gugur kewajiban mengqadha. Sekalipun gugur darinya kewajiban penunaian shalat saat haid dan nifas berikut qadhanya. Semua ini tidaklah mengharuskan si wanita dianggap kurang dalam segala hal, dari sisi ketakwaannya kepada Allah, dari sisi penunaiannya terhadap perintah Allah dan dari sisi ingatannya terhadap perkara yang mendapatkan perhatiannya. Ia kurang, khusus dalam akal dan agama sebagaimana yang diterangkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Oleh karena itu, tidak sepantasnya seorang mukmin melemparkan tuduhan bahwa si wanita punya kekurangan dalam segala hal dan lemah agamanya dalam segala perkara. Lemahnya dia dalam agama hanya dalam perkara khusus. Lemahnya dia dalam hal akal juga hanya sebatas perkara yang berkaitan dengan ingatan saat memberi persaksian dan semisalnya. Maka permasalahan ini harus dijelaskan dan ucapan Nabi n harus dibawa kepada maknanya yang paling baik dan paling bagus. Wallahu ta'ala a'lam. (Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, 4/292-294)

Sumber: http://www.asysyariah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=21:maksud-kurang-akal-dan-agama&catid=13:fatawa

Kenalilah Tempat-tempat yang Sering di Huni Jin Dan Syeitan


 

1. Tempat peristirahatan unta.

Dalam hadits Abdullah bin Mughaffal radiyallohu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam:

صَلُّوا فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ وَلاَ تُصَلُّوا فِى أَعْطَانِ الإِبِلِ فَإِنَّهَا خُلِقَتْ مِنَ الشَّيَاطِينِ


“Shalatlah kalian di tempat peristirahatan (kandang) kambing dan janganlah kalian shalat di tempat peristirahatan (kandang) unta karena sesungguhnya unta itu diciptakan dari syaitan.” (HR. Ahmad (4/85), Ibnu Majah (769) dan Ibnu Hibban (5657) dan selainnya)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah sebagaimana yang disebutkan di dalam “Majmu Fatawa” (19/41) ketika menjelaskan tentang penyebab dilarangnya shalat di tempat peristirahatan unta: Yang benar bahwa penyebab (dilarangnya shalat) di kamar mandi, tempat peristirahatan unta dan yang semisalnya adalah karena itu adalah tempat-tempat para setan.

2. Tempat buang air besar dan kecil.

Dalam hadits Zaid bin Arqam radiyallohu ‘anhu, dan selainnya yang diriwayatkan oleh Ahmad (4/373), Ibnu Majah (296), Ibnu Hibban (1406), Al Hakim (1/187) dan selainnya bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda :

إِنَّ هَذِهِ الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَةٌ ، فَإِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ : اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ


“Sesungguhnya tempat-tempat buang hajat ini dihadiri (oleh para setan, pen), maka jika salah seorang dari kalian hendak masuk kamar mandi (WC), ucapkanlah “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari setan laki-laki dan setan perempuan.”

الْخُبُثِ adalah setan laki-laki dan الْخَبَائِثِ adalah setan perempuan. Demikian banyak orang yang terkena gangguan jin adalah di tempat-tempat buang hajat.

3. Lembah-lembah.

Sesungguhnya jin dan setan ditemukan di lembah-lembah dan tidak ditemukan di pegunungan. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah dalam “Majmu Fatawa” (19/33) : “Lembah-lembah adalah tempatnya kaum jin karena sesungguhnya mereka lebih banyak ditemukan di lembah-lembah daripada di dataran tinggi.”

4. Tempat sampah dan kotoran.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah dalam “Majmu Fatawa” (19/41) : “(Para Setan) ditemukan di tempat-tempat bernajis seperti kamar mandi dan WC, tempat sampah, kotoran serta pekuburan.”

5. Pekuburan.

Telah datang dari hadits Abu Said Al Khudri radiyallohu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda:

الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ


“Permukaan bumi itu semuanya masjid (bisa dijadikan tempat untuk shalat, pen) kecuali pekuburan dan kamar mandi.” (HR. Ahmad (3/83), Abu Daud (492), Tirmidzi (317), Ibnu Hibban (1699), Al Hakim (1/251) serta yang lainnya)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah sebagaimana yang disebutkan di dalam “Majmu Fatawa” (19/41) ketika berbicara tentang tempat-tempat jin : “Pada pekuburan itu terdapat sarana menuju kesyirikan sebagaimana pekuburan juga menjadi tempat mangkalnya para syaitan. Lihat ucapan beliau sebelumnya.

Para syaitan menuntut orang yang hendak menjadi tukang sihir untuk selalu tinggal di pekuburan. Dan di sanalah para syaitan turun mendatanginya dan tukang sihir itu bolak-balik ke tempat ini. Para syaitan menuntutnya untuk memakan sebagian orang-orang mati.

6. Tempat yang telah rusak dan kosong.

Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam “Al Adab Al Mufrad” (579) dari Tsauban radiyallohu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, berkata kepadaku :

لا تسكن الكفور فإِن ساكن الكفوركساكن القبور


“Janganlah kamu tinggal di tempat yang jauh dari pemukiman karena tinggal di tempat yang jauh dari pemukiman itu seperti tinggal di kuburan.”

Hadits ini hasan. Berkata lebih dari satu ulama bahwa Al Kufuur adalah tempat yang jauh dari pemukiman manusia dan hampir tidak ada seorang pun yang lewat di situ. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang disebutkan dalam “Majmu Fatawa” (19/40-41) ketika berbicara tentang jin : “Oleh karena itu, (para syaitan) banyak ditemukan di tempat yang telah rusak dan kosong.”

7. Lautan.

Dalam hadits Jabir radiyallohu ‘anhu berkata : Bersabda Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam :

إن إبليس يضع عرشه على البحر ثم يبعث سراياه


“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas lautan dalam riwayat lain di atas air dan kemudian dia pun mengutus pasukannya.” (HR. Muslim: 2813)

Dan juga datang dari hadits Abu Musa radiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan yang lainnya dan hadits ini shahih. Sebagian ulama menyebutkan bahwa lautan yang dimaksud adalah samudera “Al Haadi” karena di sanalah tempat berkumpulnya semua benua.

8. Celah-celah di bukit.

Telah datang hadits Ibnu Sarjis radiyallohu ‘anhu dia berkata: bersabda Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam :

لايبلون أَحدكم في الجحر


“Janganlah salah seorang di antara kalian kencing di lubang…”
Mereka berkata kepada Qatadah: “Apa yang menyebabkan dibencinya kencing di lubang?”, dia berkata : “Disebutkan bahwa itu adalah tempat tinggalnya jin.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (5/82), Abu Daud (29), An Nasaai (34), Al Hakim (1/186) dan Al Baihaqi (1/99). Lebih dari satu ulama yang membenarkan bahwa Qatadah mendengar dari Abdullah bin Sarjis radiyallohu ‘anhu. Lihat ktab “Jami’ At Tahshiil.”

Hadits ini dishahihkan oleh Al Walid Al Allamah Al Wadi’i dalam “Ash Shahih Al Musnad Mimma Laisa fii Ash Shahihain” (579).

9. Tempat-tempat kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan.

Para setan ditemukan di setiap tempat yang di dalamnya manusia melakukan kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan. Tidaklah dilakukan kebid’ahan dan penyembahan kepada selain Allah Subhaanahu wa ta’ala, kecuali syaitan memiliki andil yang cukup besar di dalamnya dan terhadap para pelakunya.

