Minggu, 08 Januari 2012

Kisah Romantis

Sa’id bin Al-Musayyib beliau termasuk orang tabi’in yang utama dan ulama dikalangan ta’biin. Khalifah Abdul malik bin Marwan mendatanginya untuk melamar putrinya, untuk dinikahkan dengan putranya yaitu Al-Walid. Akan tetapi sa’id menolak lamarannya.
Hingga dikatakan “mengapa engkau menolak lamaran khalifah? Apakah engkau seorang yang tertipu ? Mengapa engkau menolak khalifah yang sedang memegang tambuk kepemimpinan dan yang mengurus kaum muslimin di ujung timur dan barat?”
Benar, karena Sa’id bin Al Musayyib khawatir putrinya akan terkena fitnah kekuasaan dan kepemimpinannya.
Hari-haripun berlalu. Salah seorang murid Sa’id bin Al-Musayyib yang bernama Katsir Bin Abi Wada’ah berkata: ”dahulu aku selalu duduk belajar di majelis Sa’ad Bin Al Musayyib. Lalu dia merasakan ketidakhadiranku selama beberapa hari. Ketika aku menemuinya, beliau bertanya, “di mana saja kamu?” Aku menjawab , “istriku meninggal sehingga aku harus mengurusnya” Beliau berkata, “mengapa kamu tidak memberitahu kami sehingga kami bisa ikut mengurus jenazahnya?”
Kemudian beliau berkata “Apakah kamu sudah mendapatkan istri lagi?” Aku Menjawab: ”semoga Allah marahmatimu, siapa orangnya yang mau menikahkan aku, sedangkan aku tidak memiliki harta kecuali hanya sejumlah dua atau tiga dirham?” beliau menjawab:”Aku”. Aku bertanya: “Apakah engkau akan benar-benar melakukannya?” Beliau menjawab “benar.” Katsir berkata , “kemudian Sa’id bertahmid dan bershalawat atas nabi, beliau menikahkan putrinya kepadaku dengan mahar dua atau tiga dirham.”
Demikianlah seorang alim dari kalangan ulama Islam. Seorang khalifah melamar putrinya tetapi ia menolaknya. Kemudian ada salah satu muridnya yang miskin, tidak memiliki harta sama sekali kecuali hanya dua atau tiga dirham , beliau tawarkan putrinya dengan sekali tawaran.
Kemudian Katsir bin Abi Wada’ah melanjutkan: “ Aku pun bangkit dalam keadaan tidak tau apa yang akan kulakukan karena sangat bahagia. Aku kembali kerumahku. Aku berfikir kepada siapa aku akan berhutang. Aku menunaikan sholat magrib kemudian aku kembali ke rumahku. Pada hari itu aku sedang sendirian dengan berpuasa. Aku hidangkan makan malamku untuk berbuka, yaitu roti dan minyak zaitun. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahku. Aku bertanya “siapa?” orang yang mengetuk menjawab :”said”
Aku mengingat-ngingat siapa saja yang namanya sa’id kalau bukan Ibnul Musayyib, padahal beliau selama 40 tahun tidak pernah terlihat kecuali bolak-balik antara rumah dan masjidnya. Aku keluar dan ternyata benar sa’id bin Al Musayyib. Aku mengira bahwa sudah jelas baginya siapa orang lain yang lebih pantas untuk putrinya.
Aku katakan : “wahai Abu Muhammad (kunyah Sa’id bin Al Musayyib), mengapa engkau tidak mengirim utusan kepadaku lalu aku yang mendatagimu?” beliau menjawab :” tidak. Kamu lebih berhak untuk didatangi. Kamu pernah menjadi bujangan kemudian kamu menikah. Aku tidak suka kamu bermalam sendirian. Inilah istrimu”
Ternyata wanita itu sudah berdiri dibelakang Sa’id. Lalu Sa’id memegang tangan putrinya dan menyerahkan putrinya di depan pintu. Kemudian pintu ditutup dan perempuan itu terjatuh karena malu. Lalu aku pastikan pintu tertutup dan aku pindahkan piring pada bayang-bayang lampu agar tidak terlihat olehnya.
Aku masih mendiamkannya selama tiga hari, kemudian akupun mendekatinya. Ternyata ia adalah wanita paling cantik, orang yang paling hafal Al-Qur’an dan paling mengetahui sunnah Rasulullah dan paling mengetahui tentang hak-hak suami.

Majalah Akhwat halaman 74-76

Bolehnya Kencing Berdiri

Dari Abu Hurairah  bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
اتَّقُوا اللَّاعِنَيْنِ قَالُوا وَمَا اللَّاعِنَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ ظِلِّهِمْ
“Takutlah kalian terhadap perihal dua orang yang terlaknat.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah dua orang yang terlaknat itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang buang air di jalanan manusia atau tempat berteduhnya mereka.” (HR. Abu Daud no. 25)
Dari Jabir dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-:
أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِي الْمَاءِ الرَّاكِدِ
“Bahwa beliau melarang kencing pada air yang diam (tidak mengalir).” (HR. Muslim no. 281)
Dari Huzaifah -radhiallahu anhu- dia berkata:
كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْتَهَى إِلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا فَتَنَحَّيْتُ فَقَالَ ادْنُهْ فَدَنَوْتُ حَتَّى قُمْتُ عِنْدَ عَقِبَيْهِ فَتَوَضَّأَ فَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ
“Aku pernah berjalan bersama Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, saat kami sampai di tempat pembuangan sampah suatu kaum beliau kencing sambil berdiri, maka aku pun menjauh dari tempat tersebut. Akan tetapi beliau bersabda, “Mendekatlah,” aku pun menghampiri beliau hingga aku berdiri di belakang kedua tumitnya. Kemudian beliau berwudlu dengan mengusap di atas kedua khuf (sepatu) beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 225 dan Muslim no. 273)
Dari Al-Mughirah bin Syu’bah -radhiallahu anhu- dia berkata:
كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَقَالَ يَا مُغِيرَةُ خُذْ الْإِدَاوَةَ فَأَخَذْتُهَا فَانْطَلَقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى تَوَارَى عَنِّي فَقَضَى حَاجَتَهُ
“Aku pernah bersama Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam suatu perjalanan, lalu beliau bersabda, “Wahai Mughirah, ambilkan segayung air.” Aku lalu mengambil air untuk beliau, kemudian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pergi menjauh hingga tidak terlihat olehku, lalu beliau buang hajat.” (HR. Al-Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274)
Penjelasan ringkas:
Di antara pokok mendasar dalam syariat Islam adalah haramnya mengganggu dan menimpakan kemudharatan kepada kaum muslimin. Karenanya dalam adab buang air, Islam juga menuntunkan agar dalam pelaksanaannya jangan sampai mengganggu kaum muslimin, karena mengganggu kaum muslimin merupakan dosa yang besar. Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)
Di antara bentuk menyakiti kaum muslimin adalah membuang najis dan kotoran di tempat mereka biasa berjalan atau di tempat berteduh mereka atau di tempat air dimana mereka biasa mengambil air dari situ. Karenanya Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah mengharamkan buang air pada ketiga tempat tadi dan diikutkan kepadanya semua tempat yang bisa mengganggu kaum muslimin kalau seseorang buang air di situ.
Di antara adab dalam buang air adalah bahwa dalam buang air besar, seseorang diharuskan untuk bersembunyi dari orang lain, baik itu dengan cara menjauh ke tempat yang sunyi sampai tidak ada orang yang melihat -sebagaimana dalam hadits Al-Mughirah di atas, maupun dengan buang air di dalam wc atau di dalam rumah -sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar yang telah berlalu kami bawakan kemarin-.
Adapun dalam buang air kecil, maka tidak diharuskan seseorang itu untuk bersembunyi dan menjauh dari orang-orang akan tetapi dia boleh buang air di tempat terbuka. Yang dia lakukan cukup menjaga jangan sampai auratnya (kemaluan) tidak terlihat oleh orang lain walaupun tubuhnya terlihat oleh orang lain. Inilah yang disebutkan dalam hadits Huzaifah di atas, dimana beliau hanya menyuruh agar Huzaifah menjadi penghalang beliau dari belakang beliau. Dan tidak diragukan bahwa tubuh beliau tetap terlihat akan tetapi aurat beliau terjaga, dan ini bukanlah hal yang makruh.
Juga dibolehkan seseorang itu kencing berdiri -sebagaimana hadits Huzaifah di atas- dengan dua syarat:
1.    Auratnya tidak terlihat orang lain.
2.    Kencingnya tidak terpercik kembali mengenai tubuh dan pakaiannya.
Jika ini tidak terpenuhi maka dia wajib untuk kencing dalam keadaan duduk, dan memang inilah yang kebanyakannya beliau lakukan, yakni kencing dalam keadaan duduk. Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata:
مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبُولُ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوهُ مَا كَانَ يَبُولُ إِلَّا قَاعِدًا
“Barangsiapa yang menceritakan kepada kalian bahwa Nabi -shallahu ‘alaihi wasallam- buang air kecil sambil berdiri maka janganlah kalian percayai, karena beliau tidak pernah buang air kecil kecuali dengan duduk.” (HR. At-Tirmizi no. 12 dan An-Nasai no. 29)
Maka hadits ini menunjukkan bahwa di rumah Aisyah, Nabi tidak pernah kencing berdiri. Maka penafian Aisyah di sini hanya sebatas pengetahuan beliau, sementara Huzaifah telah menetapkan bahwa beliau kencing dalam keadaan berdiri. Pendapat bolehnya kencing berdiri merupakan pendapat sekelompok sahabat di antaranya: Umar, Huzaifah, Zaid bin Tsabit, Ali, Anas, Abu Hurairah, Ibnu Umar, dan Urwah.
Di antara perkara yang tersebut dalam hadits di atas adalah: Bolehnya minta diambilkan dan dibawakan air untuk buang air dan bolehnya mengusap sepatu dalam berwudhu dan tidak perlu mencuci kedua kaki. Wallahu a’lam

Amalan yang Menyelamatkan dari Adzab Kubur

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Sebab-sebab yang akan menyelamatkan seseorang dari adzab kubur terbagi menjadi dua:
1. Sebab-sebab secara global Yaitu dengan menjauhi seluruh sebab yang akan menjerumuskan ke dalam adzab kubur sebagaimana yang telah disebutkan.
Sebab yang paling bermanfaat adalah seorang hamba duduk beberapa saat sebelum tidur untuk mengevaluasi dirinya: apa yang telah dia lakukan, baik perkara yang merugikan maupun yang menguntungkan pada hari itu. Lalu dia senantiasa memperbarui taubatnya yang nasuha antara dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga dia tidur dalam keadaan bertaubat dan berkemauan keras untuk tidak mengulanginya bila nanti bangun dari tidurnya. Dia lakukan itu setiap malam. Maka, apabila dia mati (ketika tidurnya itu), dia mati di atas taubat. Apabila dia bangun, dia bangun tidur dalam keadaan siap untuk beramal dengan senang hati, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menunda ajalnya hingga dia menghadap Rabbnya dan berhasil mendapatkan segala sesuatu yang terluput. Tidak ada perkara yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba daripada taubat ini. Terlebih lagi bila dia berzikir setelah itu dan melakukan sunnah-sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dia hendak tidur sampai benar-benar tertidur. Maka, barangsiapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki kebaikan baginya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan berikan hidayah taufik untuk melakukan hal itu. Dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Sebab-sebab terperinci Di antaranya:
- Ribath (berjaga di pos perbatasan wilayah kaum muslimin) siang dan malam. Dari Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: كُلُّ مَيِّتٍ يُخْتَمُ عَلَى عَمَلِهِ إِلَّا الَّذِي مَاتَ مُرَابِطًا فِي سَبِيلِ اللهِ فَإِنَّهُ يُنْمَى لَهُ عَمَلُهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَيَأْمَنُ مِنْ فِتْنَةِ الْقَبْرِ “Setiap orang yang mati akan diakhiri/diputus amalannya, kecuali orang yang mati dalam keadaan ribath di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Amalannya akan dikembangkan sampai datang hari kiamat dan akan diselamatkan dari fitnah kubur.” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud)
- Mati syahid Dari Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: لِلشَّهِيدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دُفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ مِنَ الْفَزَعِ الْأَكْبَرِ، وَيُحَلَّى حُلَّةَ الْإِيمَانِ وَيُزَوَّجُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِينَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ “Orang yang mati syahid akan mendapatkan enam keutamaan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala: diampuni dosa-dosanya dari awal tertumpahkan darahnya, akan melihat calon tempat tinggalnya di surga, akan diselamatkan dari adzab kubur, diberi keamanan dari ketakutan yang sangat besar, diberi hiasan dengan hiasan iman, dinikahkan dengan bidadari, dan akan diberi kemampuan untuk memberi syafaat kepada 70 orang kerabatnya.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah.
Al-Albani berkata dalam Ahkamul Jana’iz bahwa sanadnya hasan)
- Mati pada malam Jumat atau siang harinya. Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يـَمُوتُ يَوْمَ الْـجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ “Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jumat atau malamnya, kecuali Allah akan melindunginya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad dan Al-Fasawi. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Ahkamul Jana’iz bahwa hadits ini dengan seluruh jalur-jalurnya hasan atau shahih)
- Membaca surat Al-Mulk Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: هِيَ الْمَانِعَةُ هِيَ الْمُنْجِيَةُ تُنْجِيهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ “Dia (surat Al-Mulk) adalah penghalang, dia adalah penyelamat yang akan menyelamatkan pembacanya dari adzab kubur.” (HR. At-Tirmidzi, lihat Ash-Shahihah no. 1140) [dinukil dari Ar-Ruh dengan sedikit perubahan]
- Doa sebagaimana yang telah lalu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari adzab kubur dan memerintahkan umatnya untuk berlindung darinya.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=812