10. Rumah-rumah yang di dalamnya dilakukan kemaksiatan.

Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda :

أن الملائكة لا تدخل بيتا فيه كلب ولا صورة


“Sesungguhnya malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar.” (HR. Al Bukhari: 3226 dan Muslim : 2106 dari hadits Abu Thalhah dan Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma dan datang pula dari para sahabat yang lain)

Jika malaikat tidak masuk ke dalam rumah, maka yang masuk adalah syaitan karena malaikat adalah tentara-tentara Allah Subhaanahu wa ta’ala yang diutus untuk menjaga kaum mukminin dan menolak kemudharatan dari mereka. Termasuk kebodohan adalah jika seorang muslim mengusir malaikat dari rumahnya yang menyebabkan masuknya jin dan setan ke dalamnya. Maka makmurkanlah rumah itu dengan dzikir kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, ibadah, dan membaca Al Qur’an.

Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda :

لا تجعلوا بيوتكم مقابر إن الشيطان ينفر من البيت الذي تقرأ فيه سورة البقرة


“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai pekuburan karena sesungguhnya setan itu lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan Surat Al Baqarah.” (HR. Muslim (780), Ahmad (2/337), Tirmidzi (2877) dan selainnya)

11. Pasar-pasar.

Telah datang dari Salman radiyallohu ‘anhu, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (2451) dan selainnya berkata :

لا تكونن إن استطعت أول من يدخلا لسوق ولا آخر من يخرج منها فإنها معركة الشيطان وبها ينصب رايته

“Janganlah engkau menjadi orang pertama yang masuk pasar jika engkau mampu dan jangan pula menjadi orang paling terakhir yang keluar darinya pasar karena pasar itu adalah tempat peperangan para syaitan dan disanalah ditancapkan benderanya.”

Ucapan ini memiliki hukum marfu (disandarkan kepada Rasululla Shallallohu ‘alaihi wasallam, pen). Yang dimaksud dengan ا لمعر كة dalam kata “معركة الشيطان ” adalah tempat peperangan para syaitan dan mereka menjadikan pasar sebagai tempat perang tersebut karena dia mengalahkan mayoritas penghuninya disebabkan karena mereka lalai dari dzikrullah dan gemar melakukan kemaksiatan.

Dan ucapannya ” وبها ينصب رايته ” (dan dengannya dipasang benderanya), merupakan isyarat ditemukannya para syaitan untuk mengadu domba sesama manusia.

Oleh karena itu, pasar merupakan tempat yang dibenci oleh Allah Subhaanahu wata’ala. Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda:

أ حب البلا د إلى الله مساجدها وأبغض البلا د إلى الله أ سواقها

“Tempat yang paling disukai oleh Allah adalah masjid dan tempat yang paling dibenci oleh Allah adalah pasar.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (671) dan selainnya dari hadits Abu Hurairah radiyallohu ‘anhu. Demikianlah para setan berkumpul di tempat-tempat yang di dalamnya gemar dilakukan perbuatan maksiat dan kemungkaran.

12. Jin dan para setan berkeliaran di jalan-jalan dan lorong-lorong.

Dalam hadits Riwayat Bukhari (3303) dan Muslim (2012) dari Jabir radiyallohu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda :

إذا كان جنح الليل فكفوا صبيانكم فإن للجن انتشارا وخطفة وأطفئوا المصابيح عند الرقاد فإن الفويسقة ربما اجترت الفتيلة فأحرقت أهل البيت

“Jika telah datang malam, maka cegahlah anak-anak kalian untuk keluar karena sesungguhnya jin itu berkeliaran dan melakukan penculikan. Matikan lentera di saat tidur karena sesungguhnya binatang fasik (tikus, pen) itu kadang menarik sumbu lampu sehingga membakar penghuni rumah tersebut.”

Sumber: http://www.salafybpp.com/index.php?option=com_content&view=article&id=98:tempat-tempat-yang-banyak-ditemukan-para-syaitan-&catid=1:aqidah-islam&Itemid=28

Sabtu, 30 Maret 2013

Mengenal Sunnah-sunnah dalam Shalat

Penulis Buletin Al-Wala wal Bara Bandung
 Diantara sunnah-sunnah shalat adalah
  1. Do’a Istiftaah
  2. Meletakkan (telapak) tangan kanan di atas (punggung) tangan kiri pada dada tatkala berdiri sebelum ruku’
  3. Mengangkat kedua tangan dengan jari-jari rapat yang tebuka (tidak terkepal) setinggi bahu atau telinga tatkala takbir pertama, ruku’, bangkit dari ruku’, dan ketika berdiri dari tasyahhud awal menuju raka’at ketiga
  4. Tambahan dari sekali tasbih dalam tasbih ruku’ dan sujud
  5. Tambahan dari ucapan Rabbanaa walakal hamdu setelah bangkit dari ruku’
  6. Tambahan dari satu permohonan akan maghfirah (yaitu bacaan Rabbighfirlii) Diantara dua sujud
  7. Meratakan kepala dengan punggung dalam ruku’
  8. Berjauhan antara kedua lengan atas dengan kedua sisi, antara perut dengan kedua paha dan antara kedua paha dengan kedua betis pada waktu sujud
  9. Mengangkat kedua siku dari lantai ketika sujud
  10. Duduk iftiraasy (duduk di atas kaki kiri sebagai alas dan menegakkan kaki kanan) pada tasyahhud awal dan Diantara dua sujud.
  11. Duduk tawarruk (duduk pada lantai dan meletakkan kaki kiri di bawah kaki kanan yang tegak) pada tasyahhud akhir dalam shalat tiga atau empat raka’at
  12. Mengisyaratkan dengan telunjuk pada tasyahhud awal dan tasyahhud akhir sejak mulai duduk sampai selesai tasyahhud
  13. Mendo’akan shalawat dan berkah untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarga beliau serta untuk Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan keluarga beliau pada tasyahhud awal
  14. Berdo’a pada tasyahhud akhir
  15. Mengeraskan (jahr) bacaan pada shalat Fajar (Shubuh), Jum’at, Dua Hari Raya, Istisqaa` (minta hujan), dan pada dua raka’at pertama shalat Maghrib dan ‘Isya`
  16. Merendahkan (sirr) bacaan pada shalat Zhuhur, ‘Ashar, pada raka’at ketiga shalat Maghrib dan dua rakaat terakhir shalat ‘Isya`
  17. Membaca lebih dari surat Al-Fatihah.
Demikian juga kita harus memperhatikan apa-apa yang tersebut dalam riwayat tentang sunnah-sunnah selain yang telah kami sebutkan. Misalnya, tambahan dari ucapan Rabbanaa walakal hamdu setelah bangkit dari ruku’ untuk imam, makmum, dan yang shalat sendiri, karena hal itu termasuk sunnah. Meletakkan kedua tangan dengan jari-jari terbuka (tidak rapat) pada dua lulut ketika ruku’ juga termasuk sunnah.
Penjelasan Sunnah-sunnah Shalat

Ketahuilah bahwa sunnah-sunnah shalat itu ada dua macam:
1. Sunnah-sunnah perkataan
2. Sunnah-sunnah perbuatan
Sunnah-sunnah ini tidak wajib dilakukan oleh orang yang shalat, tetapi jika ia melakukan semuanya atau sebagiannya maka ia akan mendapatkan pahala, sedangkan orang yang meninggalkan semuanya atau sebagiannya maka tidak ada dosa baginya, sebagaimana pembicaraan tentang sunnah-sunnah yang lain (selain sunnah shalat). Namun seharusnya bagi seorang mukmin untuk melakukannya sambil mengingat sabda Al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafaa` Ar-Raasyidiin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian.” (HR. At-Tirmidziy dari Al-’Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu)
Sunnah-sunnah dalam Shalat itu sebagai berikut:
1. Doa Istiftaah
Dinamakan do’a Istiftaah karena shalat dibuka dengannya.
Diantara doa istiftaah:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ
“Maha Suci Engkau Ya Allah dan Maha Terpuji, Maha Berkah Nama-Mu, Maha Tinggi Kemuliaan-Mu, dan tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Engkau.”
Makna Subhaanakallaahumma, “Saya mensucikan-Mu dengan pensucian yang layak bagi Kemuliaan-Mu, Ya Allah.”
Wabihamdika, ada yang mengatakan maknanya, “Saya mengumpulkan tasbih dan pujian bagi-Mu.”
Watabaarakasmuka, maknanya, “Berkah dapat tercapai dengan menyebut-Mu.”
Wata’aalaa jadduka, maknanya, “Maha Mulia Keagungan-Mu.”
Wa laa ilaaha ghairuka, maknanya, “Tidak ada sesembahan (yang berhak diibadahi) di bumi maupun di langit selain-Mu.”
Boleh membaca do’a istiftaah dengan do’a yang mana saja yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mustahab (termasuk sunnah) jika seorang muslim melakukan doa istiftaah kadang dengan do’a yang ini, kadang dengan do’a yang itu, agar dia tergolong orang yang melakukan sunnah keseluruhannya (dalam masalah ini).
Diantara do’a-do’a istiftaah yang tersebut dalam riwayat adalah
اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ
“Ya Allah, jauhkanlah antara aku dengan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dengan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju yang putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah kesalahan-kesalahanku dengan air, es dan embun.”
2. Meletakkan (telapak) tangan kanan di atas (punggung) tangan kiri pada dada saat berdiri sebelum ruku’
Sebagaimana diterangkan dalam hadits Wa`il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu,
“Lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan yang kanan di atas tangan yang kiri.” (HR. Al-Imam Ahmad dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّا مَعْشَرَ الأَنْبِيَاءِ أُمِرْنَا بِتَعْجِيْلِ فِطْرِنَا وَتَأْخِيْرِ سُحُوْرِنَا وَأَنْ نَضَعَ أَيْمَانَنَا عَلَى شَمَائِلِنَا فِي الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya kami, kalangan para Nabi, telah diperintahkan untuk menyegerakan buka puasa kami, mengakhirkan sahur kami, serta agar kami meletakkan tangan kanan kami di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang hasan dari Thawus secara mursal)
Dan masih ada lagi selain cara di atas sebagaimana di terangkan dalam berbagai riwayat. Namun dalam hal ini, pendapat yang terpilih dan rajih adalah meletakkan tangan di atas dada (yaitu tepat di dada, bukan di atas dada mendekati leher), atau yang mendekati dada yaitu di sekitar hati, wallaahu a’lam.
Asy-Syaikh Al-Albaniy menjelaskan bahwa meletakkan kedua tangan di dada inilah yang shahih di dalam sunnah, adapun selain itu riwayatnya dha’if atau laa ashla lahu (tidak ada asalnya), lihat kitab beliau Shifatu Shalaatin Nabiy shallallahu ‘alaihi wa sallam. (bersambung insya Allah). Wallaahu A’lam.
Pada edisi yang lalu telah dijelaskan do’a istiftaah dan meletakkan telapak tangan kanan di atas punggung tangan kiri pada dada saat berdiri sebelum ruku’, sekarang akan dilanjutkan dengan sunnah-sunnah yang lainnya, yaitu:
3. Mengangkat kedua tangan dengan jari-jarinya yang rapat terbuka (tidak terkepal) setinggi bahu atau telinga tatkala takbir pertama, ruku’, bangkit dari ruku’ dan ketika berdiri dari tasyahhud awal menuju raka’at ketiga
Berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya dengan jari-jari yang rapat terbuka /tidak terkepal (dan tentunya menghadap ke kiblat).
Juga berdasarkan hadits Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangan setinggi kedua bahunya.” (HR. Abu Dawud)
Dan hadits Malik bin Huwairits, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya hingga setinggi ujung kedua telinganya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Mengangkat kedua tangan adalah isyarat membuka hijab antara seorang hamba dengan Rabbnya, sebagaimana telunjuk mengisyaratkan ke-Esaan Allah ‘azza wa jalla.
Pada Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau berdiri untuk shalat wajib maka beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangan beliau setinggi kedua bahunya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan seperti itu apabila telah selesai dari bacaannya dan hendak ruku’, demikian pula setelah mengangkat kepala dari ruku’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangannya sama sekali ketika duduk di dalam shalat. Apabila telah berdiri selesai melakukan dua sujud (maksudnya adalah dua raka’at), maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali mengangkat kedua tangannya sambil bertakbir. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidziy menshahihkannya).
4. Tambahan dari sekali dalam tasbih ruku’ dan sujud
Sesuai hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendengarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan tatkala ruku’, Subhaana rabbiyal ‘azhiim, sedangkan tatkala sujud, Subhaana rabbiyal a’laa. (HR. Abu Dawud)
Boleh juga ditambah dengan wabihamdih. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Yang wajib adalah satu kali, sedangkan batas minimal kesempurnaan adalah tiga kali dan maksimalnya sepuluh kali (bagi imam). Sebagaimana dikatakan oleh para ‘ulama, “Bagi imam, batas minimal kesempurnaan adalah tiga kali dan maksimalnya sepuluh kali.”
Boleh juga do’a yang lain seperti dalam hadits Abu Hurairah, bahwa di dalam sujudnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,
اللَّهُمَّ اغْفِرْلِيْ ذَنْبِيْ كُلَّهُ وَدِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَأَخِرَهُ وَعَلاَنِيَّتَهُ وَسِرَّهُ
“Ya Allah, ampunilah bagiku dosaku semuanya, yang kecil maupun yang besar, yang awal maupun yang akhir, serta yang terang-terangan maupun yang tersembunyi.” (HR. Muslim)
Atau memilih do’a yang lain, lihat Shifatu Shalaatin Nabiy shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Asy-Syaikh Al-Albaniy.
Jika mau maka boleh berdo’a (dengan bahasa Arab) ketika sujud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Adapun ketika sujud, maka perbanyaklah do’a padanya, sebab sangat pantas dikabulkan bagi kalian (dengan keadaan seperti itu).” (HR. Muslim)
Ketahuilah bahwa tidak boleh membaca ayat atau surat Al-Qur`an saat ruku’ dan sujud karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya!! (HR. Muslim)
5. Tambahan dari ucapan Rabbanaa walakal hamdu setelah bangkit dari ruku’
Seperti menambahkan,
مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْئٍ بَعْدُ
“Sepenuh langit dan sepenuh bumi dan sepenuh semua yang Engkau kehendaki selain itu.” (HR. Muslim)
Jika mau maka boleh menambahkan lagi,
أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ
وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
“Pemilik pujian dan kemuliaan yang paling pantas untuk dikatakan oleh seorang hamba, semua kami hamba-Mu, Ya Allah, tidak ada penghalang terhadap apa yang Engkau berikan, tidak ada pemberi terhadap apa yang Engkau tahan, dan tidak dapat memberi manfaat selain daripada-Mu.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Abu ‘Awanah)
Boleh juga tanpa wawu Rabbanaa lakal hamdu. (Muttafaqun ‘alaih)
Boleh mengucapkan do’a yang lain yang disebutkan dalam berbagai riwayat, lihat Shifatu Shalaatin Nabiy shallallahu ‘alaihi wa sallam.
6. Tambahan dari satu permohonan akan maghfirah di antara dua sujud
Yang wajib adalah satu kali sesuai riwayat Hudzaifah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan di antara dua sujud, Rabbighfirlii (Rabbku ampunkanlah aku!). (HR. An Nasa`iy dan Ibnu Majah)
7. Meratakan kepala dengan punggung dalam ruku’
Berdasarkan hadits ‘A`isyah, “Jika ruku’, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggikan kepalanya dan tidak pula menurunkannya, akan tetapi di antara itu.” (HR. Muslim)
8. Berjauhan antara kedua lengan atas dengan kedua sisi, antara perut dengan kedua paha dan antara kedua paha dengan kedua betis pada waktu sujud