7 Obat yang Tidak Boleh Diberikan pada Bayi dan Anak

7 Macam Obat yang Seharusnya Tidak Diberikan pada Bayi dan Anak-anak
Bayi dan anak-anak lebih banyak menghadapi risiko tinggi terhadap reaksi obat, sehingga memberikan obat baik melalui resep maupun obat-obatan bebas pada bayi adalah suatu hal yang harus disikapi dengan serius. (Bahkan, hingga bayi Anda menginjak usia 6 bulan, lakukan konsultasi pada dokter sebelum Anda memberikan obat-obatan apapun, selain asetaminofen dengan dosis khusus untuk bayi, yang boleh diberikan begitu bayi Anda berusia lebih dari tiga bulan.
Berikut ini adalah 7 jenis obat-obatan yang tidak boleh diberikan pada bayi dan anak-anak:
1. Aspirin
Jangan pernah memberikan aspirin atau obat-obatan lain yang mengandung aspirin pada bayi anda. Aspirin dapat membuat bayi rawan terkena Reye’s syndrome – sebuah sindroma yang jarang terjadi namun dapat menyebabkan terjadinya penyakit yang fatal. Jangan menganggap bahwa obat-obatan untuk anak-anak yang Anda temukan di apotek sudah bebas dari aspirin. Aspirin seringkali juga di sebut sebagai “salisilat” atau “acetylsalicylic acid.” Bacalah label obat dengan baik, dan ajukan pertanyaan pada dokter atau apoteker bila Anda tidak yakin apakah suatu produk bebas dari kandungan aspirin.
Obat Anti Mual
Jangan pernah memberikan obat anti mual (baik yang diresepkan maupun yang dijual secara bebas) pada bayi Anda kecuali dokter memberikan rekomendasi secara khusus. Kebanyakan gejala mual dan muntah pada anak tidak berlangsung lama, pada anak-anak dan bayi gejalan tersebut dapat ditangani tanpa obat-obatan tertentu. Sebagai tambahan, obat anti mual juga memiliki risijo dan dapat menyebabkan terjadinya komplikasi. (Bila bayi Anda muntah-muntah dan mulai mengalami dehidrasi, segera hubungi dokter Anda untuk minta nasihat apa yang harus Anda lakukan.)
Obat-obatan untuk Orang Dewasa
Memberikan obat yang diperuntukkan untuk orang dewasa dalam dosis yang lebih kecil adalah tindakan yang berbahaya. Bila dalam label obat tersebut tidak menunjukkan adanya dosis yang tepat untuk bayi seukuran anak Anda, jangan berikan obat tersebut pada bayi Anda.
Obat-obatan Apapun yang Diberikan Untuk Orang Lain Atau Untuk Alasan yang Berbeda
Obat-obatan dengan resep yang ditujukan untuk orang lain (seperti saudara kandung) atau untuk merawat penyakit yang berbeda akan tidak efektif atau bahkan berbahaya bila diberikan untuk bayi Anda. Berikan pada bayi Anda hanya obat-obatan yang memagn diresepkan untuk dirinya dalam kondisi yang spesifik.
Obat yang Sudah Kedaluarsa
Buang semua obat, baik obat resep maupun obat bebas sejenis, begitu obat-obatan tersebut kedaluarsa. Selain itu, buang juga obat-obat yang sudah berubah warna atau yang tabletnya sudah hancur—intinya buat semua obat-obatnya yang bentuknya sudah berubah sejak Anda membelinya. Setelah tanggal penggunaannya habis, obat-obat tersebut tidak lagi efektif dan dapat menjadi sangat berbahaya. Jangan buang obat-obatan lawas di lubang toilet, karena obat-obatan tersebut akan mengontaminasi air tanah dan pada akhirnya akan memengaruhi persediaan air minum Anda. Sebaiknya, bungkus dalam kotak atau tempat yang tidak dapat dibuka oleh anak-anak dan buang ke tempat sampah.
Dosis Asetaminofen Tambahan
Banyak obat-obat batuk dan pilek yang dijual secara bebas mengandung asetaminofen untuk membantu mengurangi demam dan rasa sakit, jadi hati-hatilah untuk tidak memberikan dosis asetaminofen tambahan pada bayi Anda. Bila Anda tidak yakin apa kandungan yang terdapat pada obat batuk dan pilek tertentu, tanyakan pada apoteker atau pada dokter anak Anda. Bila anak Anda telah meminum obat yang diresepkan oleh dokter, tanyakan dulu pada dokter anak Anda atau apoteker sebelum anda memberikan asetaminofen atau ibuprofen, untuk memastikan dosis tambahan tersebut boleh diberikan.
Obat yang Dapat Dikunyah
Tablet yang dapat dikunyah dapat menyebabkan bayi menghadapi bahaya tersedak. Bila bayi Anda telah makan makanan padat dan Anda ingin menggunakan tablet yang dapat dikunyah, sebaiknya Anda gerus dulu obat tersebut, lalu letakkan dalam sendok yang berisi makanan yang lembek, seperti yogurt atau saus apel. (Tentu saja, Anda harus memastikan bayi Anda memakan habis suapan dari sendok tersebut agar dosis yang diberikan bisa tepat).
Catatan Khusus
Dua jenis obat-obatan berikut ini tidaklah 100 persen dilarang, namun Anda harus berhati-hati dalam menimbang apakah Anda mau memberikan obat-obatan jenis ini pada bayi Anda.
Obat-obatan Herbal
Banyak obat-obat herbal (jamu) yang ringan dan aman, namun hanya karena obat-obatan ini terbuat dari sesuatu yang alami, atau dibuat dari tumbuh-tumbuhan, jangan menganggap bahwa obat-obatan jenis ini aman untuk bayi Anda. Produk-produk herbal dapat menyebabkan terjadinya reaksi alergi, kerusakan pada hati, dan meningkatnya tekanan darah. Dalam dosis tertentu, dan/atau bila dikombinasikan dengan obat-obatan yang salah, pemberian obat-obatan jenis ini dapat berakibat fatal. Konsultasikan dengan dokter anak Anda atau praktisi pengobatan alternatif yang Anda percaya sebelum memberikan obat-obatan herbal pada bayi Anda. Dan selalu beritahukan pada dokter Anda obat-obatan herbal apa yang dikonsumsi oleh bayi Anda sebelum ia memberikan resep obat.
Obat Batuk dan Pilek yang Dijual Bebas
Batuk akan membantu untuk membersihkan paru-paru bayi Anda, sehingga pemberian obat penekan batuk adalah sesuatu yang tdiak bermanfaat. Obat batuk dan pilek, termasuk juga dekongestan, tidak akan menyembuhkan bayi Anda. Yang dapat dilakukan oleh obat-obat tersebut hanyalah meredakan gejala yang mereka alami secara temporer. Dan obat-obatan tersebut mungkin dapat menyebabkan terjadinya efek samping yang tidak diinginkan, seperti gelisah dan mengantuk. Beberapa produk seperti ini juga cenderung tidak efektif, atau bahkan menyebabkan gejala awal yang telah terjadi malah semakin parah. Jadi bila bayi Anda tengah menderita selesma, pertama coba dulu pilihan-pilihan lain, seperti melembabkan ruangan dan memberikan lebih banyak ciaran. Lalu cobalah untuk berkonsultasi dengan dokter Anda sebelum Anda menyambar obat batuk atau pilek yang dijual secara bebas.
[sumber: http://www.sehatgroup.web.id/?p=715]
http://al-atsariyyah.com/7-obat-yang-tidak-boleh-diberikan-pada-bayi-dan-anak.html

Hadist lemah (Azan dan Iqomah di Telinga Bayi)

October 8th 2009 by Abu Muawiah
Sepanjang pemeriksaan kami, ada lima hadits yang menyebutkan masalah ini, berikut penjelasannya:
1. Hadits Abu Rafi’ Maula Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ
“Saya melihat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan bin ‘Ali -seperti azan shalat- tatkala beliau dilahirkan oleh Fathimah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (6/391-392), Ath-Thoyalisy (970), Abu Daud (5105), At-Tirmidzy (1514), Al-Baihaqy (9/305) dan dalam Asy-Syu’ab (8617, 8618), Ath-Thobrony (931, 2578) dan dalam Ad-Du’a` (2/944), Al-Hakim (3/179), Al-Bazzar (9/325), Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah (11/273), dan Ar-Ruyany dalam Al-Musnad (1/455). Semuanya dari jalan Sufyan Ats-Tsaury dari ‘Ashim bin ‘Ubaidillah bin ‘Ashim dari ‘Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari Abi Rafi’ -radhiyallahu ‘anhu-.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thobrany (926, 2579) tapi dari jalan Hammad bin Syu’aib dari ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari ‘Ali ibnul Husain dari Abi Rafi’ dengan lafadz:
أَنَّ النبي صلى الله عليه وسلم أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ رضي الله عنهما حِيْنَ وُلِدَا وَأَمَرَ بِهِ
“Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan dan Al-Husain -radhiyallahu ‘anhuma- tatkala keduanya lahir, dan beliau memerintahkan hal tersebut”.
Maka dari jalan ini kita bisa melihat bahwa Hammad bin Syu’aib menyelisihi Sufyan Ats-Tsaury dengan menambah dua lafadz; “dan Al-Husain” dan “beliau memerintahkan hal tersebut(1)”.
Akan tetapi jalan Hammad -termasuk kedua lafadz tambahannya- adalah mungkar, karena Hammad bin Syu’aib telah menyelisihi Sufyan padahal dia (Hammad) adalah seorang rowi yang sangat lemah. Yahya bin Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya (arab: laisa bisyay`in)”. Imam Al-Bukhary berkata dalam At-Tarikh Al-Kabir (3/25), “Hammad bin Syu’aib At-Taimy, Abu Syu’aib Al-Hummany …, ada kritikan padanya (arab: fiihi nazhor)(2)”. Al-Haitsamy berkata mengomentari riwayat ini dalam Majma’ Az-Zawa`id (4/60), “Ath-Thobrony meriwayatkannya dalam Al-Kabir sedang di dalamnya ada terdapat Hammad bin Syu’aib, dan dia adalah rowi yang sangat lemah”.(3)
Kita kembali ke jalan Sufyan Ats-Tsaury. Di dalamnya sanadnya ada ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dan dia juga adalah rowi yang sangat lemah. Imam Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata, “Mungkar haditsnya dan goncang haditsnya”. Imam Ahmad berkata dari Sufyan ibnu ‘Uyainah (beliau) berkata, “Saya melihat para masyaikh (guru-guru) menjauhi hadits ‘Ashim bin ‘Ubaidillah”. ‘Ali ibnul Madiny berkata, “Saya melihat ‘Abdurrahman bin Mahdy mengingkari dengan sangat keras hadits-hadits ‘Ashim bin ‘Ubaidillah”. Dan hadits ini adalah salah satu hadits yang diingkari atas ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, sebagaimana dalam Mizanul I’tidal (4/8). Lihat juga Al-Jarh wat Ta’dil (6/347) karya Ibnu Abi Hatim dan Al-Kamil (5/225).
Berkaca dari uraian di atas, kita tidak ragu untuk menghukumi hadits ini sebagai hadits yang sangat lemah (arab: dho’ifun Jiddan).
2. Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍ يَوْمَ وُلِدَ, فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى
“Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan bin ‘Ali pada hari beliau dilahirkan. Beliau mengumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman (8620) -dan beliau melemahkan hadits ini- dari jalan Al-Hasan bin ‘Amr bin Saif dari Al-Qosim bin Muthib dari Manshur bin Shofiyyah dari Abu Ma’bad dari Ibnu ‘Abbas.
Ini adalah hadits yang palsu. Imam Adz-Dzahaby berkata -memberikan biografi bagi Al-Hasan bin ‘Amr bin Saif di atas- dalam Al-Mizan (2/267), “Dia dianggap pendusta oleh Ibnu Ma’in, Imam Al-Bukhary berkata, “Dia adalah pendusta””.
3. Hadits Al-Husain bin ‘Ali -radhiyallahu ‘anhuma-.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ وُلِدَ لَهُ, فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى, لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Barangsiapa yang dikaruniai seorang anak, lalu dia mengumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya, maka Ummu Shibyan (jin yang mengganggu anak kecil) tidak akan membahayakan dirinya”.
Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Asy-Syu’ab (8619), Abu Ya’la (678), dan Ibnu As-Sunny dalam ‘Amalul Yaum (623) dari jalan Yahya ibnul ‘Ala` Ar-Rozy dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin ‘Abdillah dari Al-Husain bin ‘Ali.
Hadits ini bisa dihukumi sebagai hadits yang palsu karena adanya dua orang pendusta di dalamnya:
1. Yahya Ibnul ‘Ala`. Imam Al-Bukhary, An-Nasa`i, dan Ad-Daraquthny berkata, “Dia ditinggalkan (arab: matra ditinggalkan (arab: matruk)”. Imam Ahmad berkata, “Dia adalah pendusta, sering membuat hadits-hadits palsu”. Lihat Al-Mizan (7/206-207) karya Adz-Dzahaby dan Al-Kamil (7/198) karya Ibnu ‘Ady, dan mereka berdua menyebutkan hadits ini dalam jejeran hadits-hadits yang diingkari atas Yahya ibnul ‘Ala`.
2. Marwan bin Salim Al-Jazary. An-Nasa`i berkata, “Matrukul hadits”, Imam Ahmad, Al-Bukhary, dan selainnya berkata, “Mungkarul hadits”, dan Abu ‘Arubah Al-Harrony berkata, “Dia sering membuat hadits-hadits palsu”. Lihat Al-Mizan (6/397-399)
4. Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiyallahu ‘anhuma-.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا حِيْنَ وُلِدَا
“Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan dan Al-Husain -radhiyallahu ‘anhuma- tatkala mereka berdua dilahirkan”.
Diriwayatkan oleh Imam Tammam Ar-Rozy dalam Al-Fawa`id (1/147/333), dan di dalam sanadnya terdapat rowi yang bernama Al-Qosim bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Hafsh Al-’Umary. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Tidak ada apa-apanya, dia sering berdusta dan membuat hadits-hadits palsu”. Lihat Al-Kasyful Hatsits (1/210)
5. Hadits Ummul Fadhl bintul Harits Al-Hilaliyah -radhiyallahu ‘anha-.
Dalam hadits yang agak panjang, beliau bercerita bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda kepadanya ketika beliau sedang hamil:
فَإِذَا وَضَعْتِيْهِ فَأْتِنِي بِهِ. قَالَتْ: فَلَمَّا وَضَعْتُهُ, أَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى
“Jika kamu telah melahirkan maka bawalah bayimu kepadaku”. Dia berkata, “Maka ketika saya telah melahirkan, saya membawanya kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka beliau mengumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya …”.
Al-Haitsmy berkata dalam Al-Majma’ (5/187), “Diriwayatkan oleh Ath-Thobrany dalam Al-Ausath (4), dan di dalam sanadnya ada Ahmad bin Rosyid Al-Hilaly. Dia tertuduh telah memalsukan hadits ini”.
Sebagai kesimpulan kami katakan bahwa semua hadits-hadits yang menerangkan disyari’atkannya adzan di telinga kanan bayi yang baru lahir dan iqomah di telinga kirinya adalah hadits-hadits yang yang sangat lemah dan tidak boleh diamalkan, wallahu A’lam.
_________
(1) Maka riwayat ini menunjukkan wajibnya mengazankan bayi yang baru lahir, karena asal dalam perintah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah bermakna wajib.
(2) Ini termasuk jarh (kritikan) yang sangat keras tapi dengan penggunaan lafadz yang halus, dan ini adalah kebiasaan Imam Al-Bukhary -rahimahullah-. Imam Al-Bukhary menggunakan lafadz ini untuk rowi-rowi yang ditinggalkan haditsnya. Lihat Fathul Mughits (1/372)
(3) Lihat kritikan lain terhadapnya dalam Al-Kamil (2/242-243) karya Ibnu ‘Ady
(4) Al-Mu’jamul Ausath (9/102/9250)

Cara Menasehati Orang Yang Terang-Terangan Melakukan Kemaksiatan

Cara Menasehati Orang Yang Terang-Terangan Melakukan Kemaksiatan
Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sepucuk surat berasal dari Kuwait, dikirim oleh seseorang yang mengeluhkan saudaranya, ia menyebutkan bahwa saudaranya itu melakukan kemaksiatan dan telah sering dinasehati, tapi malah semakin terang-terangan. Pengirim surat mengharap bimbingan mengenai masalah ini.
Jawaban
Kewajiban sesama muslim adalah saling menasehati, saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya.” [Al-Ma'idah : 2]
Dan ayat,
“Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” [Al-'Ashr : l-3]
Serta sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia,
“Agama adalah nasehat.” Ditanyakan kepada beliau, “Kepada siapa ya Rasulullah?” beliau jawab, “Kepada Allah, kitabNya, RasulNya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin lainnya.”[1]
Kedua ayat dan hadits mulia ini menunjukkan wajibnya saling menasehati dan saling tolong menolong dalan kebaikan serta saling berwasiat dengan kebenaran. Jika seorang muslim melihat saudaranya tengah malas melaksanakan apa yang telah diwajibkan Allah atasnya, maka ia wajib menasehatinya dan mengajaknya kepada kebaikan serta mencegahnya dari kemungkaran sehingga masyarakatnya menjadi baik semua, lalu kebaikan akan tampak sementara keburukan akan sirna, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar.” [At-Taubah : 71]
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pun telah bersabda
“Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya, dan jika tidak bisa juga maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman.”[2]
Maka anda, penanya, selama anda menasehatinya dan mengarahkannya kepada kebaikan, namun ia malah semakin menampakkan kemaksiatan, maka hendaknya anda menjauhinya dan tidak lagi bergaul dengannya. Di samping itu, hendaknya anda mendorong orang lain yang lebih berpengaruh dan lebih dihormati oleh orang tersebut, untuk turut menasehatinya dan mengajaknya ke jalan Allah. Mudah-mudahan dengan begitu Allah memberikan manfaat. Jika anda mendapati bahwa penjauhan anda itu malah semakin memperburuk dan anda memandang bahwa tetap menjalin hubungan dengannya itu lebih bermanfaat baginya untuk perkara agamanya, atau lebih sedikit keburukannya, maka jangan anda jauhi, karena penjauhan ini dimaksudkan sebagai terapi, yaitu sebagai obatnya. Tapi jika itu tidak berguna dan malah semakin memperparah penyakitnya, maka hendaknya anda melakukan yang lebih maslahat, yaitu tetap berhubungan dengannya dan terus menerus menasehatinya, mengajaknya kepada kebaikan dan mencegahnya dari keburukan, tapi tidak menjadikannya sebagai kawan atau teman dekat. Mudah-mudahan Allah memberikan manfaat dengan itu. Inilah cara yang paling baik dalam kasus semacam ini yang berasal dari ucapan para ahli ilmu.

Footnotes
[1]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab Al-Iman (55). Al-Bukhari mengomentarinya pada kitab Al-Iman.
[2]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab Al-Iman (49).