9. Mengangkat kedua siku dari lantai ketika sujud

Berdasarkan hadits tentang sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merapatkan kedua siku ke lantai. (HR. Al Bukhariy dan Abu Dawud)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua sikunya dari lantai dan menjauhkannya dari dua sisinya sehingga tampak putih ketiaknya dari belakang. (Muttafaqun ‘alaih)
10. Duduk Iftiraasy (duduk di atas kaki kiri sebagai alas dan menegakkan kaki kanan) pada tasyahhud awal dan di antara dua sujud
Berdasarkan hadits riwayat ‘A`isyah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan alas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab berkata, “Lalu duduk iftirasy untuk bertasyahhud, meletakkan kedua tangan di atas paha dengan jari-jari tangan kiri dibentangkan dan rapat menghadap Kiblat, sedangkan pada tangan kanannya maka anak jari dan jari manis dikepal, serta jari tengah dilingkarkan dengan ibu jari, lalu bertasyahhud dengan sirr, sementara telunjuk memberi isyarat tauhid.”
11. Duduk tawarruk (duduk dengan pantat menyentuh lantai dan meletakkan kaki kiri di bawah kaki kanan yang tegak) pada tasyahhud akhir dalam shalat tiga atau empat raka’at
Abu Humaid As-Sa’idiy berkata, “Jika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada raka’at terakhir maka beliau memajukan kaki kirinya dan menegakkan yang lain (kanan) serta duduk dengan pantat menyentuh lantai.” (HR. Al-Bukhariy 2/828)
Dan dalam hadits Rifa’ah bin Rafi’ dijelaskan, “Lalu jika kamu telah duduk di pertengahan (akan selesainya) shalat maka thuma’ninahlah, rapatkan ke lantai paha kirimu lalu bertasyahhud.” (HR. Abu Dawud no.860)
12. Mengisyaratkan dengan telunjuk pada tasyahhud awal dan tasyahhud akhir sejak mulai duduk sampai selesai tasyahhud
13. Mendo’akan shalawat dan berkah untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarga beliau serta untuk Nabi Ibrahim ‘alaihis sallam dan keluarga beliau pada tasyahhud awal

14. Berdo’a pada tasyahhud akhir
Berdasarkan hadits, “Lalu hendaklah ia memilih do’a yang dia suka.”
Banyak do’a-do’a setelah tasyahhud yang terdapat dalam berbagai riwayat, silahkan meruju’ kitab Shifatu Shalaatin Nabiy shallallahu ‘alaihi wa sallam.
15. Menjahrkan (mengeraskan) bacaan pada shalat Fajr, Jum’at, Dua Hari Raya, Istisqaa` (minta hujan) dan pada dua raka’at pertama shalat Maghrib dan ‘Isya`
16. Merendahkan (sirr) bacaan pada shalat Zhuhur, ‘Ashar, pada raka’at ketiga shalat Maghrib dan dua rakaat terakhir shalat ‘Isya`
Al-Imam Ibnu Qudamah berkata, “Telah disepakati akan mustahab-nya menjahrkan bacaan pada tempat-tempat jahr dan mensirrkan pada tempat-tempat sirr, serta kaum muslimin tidak berselisih pendapat tentang tempat-tempatnya. Atas dasar perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jelas pada penukilan ‘ulama khalaf dari ‘ulama salaf.”
17. Membaca lebih dari Al-Fatihah
Al-Imam Ibnu Qudamah berkata, “Membaca surat setelah Al-Fatihah adalah disunnahkan pada dua raka’at (awal) dari semua shalat, kita tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.”
Sunnah-sunnah yang lain dalam Shalat
Termasuk sunnah, yaitu imam menjahrkan takbirnya dan pada saat mengucapkan tasmii’ (sami’allaahu liman hamidah), sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika imam takbir maka bertakbirlah kalian.”
Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika imam mengucapkan Sami’allaahu liman hamidah, maka ucapkanlah: Rabbanaa walakal hamdu.” (Muttafaqun ‘alaih)
Adapun makmum dan orang yang shalat sendiri, maka mereka mensirrkan kedua ucapan tersebut.
Disunnahkan mengucapkan ta’awwudz secara sirr, dengan mengucapkan A’uudzu billaahi minasy syaithaanir rajiim, atau A’uudzu billaahi minasy syaithaanir rajiim min hamzihi wanafkhihi wanaftsih (aku berlindung kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk, dari semburannya, kesombongannya dan hembusannya). Lalu membaca basmalah dengan sirr (pelan), basmalah tidak termasuk Al-Fatihah, tidak pula surat-surat lainnya (kecuali pada surat An-Naml ayat 30, pent), namun basmalah merupakan satu ayat tersendiri yang berada di awal tiap surat kecuali At-Taubah.
Disunnahkan menulis basmalah di awal tiap kitab sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Sulaiman dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta hendaklah diucapkan di tiap permulaan suatu pekerjaan, sebab ia dapat mengusir syaithan.
Ketika membaca Al-Fatihah disunnahkan untuk berhenti pada tiap ayat sebagaimana cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya, lalu mengucapkan aamiin (Ya Allah, kabulkanlah!) setelah diam sejenak agar diketahui bahwa kata aamiin bukan dari Al-Qur`an. Tidak boleh mengucapkan Rabighfirlii sebelum aamiin, karena tidak ada dalilnya. Imam dan makmum menjahrkan aamiin secara bersamaan pada shalat jahr, setelah itu disunnahkan bagi imam untuk diam sejenak pada shalat jahr berdasarkan hadits Samurah.
Disunnahkan membaca satu surat secara utuh setelah Al-Fatihah (dari awal sampai akhir ayat dalam satu surat) walaupun boleh hanya membaca satu ayat, yang menurut Al-Imam Ahmad mustahab (sunnah/disukai) satu ayat tersebut panjang. Adapun di luar shalat, maka membaca basmalah boleh dengan jahr atau sirr.
Hendaklah surat yang dibaca pada shalat Fajr (Shubuh), surat yang termasuk dalam Thiwaal Al-Mufashshal (surat-surat panjang dari mufashshal), berdasarkan ucapan Aus, “Saya telah menanyakan kepada para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana kalian membagi Al-Qur`an?” Maka masing-masing mereka berkata, “Tiga bagian, lima, tujuh, sembilan, sebelas dan tiga belas, ditambah satu bagian Al-Mufashshal (yang dimulai dari surat Qaaf hingga An-Naas).”
Kemudian pada shalat Maghrib membaca Qishaar Al-Mufashshal (surat-surat pendek dari mufashshal). Adapun pada shalat-shalat yang lain, maka membaca Ausath Al-Mufashshal (yang sedang dari mufashshal) jika tidak ada ‘udzur/halangan, namun jika ada halangan maka membaca yang pendek saja.
Tidak mengapa bagi wanita membaca dengan jahr pada shalat jahr, selama tidak ada laki-laki ajnabiy (yang bukan mahram) yang mendengarkannya.
Adapun orang yang melakukan shalat sunnah di malam hari, maka hendaklah ia memperhatikan maslahat, jika di dekatnya ada orang yang merasa terganggu hendaklah ia sirrkan, adapun jika orang di dekatnya justru memperhatikan bacaannya maka hendaklah ia jahrkan. Tidak terlalu keras dan tidak terlalu pelan sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu ketika shalat malam agar meninggikan sedikit suaranya dan memerintahkan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu agar menurunkan sedikit suaranya.
Hendaklah menjahrkan bacaan pada tempat jahr dan mensirrkannya pada tempat sirr, walaupun tetap sah shalatnya kalau ia melakukan kebalikannya, akan tetapi sunnah lebih berhak untuk diikuti. Adapun tertib ayat, maka wajib diperhatikan karena tertib ayat harus berdasarkan nash.
Termasuk sunnah, berpaling ke kanan dan kiri saat salam, dan hendaklah berpaling ke kiri lebih dalam hingga pipi terlihat. Imam menjahrkan pada salam pertama saja, adapun selain imam maka hendaklah mensirrkan kedua salam itu. Disunnahkan untuk tidak memanjangkan suara saat memberi salam serta berniat dengannya untuk keluar dari (mengakhiri) shalat dan memberi salam kepada malaikat penjaga dan orang-orang yang hadir.
Termasuk sunnah, setelah shalat imam (berbalik) condong ke makmum baik pada sisi kanan atau kirinya, imam tidak lama duduk menghadap Kiblat setelah salam, dan makmum tidak pergi sebelum imam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنِّيْ إِمَامُكُمْ فَلاَ تَسْبِقُوْنِيْ بِالرُّكُوْعِ وَلاَ بِالسُّجُوْدِ وَلاَ بِالإِنْصِرَافِ
“Sesungguhnya aku adalah imam kalian, maka janganlah mendahuluiku dalam ruku’, sujud dan pergi.”
Jika ada jama’ah wanita yang ikut shalat, maka hendaklah jama’ah wanita itu keluar terlebih dahulu, sedangkan jama’ah laki-laki tetap pada tempatnya untuk berdzikir agar tidak berpapasan dengan wanita.
Wallaahu A’lam.
Disadur dari Syarh Ad-Duruus Al-Muhimmah li ‘Aammatil Ummah, karya Asy-Syaikh Ibnu Baaz dan Shifatu Shalaatin Nabiy shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Asy-Syaikh Al-Abaniy.