Kisah Kelompok khawarij

Mungkin banyak orang yang tidak percaya, seperti yang diberitakan di televisi-televisi, mereka yang tertuduh melakukan aksi terorisme bom bunuh diri, diceritakan masa lalu mereka bahwa mereka orangnya baik, pendiam, taat beribadah, inilah sifat dasar khawarij
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menjelaskan: Mereka (khawarij) adalah orang yang sangat sederhana, pakaian mereka sampai terlihat serat‑seratnya karena cuma satu dan sering dicuci, muka mereka pucat karena jarang tidur malam, jidat mereka hitam karena lama dalam sujud, tangan dan kaki mereka ‘kapalan’. Mereka disebut quro’ karena bacaan Al-Qur’annya bagus dan lama. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri membandingkan ibadah orang‑orang Khawarij dengan sahabat yang lainnya, termasuk Umar bin Khattab, masih tidak ada apa‑apanya, apalagi kalau dibandingkan dengan kita. Ini menunjukkan betapa sangat berlebih‑lebihannya ibadah mereka.
Dalam hadits Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Sesungguhnya dari keturunan ini ada kaum yang membaca Al-Qur’an yang tidak sampai kecuali pada kerongkongan, mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala, mereka keluar dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya, jika saya menjumpai mereka pasti akan saya bunuh mereka seperti membunuh kaum Aad.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah bercerita: Saya pernah bertemu mereka serta berdialog hingga tiga kali.
Pertemuan pertama : Berlangsung dari Ashar hingga Magrib, dan ketika tiba waktu shalat magrib mereka menyingkir tidak mau shalat bersama kami karena mereka menganggap kita kafir.
Pertemuan kedua : Berlangsung dari Magrib hingga jam 11 malam, akan tetapi nampak mulai terdapat tanda-tanda kebaikan pada mereka, ketika mereka memajukan saya menjadi Imam dan mereka shalat di belakang saya.
Pertemuan ketiga dan ini yang terakhir : Berlangsung dari Magrib hingga Subuh, hanya saja akhir pertemuan ini ditutup dengan kebaikan, dimana mereka bertaubat kembali kepada Allah.
Dan saya telah mengetahui perilaku mereka yang sangat menakjubkan sekali yang bertentangan yaitu : mereka baik, semangat untuk taat dan ibadah, melaksanakan shalat malam …dst.
Akan tetapi akidah mereka rusak dan tidak memberi faedah, dan merekapun tahu saat itu bagaimana penyimpangan mereka dan mereka mengetahui hidayah kepada akidah yang benar lantaran MANHAJ SALAF yang shahih.

Dari kitab al-As-ilah asy-Syaamiyah hal 108-109.
(Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 44 hal. 18)

Maksud Hadist “Wanita Kurang Akal dan Agamanya”

“Wanita itu kurang akal dan agamanya.”
Sehingga dengan itu ada sebagian lelaki menjadikannya sebagai cercaan terhadap wanita. Sebenarnya ada makna hadits tersebut?
Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah ibnu Baz rahimahullah menjawab, “Makna hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Aku tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya paling bisa mengalahkan akal lelaki yang kokoh daripada salah seorang kalian (kaum wanita).” Maka ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa maksudnya kurang akalnya wanita?” Beliau menjawab, “Bukankah persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian seorang lelaki?” Ditanyakan lagi, “Ya Rasulullah, apa maksudnya wanita kurang agamanya?” “Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa?” jawab beliau.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan kurangnya akal wanita dari sisi lemahnya ingatan/hapalannya. Persaksiannya baru diterima bila disertai persaksian wanita yang lainnya, guna memperkuat/mengokohkan persaksian yang ada. Karena bila si wanita bersendirian dalam memberikan persaksian terkadang ia lupa sehingga ia menambah ataupun mengurangi dalam persaksian tersebut. Sebagaimana Allah berfirman:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari kaum lelaki di antara kalian. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridhai, supaya jika salah seorang dari wanita itu lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya.” (Al-Baqarah: 282)
Adapun kurangnya agama si wanita karena saat ia haid dan nifas, ia harus meninggalkan shalat dan puasa, tanpa tuntutan mengqadha shalat yang ditinggalkan. Ini sisi kurangnya agamanya. Akan tetapi kekurangan ini bukan celaan baginya dan ia tidak berdosa karenanya. Karena kekurangan tersebut didapatkannya dengan ketentuan syariat Allah k. Allah k lah yang mensyariatkan hal tersebut kepada kaum wanita sebagai kasih sayang/kelembutan terhadapnya dan kemudahan baginya. Karena bila si wanita puasa dalam keadaan ia haid atau nifas, niscaya akan memadaratkannya. Maka termasuk rahmat Allah, Dia mensyariatkan kepada wanita untuk tidak berpuasa saat haid dan nifas. Sebagai gantinya, ia mengqadha di waktu yang lain setelah suci.
Untuk shalat yang harus ditinggalkannya saat haid dan nifas, karena ketika dalam keadaan haid si wanita mendapati pada dirinya sesuatu yang mencegahnya dari thaharah/bersuci. Maka termasuk rahmat Allah k, Dia mensyariatkan si wanita untuk meninggalkan shalat. Demikian pula saat nifas. Kemudian Allah mensyariatkan shalat yang ditinggalkan tersebut tidak diqadha, karena kalau ada qadha niscaya akan memberikan keberatan yang besar. Di mana pengerjaan shalat fardhu akan berulang dalam sehari semalam sebanyak lima kali. Sedangkan haid terkadang waktunya lama/beberapa hari, bisa 7 hari atau 8 hari atau bahkan lebih. Nifas lebih lama lagi, kadang sampai 40 hari. Maka termasuk rahmat Allah kepada si wanita dan kebaikan Allah kepadanya, Dia gugurkan penunaian shalat baginya dan gugur pula qadha shalat tersebut.
Yang perlu diingat, tidak mesti wanita itu kurang akalnya dalam segala hal. Demikian pula tidak mesti agamanya kurang dalam segala hal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menerangkan kurangnya akal wanita dari sisi kurangnya ingatannya dalam memberikan persaksian. Dalam hal kurangnya agama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutkan dari sisi ia meninggalkan shalat dan puasa di saat haid dan nifas. Sehingga kekurangan tersebut tidak mesti menjadikan si wanita berada di bawah lelaki (kurang dari lelaki) dalam segala hal dan tidak mesti lelaki lebih utama dari si wanita dalam segala hal. Memang dari sisi jenis, secara umum kaum lelaki lebih utama dari kaum wanita karena sebab yang banyak. Sebagaimana Allah berfirman:
“Kaum lelaki adalah pemimpin atas kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa’: 34)
Akan tetapi terkadang wanita melampaui lelaki pada beberapa keadaan, dalam banyak perkara. Ada wanita yang akal, agama dan kekokohan hapalannya melebihi banyak lelaki. Yang datang beritanya dari Nabi n hanyalah penyataan bahwa jenis wanita berada di bawah jenis lelaki dalam hal akal dan agama dari dua sisi yang telah diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Terkadang ada wanita yang memiliki banyak amal shalih sehingga ia melampui banyak lelaki dalam amal shalihnya tersebut dan dalam ketakwaannya kepada Allah k. Demikian pula dalam hal kedudukannya di akhirat kelak. Terkadang ada wanita yang memiliki perhatian terhadap sebagian perkara lalu ia menghapal/mengingatnya dengan kuat, lebih kuat dari ingatan/hapalan sebagian lelaki dalam banyak permasalahan yang diperhatikan si wanita dan ia bersungguh-sungguh dalam menghapal dan mengingatnya. Jadilah si wanita sebagai rujukan dalam sejarah Islam dan dalam banyak hal. Hal ini tampak jelas bagi orang yang memperhatikan keadaan para wanita di masa Nabi n dan setelahnya. Dengan demikian, diketahuilah bahwa kekurangan yang ada tidaklah menjadi penghalang untuk menjadikan wanita sebagai sandaran dalam periwayatan. Demikian pula dalam persaksian bila ia disertai dengan wanita lainnya. Kekurangan tersebut tidak pula menghalangi si wanita untuk bertakwa kepada Allah dan menjadi sebaik-baik hamba Allah, bila ia tetap istiqamah dalam agamanya. Walaupun gugur darinya kewajiban puasa saat haid dan nifas, namun tidak gugur kewajiban mengqadha. Sekalipun gugur darinya kewajiban penunaian shalat saat haid dan nifas berikut qadhanya. Semua ini tidaklah mengharuskan si wanita dianggap kurang dalam segala hal, dari sisi ketakwaannya kepada Allah, dari sisi penunaiannya terhadap perintah Allah dan dari sisi ingatannya terhadap perkara yang mendapatkan perhatiannya. Ia kurang, khusus dalam akal dan agama sebagaimana yang diterangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karena itu, tidak sepantasnya seorang mukmin melemparkan tuduhan bahwa si wanita punya kekurangan dalam segala hal dan lemah agamanya dalam segala perkara. Lemahnya dia dalam agama hanya dalam perkara khusus. Lemahnya dia dalam hal akal juga hanya sebatas perkara yang berkaitan dengan ingatan saat memberi persaksian dan semisalnya. Maka permasalahan ini harus dijelaskan dan ucapan Nabi n harus dibawa kepada maknanya yang paling baik dan paling bagus. Wallahu ta’ala a’lam. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 4/292-294)
Sumber: http://www.asysyariah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=21:maksud-kurang-akal-dan-agama&catid=13:fatawa