Mengenal Bacaan Dzikir Setelah Salam dari Shalat Wajib

Dzikir-dzikir Setelah Shalat Wajib
Penulis : Bulletin Al-Wala wal Bara Bandung
Keutamaan Berdzikir
Di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah diterangkan tentang keutamaan berdzikir kepada Allah, baik yang sifatnya muqayyad (tertentu dan terikat) yaitu waktu, bilangannya dan caranya terikat sesuai dengan keterangan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, tidak boleh bagi kita untuk menambah atau mengurangi bilangannya, atau menentukan waktunya tanpa dalil, atau membuat cara-cara berdzikir tersendiri tanpa disertai dalil baik dari Al-Qur`an ataupun hadits yang shahih/hasan, seperti berdzikir secara berjama’ah (lebih jelasnya lihat kitab Al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhiid, Al-Ibdaa’ fii Kamaalisy Syar’i wa Khatharul Ibtidaa’, Bid’ahnya Dzikir Berjama’ah, dan lain-lain).
Atau dzikir-dzikir yang sifatnya muthlaq, yaitu dzikir di setiap keadaan baik berbaring, duduk dan berjalan sebagaimana diterangkan oleh ‘A`isyah bahwa beliau berdzikir di setiap keadaan (HR. Muslim). Akan tetapi tidak boleh berdzikir/menyebut nama Allah di tempat-tempat yang kotor dan najis seperti kamar mandi atau wc.
Diantara ayat yang menjelaskan keutamaan berdzikir adalah:
1. Firman Allah,
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ
“Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah:152)
2. Firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (Al-Ahzaab:41)
3. Firman Allah, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar/jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bershadaqah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzaab:35)
4. Firman Allah,
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِين
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (Al-A’raaf:205)
Adapun di dalam As-Sunnah, Diantaranya:
1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِيْ لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
“Permisalan orang yang berdzikir kepada Allah dengan orang yang tidak berdzikir kepada Allah adalah seperti orang yang hidup dan mati.” (HR. Al-Bukhariy no.6407 bersama Fathul Bari 11/208 dan Muslim 1/539 no.779)
Adapun lafazh Al-Imam Muslim adalah,
مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِيْ يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ وَالْبَيْتِ الَّذِيْ لاَ يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
“Permisalan rumah yang di dalamnya disebut nama Allah dan rumah yang di dalamnya tidak disebut nama Allah adalah seperti orang yang hidup dan orang yang mati.”
2. Dari ‘Abdullah bin Busrin radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, sesungguhnya syari’at Islam telah banyak atasku, maka kabarkan kepadaku dengan sesuatu yang aku akan mengikatkan diriku dengannya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ
“Hendaklah lisanmu senantiasa basah dengan dzikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidziy 5/458 dan Ibnu Majah 2/1246, lihat Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/139 dan Shahiih Sunan Ibni Maajah 2/317)
3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُوْلُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيْمٌ حَرْفٌ
“Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah maka dia mendapat satu kebaikan dan satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif laam miim satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf.” (HR. At-Tirmidziy 5/175, lihat Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/9 serta Shahiihul Jaami’ Ash-Shaghiir 5/340)
Dzikir-dzikir Setelah Salam dari Shalat Wajib
Diantara dzikir-dzikir yang sifatnya muqayyad adalah dzikir setelah salam dari shalat wajib. Setelah selesai mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, kita disunnahkan membaca dzikir, yaitu sebagai berikut:
1. Membaca:
أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ
“Aku meminta ampunan kepada Allah (tiga kali). Ya Allah, Engkaulah As-Salaam (Yang selamat dari kejelekan-kejelekan, kekurangan-kekurangan dan kerusakan-kerusakan) dan dari-Mu as-salaam (keselamatan), Maha Berkah Engkau Wahai Dzat Yang Maha Agung dan Maha Baik.” (HR. Muslim 1/414)
2. Membaca:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ, اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
“Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala kerajaan, dan pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menolak terhadap apa yang Engkau beri dan tidak ada yang dapat memberi terhadap apa yang Engkau tolak dan orang yang memiliki kekayaan tidak dapat menghalangi dari siksa-Mu.” (HR. Al-Bukhariy 1/255 dan Muslim 414)
3. Membaca:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ
“Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala kerajaan, dan pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Tiada daya dan upaya serta kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah dan kami tidak beribadah kecuali kepada Allah, milik-Nya-lah segala kenikmatan, karunia, dan sanjungan yang baik, tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, kami mengikhlashkan agama untuk-Nya walaupun orang-orang kafir benci.” (HR. Muslim 1/415)
4. Membaca:
سُبْحَانَ اللهُ
“Maha Suci Allah.” (tiga puluh tiga kali)
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ
“Segala puji bagi Allah.” (tiga puluh tiga kali)
اَللهُ أَكْبَرُ
“Allah Maha Besar.” (tiga puluh tiga kali)
Kemudian dilengkapi menjadi seratus dengan membaca,
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala kerajaan, dan pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.”
Barangsiapa mengucapkan dzikir ini setelah selesai dari setiap shalat wajib, maka diampuni dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan. (HR. Muslim 1/418 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Ada dua sifat (amalan) yang tidaklah seorang muslim menjaga keduanya (yaitu senantiasa mengamalkannya, pent) kecuali dia akan masuk jannah, dua amalan itu (sebenarnya) mudah, akan tetapi yang mengamalkannya sedikit, (dua amalan tersebut adalah): mensucikan Allah Ta’ala setelah selesai dari setiap shalat wajib sebanyak sepuluh kali (maksudnya membaca Subhaanallaah), memujinya (membaca Alhamdulillaah) sepuluh kali, dan bertakbir (membaca Allaahu Akbar) sepuluh kali, maka itulah jumlahnya 150 kali (dalam lima kali shalat sehari semalam, pent) diucapkan oleh lisan, akan tetapi menjadi 1500 dalam timbangan (di akhirat). Dan amalan yang kedua, bertakbir 34 kali ketika hendak tidur, bertahmid 33 kali dan bertasbih 33 kali (atau boleh tasbih dulu, tahmid baru takbir, pent), maka itulah 100 kali diucapkan oleh lisan dan 1000 kali dalam timbangan.”
Ibnu ‘Umar berkata, “Sungguh aku telah melihat Rasulullah menekuk tangan (yaitu jarinya) ketika mengucapkan dzikir-dzikir tersebut.”
Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana dikatakan bahwa kedua amalan tersebut ringan/mudah akan tetapi sedikit yang mengamalkannya?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Syaithan mendatangi salah seorang dari kalian ketika hendak tidur, lalu menjadikannya tertidur sebelum mengucapkan dzikir-dzikir tersebut, dan syaithan pun mendatanginya di dalam shalatnya (maksudnya setelah shalat), lalu mengingatkannya tentang kebutuhannya (lalu dia pun pergi) sebelum mengucapkannya.” (Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud no.5065, At-Tirmidziy no.3471, An-Nasa`iy 3/74-75, Ibnu Majah no.926 dan Ahmad 2/161,205, lihat Shahiih Kitaab Al-Adzkaar, karya Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy 1/204)
Kita boleh berdzikir dengan tasbih, tahmid dan takbir masing-masing 33 kali dengan ditambah tahlil satu kali atau masing-masing 10 kali, yang penting konsisten, jika memilih yang 10 kali maka dalam satu hari kita memakai dzikir yang 10 kali tersebut.
Hadits ini selayaknya diperhatikan oleh kita semua, jangan sampai amalan yang sebenarnya mudah, tidak bisa kita amalkan.
Tentunya amalan/ibadah semudah apapun tidak akan terwujud kecuali dengan pertolongan Allah. Setiap beramal apapun seharusnya kita meminta pertolongan kepada Allah, dalam rangka merealisasikan firman Allah,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (Al-Faatihah:4)
5. Membaca surat Al-Ikhlaash, Al-Falaq dan An-Naas satu kali setelah shalat Zhuhur, ‘Ashar dan ‘Isya`. Adapun setelah shalat Maghrib dan Shubuh dibaca tiga kali. (HR. Abu Dawud 2/86 dan An-Nasa`iy 3/68, lihat Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/8, lihat juga Fathul Baari 9/62)
6. Membaca ayat kursi yaitu surat Al-Baqarah:255
Barangsiapa membaca ayat ini setiap selesai shalat tidak ada yang dapat mencegahnya masuk jannah kecuali maut. (HR. An-Nasa`iy dalam ‘Amalul yaum wal lailah no.100, Ibnus Sunniy no.121 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Shahiihul Jaami’ 5/339 dan Silsilatul Ahaadiits Ash-Shahiihah 2/697 no.972)
7. Membaca:
اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Sebagaimana diterangkan dalam hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua tangannya dan berkata, “Ya Mu’adz, Demi Allah, sungguh aku benar-benar mencintaimu.” Lalu beliau bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu Ya Mu’adz, janganlah sekali-kali engkau meninggalkan di setiap selesai shalat, ucapan…” (lihat di atas):
“Ya Allah, tolonglah aku agar senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu.” (HR. Abu Dawud 2/86 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Shahiih Sunan Abi Dawud 1/284)
Do’a ini bisa dibaca setelah tasyahhud dan sebelum salam atau setelah salam. (‘Aunul Ma’buud 4/269)
8. Membaca:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala kerajaan, dan pujian, yang menghidupkan dan mematikan dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.”
Dibaca sepuluh kali setelah shalat Maghrib dan Shubuh. (HR. At-Tirmidziy 5/515 dan Ahmad 4/227, lihat takhrijnya dalam Zaadul Ma’aad 1/300)
9. Membaca:
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amal yang diterima.” Setelah salam dari shalat shubuh. (HR. Ibnu Majah, lihat Shahiih Sunan Ibni Maajah 1/152 dan Majma’uz Zawaa`id 10/111)
Semoga kita diberikan taufiq oleh Allah sehingga bisa mengamalkan dzikir-dzikir ini, aamiin.
Wallaahu A’lam.
Maraaji’: Hishnul Muslim, karya Asy-Syaikh Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthaniy, Shahiih Kitaab Al-Adzkaar wa Dha’iifihii, karya Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy dan Al-Kalimuth Thayyib, karya Ibnu Taimiyyah.



Pembatal-pembatal Keimanan



(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al-Atsari)
Di negeri kita, banyak sekali terdapat acara ritual persembahan baik berupa makanan atau hewan sembelihan untuk sesuatu yang dianggap keramat. Seperti di daerah pesisir selatan pulau Jawa, banyak masyarakat memiliki tradisi memberikan persembahan kepada “penguasa” laut selatan. Begitupun di tempat lain, yang intinya adalah agar yang “mbau rekso” berkenan memberikan kebaikan bagi masyarakat setempat. Dilihat dari kacamata agama, acara ini sebenarnya sangat berbahaya, karena bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Iman menurut Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki cabang yang banyak. Di antara cabang-cabang iman tersebut ada yang merupakan rukun, ada yang wajib dan ada pula yang mustahab. Nabi n bersabda:
اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً -أَوْ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً- أَفْضَلُهَا قَوْلَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ
“Iman mempunyai 63 atau 73 cabang, paling utamanya adalah kalimat tauhid La ilaha illallah dan paling rendahnya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu adalah salah satu cabang dari keimanan.” (HR. Muslim, An-Nasa`i, dan lainnya dari sahabat Abu Hurairah )