Sekelumit Kisah Pencekalan Syaikh Albani Rahimahullah

Dalam sebuah kaset ceramah milik Syaikh Abu Ishaq Al Huwainy yang berjudul “Ainal Ulama Ar Rabbaniyun?”, beliau menceritakan tentang ujian yang pernah menimpa guru beliau Syaikh Albani rahimahullah.Inilah cerita beliau :
Para ulama Rabbani dalam mengubah masyarakat itu sungguh berat, karena mereka memiliki dua tanggung jawab besar, yakni :
* (1) Membersihkan khurafat yang tertanam di jiwa-jiwa manusia dan
* (2) Menancapkan Islam yag shahih pada jiwa mereka.
Dan tatkala para Alim Rabbani memikul tanggung jawab yang berat sekali itu, merekapun juga diuji oleh berbagai tuduhan yang disebabkan dari pemelintiran ucapan mereka serta penyebaran berbagai berita dusta. Hampir-hampir tidak selamat seorangpun dari Alim Rabbani dari hal seperti ini sebagaimana dicatat dalam sejarah.
Cukup sebagai contoh adalah Syaikh Nashiruddin Al Albani, seorang ahli hadist abad ini rahimahullah ta’ala.
Syaikh Albani adalah orang yang sangat banyak sekali dinisbatkan kedustaan padanya, padahal tidak pernah beliau katakan. Karena sebab kedustaan-kedustaan itulah beliau pernah dicekal di sejumlah negara. Maka tidaklah engkau lihat beliau memiliki suatu negeri ataupun tempat tinggal. Hidup beliau diakhir masa hidupnya sengsara sekali. Seorang alim semisal beliau terpaksa mengungsi. Karena beliau berpendapat haramnya safar ke negeri kafir, maka beliau tidak pergi ke Amerika atau Perancis atau yang lainnya. Dan kalau tidak berpendapat demikian, mungkin beliau akan mendapatkan kebebasan besar dinegara-negara tersebut.
Selama 6 bulan terkatung-katung nasibnya di perbatasan UEA! Beliau dilarang masuk kesana! Juga dilarang memasuki Kuwait! Dan juga memasuki Saudi! Dilarang memasuki Suriyah….. Lantas bagaimana beliau akan tinggal?
Dan tidaklah beliau bisa tinggal di Yordania saat itu kecuali dengan tazkiyah (rekomendasi) khusus dari salah seorang murid beliau, yakni Syaikh Muhammad bin Ibrahim Syaqrah, wakil kementrian waqaf sekaligus Imam Masjid Dar Ash Shofwah.
Syaikh Ibrahim Syaqrah ini kemudian menemui Raja Husain secara pribadi memintanya membolehkan Syaikh Nashiruddin Al Albani tinggal di negeri Yordan. Itupun dengan kesepakatan agar beliau tidak ditemui seorangpun saat itu. Dan juga mereka kemudian memaksa menulis di pintu rumah (vila) Syaikh Albani dengan tulisan “Dilarang didatangi lebih dari dua orang!”. Jika ingin berjumpa harus melalui perjanjian melalui telepon.
Dan dihari-hari pertama mereka sangat mempersempit sekali kepada Syaikh Albani, akan tetapi dihari-hari belakangan mereka melupakannya hingga tidak ketat lagi dengan aturan-aturan ini.
Tatkala aku menemui Syaikh Albani di kota Amman, beliau mengundang sejumlah relasi untuk makan dan kebetulan aku disana.Kami saat itu berjumlah 25 orang, dan kukatakan pada Syaikh: ”Wahai Syaikh, bukankah ada semacam banner peringatan bahwa dilarang masuk lebih dari dua orang?”. Syaikh Albani berkata dengan cepat: Mereka masuk dua orang dua orang saja!
Beliau yang Alim ini tidak mendapatkan baginya tempat yang nyaman. Sebelumnya mereka pun melarang durus beliau di Masjib Umar di Zurqa, hingga beliau tidak memiliki tempat untuk memberi pelajaran kepada thalabul ilmi kecuali dirumah salah seorang mereka setelah sholat isya.
Saat diselenggarakan Mu’tamar Assunnah dan Sirah Nabawiyah di Mesir, mereka tidak mengundang Syaikh Nashiruddin Albani, padahal beliau lah orang paling besar saat itu jasa nya kepada kaum muslimin di abad ini bagi sunnah dan sirah nabawiyah. Dan mereka tidak mengundang Syaikh Albani misalnya dengan mengaakan: ”Kemarilah akan kami muliakan engkau”, tidak ada salah satu anggota pertemuan itu yang berbicara demikian.
Adalah semisal mereka para ulama Rabbani ini, lihatlah muamalah kepada mereka! Bagaimana mungkin kaum muslimin bisa mendapatkan manfaat dengan ilmu mereka sedang mereka diusir diberbagai negeri.!?. Bahkan yang lebih aneh lagi, sejumlah kitab-kitab ulama diberbagai perpustakaan di larang, buku Tahdzir As Sajid, buku Hurmatut Tashwir, karya Syaikh Albani dan Syaikh Bin Baz dan sejumlah ulama, Tahqiq Syarh Ath Thahawiyah, mengapa wahai saudara-saudara kami? Mereka mengatakan bahwa ini kitab terlarang, Al Azhar telah memutuskan bahwa kitab-kitab tersebut terlarang! Bagaimana bisa terlarang? Apakah karena karya dan peneliian dari Albani? Beginikah bermuamalah dengan ulama-ulama Rabbani ?
Sumber Kaset :Aina Al Ulama Ar Rabbaniyun menit ke 01:06:00 sampai 01:11:10 (Transkrip didapat dari http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=9266 )
http://www.direktori-islam.com/2009/08/sekelumit-kisah-pencekalan-syaikh-albani/

Mutiara Salafus Shalih:
Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu ia berkata :
“Ketahuilah hendaknya jangan satupun dari kalian bertaqlid kepada siapapun dalam perkara agamamu sehingga (bila) ia beriman ikut beriman bila ia kafir ikut pula menjadi kafir. Maka jika kamu tetap ingin berteladan maka ambillah contoh dari yang telah mati sebab yang masih hidup tidak aman dari fitnah.” (Al Lalikai 1/93 nomor 130 dan Al Haitsamy dalam Al Majma’ 1/180)
Dari Yunus bin Zaid dari Az Zuhri ia berkata :
“Ulama kami yang terdahulu (salaf) selalu mengingatkan bahwa berpegang teguh dengan As Sunnah itu adalah keselamatan dan ilmu akan tercabut dengan segera maka tegaknya ilmu adalah kekokohan agama dan dunia sedang dengan hilangnya ilmu hilang pula semuanya.” (Ad Darimy 1/58 nomor 16)