Dalam hadits yang mulia ini Nabi n mengumpulkan tiga perkara yang terkait dengan keimanan. Pertama adalah ucapan, yakni kalimat tauhid La ilaha illallah dan inilah hal yang rukun. Kedua adalah amalan, yakni menyingkirkan gangguan dari jalan dan inilah hal yang mustahab. Sedangkan yang ketiga adalah amalan hati, yakni malu dan ini termasuk hal yang wajib.
Lawan dari iman adalah kufur. Sebagaimana keimanan mempunyai banyak cabang, maka kekufuran pun memiliki cabang yang banyak. Namun tidak setiap yang mengerjakan salah satu dari cabang-cabang keimanan menyebabkan pelakunya dikatakan mukmin, seperti halnya tidak setiap yang melakukan salah satu dari cabang kekufuran lantas pelakunya dikatakan kafir.
Untuk lebih memperjelas hal di atas, salah satu contohnya adalah orang yang menyambung tali silaturrahmi (perbuatan ini merupakan cabang keimanan). Ia belumlah dapat dikatakan mukmin karena amalan tersebut, sampai ia mengerjakan rukun-rukun iman. Demikian halnya dengan yang meratapi mayit di mana perbuatan ini adalah salah satu dari cabang kekafiran. Tidaklah setiap orang yang melakukan hal tersebut menjadi kafir keluar dari Islam.
Pembaca, iman itu bukanlah sesuatu yang sempit penggunaannya. Artinya, tidaklah seseorang itu dikatakan mukmin manakala terkumpul padanya sifat atau ciri-ciri keimanan, lalu tidak dikatakan mukmin manakala tidak terdapat padanya sifat keimanan secara lengkap. Pola pikir semacam ini adalah pemikiran dua kelompok sempalan Islam yaitu Khawarij dan Mu’tazilah.
Adapun Ahlus Sunnah, mereka menyatakan seseorang bisa saja dalam dirinya ada sifat-sifat keimanan, kemudian kemunafikan atau kekufuran. Dan ini bukanlah hal yang mustahil. (Uraian di atas diambil dari kaset ceramah Asy-Syaikh Shalih Alusy Syaikh berjudul Nawaqidhul Iman)
Oleh karena itu, seseorang dinyatakan beriman atau menyandang nama iman adalah dengan kalimat yang agung yaitu kalimat tauhid La ilaha illallah. Kalimat ini sebagai akad keimanan.
Akad keimanan ini tidak akan lepas dari diri seseorang kecuali dengan perkara yang betul-betul kuat dan jelas-jelas dapat menggugurkannya, bukan lantaran perkara-perkara yang masih meragukan atau bahkan mengandung kemungkinan-kemungkinan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t mengatakan: “Sesungguhnya vonis kafir atau kekafiran itu tidak terjadi dengan sebab persoalan yang masih mengandung kemungkinan.” (As-Sharimul Maslul hal. 963, melalui nukilan dari Wajadilhum billati hiya Ahsan hal. 91)
Keimanan adalah ikatan, sedangkan pembatal adalah hal yang melepaskan atau memutuskan ikatan tersebut. Jadi yang dimaksud pembatal-pembatal keimanan adalah perkara atau perbuatan-perbuatan yang menjadikan pelakunya kafir keluar dari Islam.
Iman seperti yang telah lewat penyebutannya adalah ucapan, amalan, dan keyakinan. Dengan demikian, pembatal keimanan pun tidak lepas dari tiga perkara ini, yakni qauliyyah (ucapan), ‘amaliyyah (perbuatan), dan i’tiqadiyyah (keyakinan).
Pembatal Iman Karena Qauliyyah
Pembatal keimanan karena qauliyyah letaknya adalah lisan, yakni seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang menyebabkan batal keimanannya dan menjadi kafir karenanya.
Banyak orang yang memiliki persepsi bahwa ucapan-ucapan yang mengandung kekafiran, seperti mencela Allah l atau Rasul n, atau mencela dien dan semisalnya, tidaklah menjadi sebab pelakunya kafir keluar dari Islam, selama di dalam hatinya masih ada keimanan. Anggapan ini tentu saja keliru karena bertentangan dengan nash dan apa yang telah ditetapkan ahlul ilmi.
Allah l berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putera Maryam’.”  (Al-Ma`idah: 17)
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya Allah adalah salah satu dari yang tiga’.” (Al-Ma`idah: 73)
Ibnu Taimiyyah t berkata: “Barangsiapa mengucapkan perkataan kufur dengan lisannya, dalam keadaan sengaja dan tahu bahwa itu adalah ucapan kufur, maka ia telah kafir lahir dan batin. Tidak boleh bagi kita terlalu berlebihan sehingga harus dikatakan: ‘Mungkin saja dalam hatinya ia mukmin’. Siapa yang mengucapkan (kekufuran) itu, maka sungguh dia telah keluar dari Islam. Allah l berfirman:
مَنْ كَفَرَ بِاللهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (An-Nahl: 106) [Ash-Sharimul Maslul hal. 524]
Al-Hafizh Ibnu Abdil Bar t menerangkan bahwa para ulama telah bersepakat tentang orang yang mencela Allah dan Rasul-Nya, menolak sesuatu yang telah Allah k turunkan, atau membunuh seorang nabi Allah l meski dia mengimani apa yang Allah k turunkan, maka dia kafir. (At-Tamhid, 4/226, melalui nukilan dari At-Tawassuth wal Iqtishad hal. 38)
Dengan demikian, barangsiapa yang mencela Allah l maka dia kafir, baik bercanda atau serius. Demikian pula orang yang menghina Allah, ayat-ayat-Nya, Rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Allah l berfirman:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ. لاَ تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (At-Taubah: 65-66)
Al-Imam Ibnu Rajab t berkata: “Jika (seseorang) mencela Allah l dan Rasul-Nya, padahal dia meyakini dua kalimat syahadat, maka dihalalkan darahnya, sebab dengan itu dia telah meninggalkan agamanya.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 171, syarh hadits ke-14)
Ibnu Taimiyyah t pun menjelaskan hal yang sama ketika membantah pendapat yang menyatakan bahwa ucapan lisan semata tidaklah menyebabkan kekafiran. Beliau berkata: “Sesungguhnya kita mengetahui bahwa orang yang mencela Allah k dan Rasul-Nya dalam keadaan sukarela bukan karena terpaksa, bahkan orang yang berbicara dengan kalimat-kalimat kufur dengan sukarela dan tidak dipaksa, serta orang yang mengejek Allah l, Rasul-Nya dan ayat-ayat-Nya, maka dia telah kafir lahir batin.” (Majmu’ul Fatawa, 7/368)
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz t berkata: “Mencela dien adalah kufur akbar dan murtad dari Islam, wal ‘iyadzu billah (Kita memohon perlindungan kepada Allah). Apabila seorang muslim mencela agamanya atau Islam atau melecehkan dan menganggap remeh serta merendahkan Islam, maka ini adalah riddah (murtad) dari Islam. Allah k berfirman:
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ. لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (At-Taubah: 65-66)
Para ulama secara pasti telah bersepakat bahwa ketika seorang muslim mencela dan merendahkan agamanya atau mencela Rasul dan merendahkannya, maka dia murtad, kafir, halal darah dan hartanya. Jika bertaubat maka diterima taubatnya. Jika tidak, maka dibunuh.” (Diambil dari Fatawa Nur ‘alad Darbi (melalui) CD)
Pembatal Iman Karena ‘Amaliyyah