Perselisihan Mengenai Arah Kiblat

Tanya:
Ada sesuatu yang masih meragukan ana dan teman2 di kantor. Selama ini tempat shalat di kantor itu kiblatnya menghadap ke barat atau seperti umumnya kiblatnya masjid2 di sekitar kantor. Namun, kemarin ada seorang bos yang mempermasalahkan arah itu karena menurutnya kurang tepat arahnya, dia pun menggunakan kompas untuk menentukan arah kiblat. Walhasil, arah kiblat diubah menjadi serong ke kanan dg sudut 30drjt, setelah menggunakan itung2an matematis sudut derajat. Ada sedikit kericuhan, sebagian tidak mau shalat di situ lagi, sebagian masih shalat di situ tetapi menghadap ke arah kiblat (yang lama). Bagaimana seharusnya kami menyikapi hal ini ustadz? Apakah kami harus mengikuti arah yang dibuat bos itu berdasarkan kompas atau kami shalat seperti biasa dg arah kiblat yang semula? Bukankah kita tidak diwajibkan menggunakan kompas atau alat2 canggih untuk menentukan arah kiblat?
Atas jawabannya kami ucapkan jazakallahu khairan katsiro
Abu maulid, Pondok Gede
antobahasa@yahoo.com
Jawab:
Para ulama menyebutkan bahwa orang yang menghadap ke kiblat tidak lepas dari dua keadaan:
1. Orang yang melihat Ka’bah secara langsung, maka diwajibkan atas orang ini untuk mengarah tepat ke arah ka’bah, tidak boleh melenceng darinya walaupun sedikit. Ini adalah hal yang disepakati oleh kaum muslimin.
2. Adapun jika dia tidak melihat ka’bah secara langsung, maka dia diperbolehkan untuk hanya menghadap ke arah dimana ka’bah berada, walaupun tidak tepat mengarah ke ka’bah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi r:
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
“Apa yang ada di antara timur dan barat adalah kiblat.” (HR. At-Tirmizi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Ini bagi yang kiblatnya di utara atau selatan. Adapun bagi yang kiblatnya di timur atau barat (seperti Indonesia), maka semua arah antara utara dan selatan adalah kiblat.
Lihat Ar-Raudhah An-Nadiah (1/258-259)
Maka berdasarkan keterangan di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa permasalahan yang disebutkan oleh penanya bukanlah masalah yang perlu untuk dibesar-besarkan apalagi sampai melahirkan perpecahan, akan tetapi hendaknya kedua belah pihak bias lapang dada menerima perbedaan. Karena barangsiapa yang mengikuti bosnya karena ingin tepat menghadap ke ka’bah maka itu tidak mengapa -walaupun telah kita terangkan bahwa itu tidak wajib-, dan siapa yang sekedar menghadap ke arah ka’bah (barat) juga tidak mengapa berdasarkan hadits di atas. Walapun sepantasnya salah satu dari kedua belah pihak hendaknya ada yang mengalah agar jamaah shalat di tempat tersebut bias bersatu. Apalagi para ulama mengharamkan pembentukan jamaah kedua jika pendorongnya adalah hawa nafsu dan fanatisme golongan, wallahu a’lam.
http://al-atsariyyah.com/?p=168

Mutiara Hikmah Dari Muhammad bin Al Hanafiyah

Mutiara Hikmah Dari Muhammad bin Al Hanafiyah
Oleh : Al Ustadz Muhammad Umar As Sewwed
Al Hafidh Ibnu Katsir berkata : Ketika penduduk Madinah kembali dari tempat Khalifah Yazid bin Muawiyah, ‘Abdullah bin Muthi’ dan teman-temannya berangkat menemui Muhammad bin Al Hanafiyah. Mereka menginginkan agar ia mau memberikan dukungan untuk mencopot Yazid dari kekhalifahan, namun ia menolaknya.
Ibnu Muthi’ berkata : “Sesungguhnya Yazid itu senang meminum khamr (minuman keras), meninggalkan shalat dan melampaui batas hukum-hukum yang ditetapkan oleh Al Kitab (Al Qur’an).”
Mendengar hal ini Muhammad bin Al Hanafiyah berkata : “Aku tidak melihat bukti yang kalian sebutkan itu, bahkan aku pernah mendatanginya dan tinggal bersamanya, dan saya melihat ia begitu tekun menegakkan shalat, cenderung kepada kebaikan, selalu bertanya tentang fiqh dan komitmen terhadap Sunnah.”
“Itu hanya kepura-puraannya di depanmu”, jawab mereka.
Muhammad berkata pula : “Apa yang mesti ia takutkan atau ia harapkan dari saya sehingga ia harus mempertontonkan sikap khusyu’-nya kepada saya?” (Dalam riwayat lain, beliau berkata : “Mengapa ia berpura-pura terhadapku dan tidak berpura-pura terhadap kalian?”)
Beliau berkata lagi : “Apakah ia memperlihatkan kepada kalian bahwa ia minum khamr? Jika demikian berarti kalian adalah sekutu-sekutunya. Kalau tidak, bagaimana kalian mempersaksikan sesuatu yang tidak kalian lihat!”
Mereka membantah dengan mengatakan : “Tapi, sungguh hal ini benar-benar terjadi meskipun kami tidak melihatnya dengan mata kepala kami sendiri.”
“Allah menolak kesaksian orang-orang yang tidak mengetahui kasus yang dia ungkapkan. Oleh karena itu Allah berfirman mengenai orang-orang yang diterima persaksiannya, sebagai berikut :
“Kecuali mereka yang bersaksi dengan yang haq dan mereka mengetahui.”
“Maka saya tidak ikut campur dengan urusan kalian sedikitpun,” kata Muhammad bin Al Hanafiyah.
Mereka berkata lagi : “Barangkali Anda tidak senang ada orang lain yang menjadi penguasa, kalau begitu kami mengangkat Anda sebagai pemimpin kami.”
Beliau rahimahullah berkata : “Saya tidak pernah menganggap halal memerangi orang yang kalian inginkan dari saya, baik sebagai pengikut maupun sebagai yang diikuti (pemimpin).”
“Bukankah Anda pernah ikut berperang dengan ayahmu, Ali bin Abi Thalib (yakni dalam perang Shiffin)?” Tukas mereka.
Beliau berkata : “Datangkanlah orang yang seperti ayahku! Aku akan berperang bersamanya atas dasar pegangan ayahku.”
“Kalau begitu, perintahkanlah kepada kedua anakmu Abul Qasim dan Al Qasim untuk berperang bersama kami!” Kata mereka.
Kalau aku memerintahkan keduanya, tentu aku berperang juga,” kata Muhammad bin Al Hanafiyah.
“Jika begitu, marilah berdiri bersama kami di satu tempat untuk mendorong manusia berperang bersama kami,” kata mereka lagi.
“Maha Suci Allah! Apakah aku harus memerintahkan manusia dengan sesuatu yang tidak aku lakukan dan tidak pula aku ridhai? Kalau demikian halnya, aku bukan orang yang memberi nasehat karena Allah kepada hamba-hambaNya,” jawab Muhammad bin Al Hanafiyah.
Mendengar hal ini mereka berkata : “Kalau begitu kami akan membencimu.”
Muhammad berkata : “Jika demikian, aku hanya akan memerintahkan manusia untuk bertakwa kepada Allah. Jangan mereka mencari keridhaan makhluk dengan seuatu yang mendatangkan murka Allah.”
Setelah kejadian itu, Muhammad bin Al Hanafiyah keluar menuju Mekkah. Demikian yang diterangkan oleh Ibnu Katsir melalui nukilan Syaikh Abdus Salam bin Barjis Ali Abdul Karim dalam bukunya Mu’amalatul Hukkam hal. 18 – 20.
Hikmah Muhammad Ibnul Hanafiyah
Simaklah ucapan Imam Muhammad Ibnul Hanafiyah rahimahullah yang setiap kalimatnya merupakan mutiara-mutiara yang berkilauan. Beliau menjawab ajakan Khawarij untuk memberontak kepada Yazid bin Muawiyah yang memang bukan orang shalih, bahkan dikenal fasiq dan dhalim, tapi dia masih sebagai penguasa Muslim. Ia menjawab dengan apa adanya sebagai pendidikan bagi mereka yaitu : “Saya tidak melihat bukti yang kalian sebutkan.” Pada kenyataanya memang ia tidak berdusta dan memang beliau tidak melihatnya.
Bisa diduga bahwa mereka akan berkata : “Yazid hanyalah berpura-pura terhadapmu.” Memang ucapan inilah yang ditunggu, yang dibangun atasnya pertanyaan hikmah : “Mengapa ia berpura-pura terhadapku dan tidak berpura-pura terhadap kalian?”
Jawabannya terlalu jelas yaitu karena keshalihan Muhammad bin Al Hanafiyah dan ketakwaanya hingga manusia malu dan takut untuk berbuat maksiat di hadapannya, termasuk Yazid bin Muawiyah. Namun bukan jawaban tersebut yang diharapkan oleh Muhammad bin Al Hanafiyah. Beliau terlalu mulia untuk minta dipuji. Tetapi sekali lagi ini adalah pertanyaan hikmah yang tujuannya adalah nasehat kepada mereka. Kalau mereka para pemberontak tersebut adalah orang-orang shalih seperti Muhammad Ibnul Hanafiyah, tentu Yazid akan menampakkan kebaikan-kebaikan dan sunnah-sunnah pada mereka. Sebagaimana Yazid menampakkan yang demikian kepada Muhammad bin Al Hanafiyah. Sebaliknya, jika Yazid menampakkan kemaksiatannya dan kefasiqannya kepada mereka, maka ini adalah tanda-tanda kalau mereka adalah orang yang sejenis.
Oleh karena itu, sebelum dijawab pertanyaan hikmah itu oleh Khawarij, beliau sudah memberikan pilihan : “Kalau ia menampakkan kefasiqannya kepada kalian, berarti kalian adalah sekutu-sekutunya. Kalau tidak, bagaimana kalian mempersaksikan sesuatu yang tidak kalian ketahui?”
Sungguh suatu ucapan yang tepat dan mematikan. Mereka tidak bisa lepas dari dua kemungkinan ini.
Inilah hikmah yang mengajak kepada reformasi rakyat dalam bidang ilmu, akidah, dan keimanan yang secara otomatis akan mempengaruhi penguasanya.
Setelah terpojok, mereka melontarkan syubhat baru : “Bukankah engkau pernah berperang bersama ayahmu?”
Maka Muhammad Ibnul Hanafiyah kembali merangkai untaian mutiaranya : “Datangkanlah orang yang seperti ayahku! Aku akan berperang atas dasar yang menyebabkan ayahku berperang.”
Apakah ada di masa itu orang yang seperti Ali bin Abi Thalib keilmuannya, keimanannya, keshalihannya, dan kedudukannya di sisi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam?
Kalaupun ada orang yang seperti beliau, masih ada syarat berikutnya, yaitu penggalan kalimat berikutnya : “Aku akan berperang atas dasar yang menyebabkan ayahku berperang.” Yakni kalau didatangkan seseorang yang seperti ayahnya, maka dasar berperangnya pun harus sama, yaitu memerangi bughat atau orang-orang yang menentang khalifah yang sah dan telah dibaiat.
Maka justru Khawarij-lah yang pantas dan harus diperangi. Namun tidak ada orang yang seperti ayahnya. Dan Yazid bukanlah Ali bin Abi Thalib.
Maka berangkatlah Muhammad Ibnul Hanafiyah ke Mekkah, untuk menghindari fitnah.
Wallahu A’lam.
http://al-hujjah.comli.com/hikmah_muhammad_bin_al_hanafiyah.html