Pembatal iman yang disebabkan oleh ‘amaliyyah adalah seseorang melakukan perbuatan-perbuatan yang menjadikannya kafir, yakni tindakan yang dilakukan dengan unsur kesengajaan dan penghinaan yang jelas terhadap dien. Seperti sujud kepada patung atau matahari, melemparkan mushaf Al-Qur`an ke tempat-tempat kotor, sihir, dan lain sebagainya.
Tak ada seorangpun dari ahli qiblat (kaum muslimin), yang keluar dari Islam sampai dia menolak satu ayat dari Kitab Allah k atau menolak sesuatu dari hadits Rasulullah n, atau shalat kepada selain Allah l, atau menyembelih bagi selain Allah l. Jika ada yang melakukan salah satu dari hal tersebut, maka wajib bagimu untuk mengeluarkannya dari Islam. Demikian ditegaskan Al-Imam Al-Hasan bin ‘Ali Al-Barbahari t dalam Syarhus Sunnah (hal. 31).
Al-Qadhi ‘Iyadh bin Musa t setelah menerangkan kekafiran karena ucapan, beliau berkata: “Demikian pula kami menyatakan kafir terhadap perbuatan yang telah disepakati oleh kaum muslimin sebagai perbuatan yang tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang kafir, meski pelakunya menyatakan Islam saat melakukannya. Seperti (perbuatan) sujud kepada patung atau matahari, bulan, salib dan api, serta berusaha mendatangi gereja dan berjanji setia bersama penghuninya. Semua perbuatan ini tidaklah dilakukan kecuali oleh orang-orang kafir.” (At-Tawassuth wal Iqtishad hal. 41)
Al-Imam Syihabuddin Ahmad bin Idris Al-Qarafi berkata: “Kafir karena perbuatan contohnya adalah melempar mushaf ke tempat-tempat kotor dan menentang hari kebangkitan, menentang kenabian atau sifat Allah l dengan mengatakan (Allah) tidak mengetahui, atau tidak menghendaki atau tidak hidup dan selainnya.” (At-Tawassuth wal Iqtishad hal. 47)
Pernah diajukan satu pertanyaan ke hadapan Fadhilatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz t mengenai kufur amali yang mengeluarkan (pelakunya) dari agama. Beliau menjawab: “Sembelihan untuk selain Allah k dan sujud kepada selain Allah l adalah kufur amali yang mengeluarkan dari millah (agama). Demikian pula bila seseorang shalat kepada selain Allah k atau sujud kepada selain-Nya, maka dia telah kufur dengan kekufuran amali yang akbar –wal ‘iyadzu billah–. Begitu juga kalau dia mencela dien atau Rasul, atau melecehkan Allah l dan Rasul-Nya. Itu semua adalah kufur amali yang paling besar menurut seluruh Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Majalah Al-Furqan Al-Kuwaitiyyah edisi 94/Syawwal 1418 H)
Pembatal Iman karena I’tiqadiyyah
Pembatal i’tiqadiyyah adalah keyakinan-keyakinan dalam hati atau amalan-amalan hati yang karenanya membatalkan keimanan. Seperti al-i’radh (berpaling) yakni meninggalkan Al-Haq, tidak mempelajarinya dan tidak pula mengamalkannya. Allah l berfirman:
بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ الْحَقَّ فَهُمْ مُعْرِضُونَ
“Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling.” (Al-Anbiya`: 24)
Barangsiapa yang berpaling dari apa yang dibawa oleh Rasulullah n dari Rabbnya, dengan cara memalingkan hatinya dari beriman terhadapnya atau memalingkan anggota badan dari mengamalkannya, berarti dia kafir karena pembangkangannya itu. (Al-Madkhal hal. 156)1
Kekafiran karena i’tiqad yang lainnya adalah menolak dan menyombongkan diri di hadapan Al-Haq, melecehkannya dan melecehkan para pengikutnya, dalam keadaan meyakini bahwa apa yang dibawa Rasulullah n adalah benar-benar dari Rabbnya. Allah l berfirman:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 34)
Menganggap halal (istihlal) terhadap sesuatu yang diharamkan Allah k dan diketahui secara pasti keharamannya dalam agama adalah penyebab kekafiran, terutama jika menyangkut i’tiqad (keyakinan). Adapun kalau menyangkut fi’l (perbuatan), maka harus dilihat dulu bentuk perbuatannya, apakah perbuatan yang menyebabkan pelakunya kafir ataukah tidak.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t pernah ditanya tentang ketentuan istihlal yang menyebabkan seseorang kafir. Beliau menjawab: “Istihlal adalah seseorang meyakini halalnya sesuatu yang diharamkan Allah l (dan ini adalah istihlal i’tiqadi, menyebabkan kafir pelakunya, pent.). Sedangkan istihlal fi’li, harus dilihat. Apabila memang menyangkut perbuatan yang dapat menjadikan pelakunya kafir, maka dia kafir murtad, misalnya seseorang sujud kepada patung, maka dia kafir. Mengapa? Karena perbuatan itu menjadikannya kafir. Contoh lain adalah seseorang yang bermuamalah dengan riba. Ia tidak meyakini riba itu halal tapi tetap melakukannya. Maka dia tidaklah kafir, karena tidak menganggap halal (riba tersebut). Dan diketahui secara umum bahwa memakan harta riba tidaklah menjadikan kafir seseorang, tetapi perbuatan tersebut adalah dosa besar. Namun bila ada seseorang berkata: ‘Sesungguhnya riba itu halal,’ maka ia kafir karena telah mendustakan Allah k dan Rasul-Nya.
Inilah ketentuan istihlal. Dan nampaknya perlu ditambahkan syarat lain yaitu hendaknya orang yang melakukan tindakan istihlal ini bukan orang yang mendapat keringanan karena kebodohannya. Jika ternyata demikian keadaan pelakunya, maka ia tidaklah kafir. (Liqa` Babil Maftuh, soal no. 1200, melalui nukilan dari catatan At-Tawassuth Wal Iqtishad hal. 31)
Barangkali di antara pembaca ada yang bertanya, mengapa sujud kepada patung dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam? Padahal tidak nampak dari perbuatan itu kecuali kufur amali saja.
Jawabannya adalah karena perbuatan tersebut tidak terjadi melainkan bersamaan dengan lenyapnya amalan hati, seperti niat, ikhlas, dan patuh. Semua itu tidak terdapat lagi saat seseorang sujud kepada patung. Oleh karena itu, meskipun yang nampak adalah kufur amali, namun berkonsekuensi adanya kufur i’tiqadi, dan itu pasti. (A’lamus Sunnah Al-Mansyurah hal. 181-182 oleh Asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami)
Jadi tidak setiap kufur amali tidak mengeluarkan pelakunya dari millah Islam. Justru sebagiannya dapat mengeluarkan dari millah Islam.
Bentuk kekafiran karena i’tiqad juga bisa terjadi jika seseorang meyakini adanya serikat bersama dengan Allah k dalam hal wujud-Nya, Rububiyah-Nya, Uluhiyyah-Nya, dan meyakini bahwa nama dan sifat serta perbuatan Allah l adalah sama dengan makhluk-Nya. Padahal Allah l berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
Membahas tuntas tentang pembatal-pembatal keimanan dan iman itu sendiri membutuhkan tempat dan kesempatan yang luas. Namun mudah-mudahan apa yang telah dijelaskan di atas memberikan sedikit banyak pengetahuan kita seputar hal tersebut.
Wallahul musta’an.
Catatan Kaki:
1 Yang dimaksud dengan berpaling yang dapat membatalkan keislaman adalah berpaling dari pokok agama yang dengan pokok-pokok itu seseorang menjadi muslim walaupun tidak tahu agama secara detail. (Al-Qaulul Mufid, karya Al-Wushabi, hal. 53)