Hukuman Bagi Para Pelaku dan Penyebar Pornografi

Tema : Seseorang yang mendengar berita fakhisyah kemudian menyebarkannya
Kitab ; Adabul Mufrad, Karya Imam Bukhari
Disampaikan Oleh Al-Ustadz Muhammad Afifudin As-Sidawy
Di Masjid Abu Bakr Ash-Shiddiq, Surabaya.
Hadits 324. Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata :
“Seseorang yang melakukan tindakan fakhisyah (keji: zina, homoseksual dan semisalnya) dan seseorang yang menyebarkan berita fakhisyah tersebut, dosanya sama”.
Faedah :
1. Prinsip Islam terkait orang yang terjatuh pada tindakan fakhisyah (dosa besar, zina dan semisalnya) ialah dia diharuskan untuk menutupi aibnya, jangan disebarluaskan pada orang lain. Selama tindakan tersebut rahasia, tidak ada yang mengetahuinya, maka hendaklah diam dan jangan disebarkan, orang yang mengetahuinya maka hendaknya juga diam. hal ini sesuai dengan hadits riwayat Bukhari dan Muslim : “Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat”.
Bagi pelakunya diharuskan taubat kepada Allah tidak mengulanginya dan diganti dengan amal shalih yang banyak. Bagi pihak yang melihatnya maka berkewajiban untuk menutupi aib tersebut dan berkewajiban menasehatinya secara empat mata. Namun, jika berita tersebut tersebar hingga sampai ke Penguasa, maka tidak ada ampun dan ditegakkan hukum Had, tidak bisa adanya syafa’at (dalam bentuk naik banding, memberikan negoisasi pembelaan dengan pemerintah).
2. Seseorang yang menyebarluaskan tindakan fakhsiyah maka dosanya sama dengan pelakunya, karena di dalamnya ada unsur ta’awun penyebaran fakhisyah, di dalamnya ada unsur keridhoan, maka dosanya sama.
Hal ini terbiasa terjadi pada masa kini, misalnya : Pornografi yang ada dalam sebuah handphone yang biasanya disebarkan melalui internet, maka dosanya orang yang mengakses dan pelaku adalah sama. Adanya penyebaran fakhsiyah melalui transfer via bluetooh, maka dosanya sama. Penyebaran melalui tabloid, dan semisalnya. Lebih parah lagi, apabila penyebaran fakhisyah ini dilakukan oleh suami istri. Mereka berhubungan di malam hari, kemudian di ceritakan pada pagi harinya kepada orang lain, maka ini diumpamakan oleh Rasulullah seperti bertemunya syaithan laki-laki dan syaitan perempuan yang berhubungan di tengah jalan dan disaksikan banyak orang. Dan lebih parah lagi ialah pelaku fakhsiyah sekaligus sebagai penyebar tindakan fakhsiyah. Maka mereka tidak punya malu lagi, mereka ialah hewan-hewan berbadan manusia.
Hadits 325. Dari Syubail ibnu Auf berkata, : “Dahulu dikatakan : barangsiapa yang mendengarkan tindakan fakhsiyah kemudian ia sebarkan, maka dia sebagaimana orang yang mengerjkaannya dengan terang-terangan”
Hadits 326. Dari Atha’ bin Abi Rabbah, beliau punya pendapat an-nakaal (hukuman) atas orang yang menyebarkan perzinaan, dikarenakan ia manyebarkan tindakan-tindakan keji.
Pengenalan istilah:
Fakhisyah : tindakan keji, biasa digunakan untuk perzinaan dan semisalnya.
an-nakaal : yakni hukuman berdasarkan kebijakan pemerintah, bukan hukum had. misalnya : dengan dipermalukan, dipenjara, cambuk, dan semisalnya.
—————————————————————
Sumber : ihsan-tasjilat
http://kajiansurabaya.wordpress.com/2010/06/21/download-hukuman-bagi-para-pelaku-dan-penyebar-pornografi/

Jika Imam Lupa Satu Rakaat

Tanya:
Bismillah. Ustadz, sy pernah shalat ashar brjamaah, saat itu imam duduk tasyahhud akhir pd rakaat ke 3. Sy sdh ingatkan imam tp dia tdk dengar krn sy duduk agak jauh dr imam, setelah imam salam sy sujud sahwi. Setelah keluar dr masjid, sy tanya k makmum yg lain bhw shalat kita kurang 1 rakaat dan dia benarkan.
Pertanyaan saya: apakah sy harus ulang shalat sy atau cukup tambah 1 rakaat stlh yakin kurang 1 rakaat? Jazakallahu khoir
Abu Sulaim [awaluddin.mansur@yahoo.co.id]
Jawab:
Jika setelah shalat baru diketahui bahwa imam kurang dalam rakaat shalatnya, maka:
a. Jika kekurangannya diketahui sesaat setelah shalat selesai maka cukup ditambah dengan rakaat yang kurang lalu sujud sahwi setelah salam.
b. Tapi jika kekurangannya diketahui sudah agak lama setelah selesai shalat atau dia sudah keluar dari masjid, maka shalatnya harus diulangi dari awal karena shalatnya yang pertama tidak dianggap syah karena kekurangan rakaat.
Maka berdasarkan keadaan dalam pertanyaan di atas, imam dan seluruh makmum wajib mengulangi shalatnya dari awal karena mereka semua sudah keluar dari masjid, wallahu Ta’ala a’lam.

Jika kita masuk mesjid muazin sedang azan kita boleh shalat attahiyatul mesjid langsung atau mesti menunggu smpai muazin selesai?

Seputar Shalat
Tanya:
Assalamualaikum Ustad,
saya ingin menanyakan seputar shalat,
1. Jika kita masuk mesjid muazin sedang azan kita boleh shalat attahiyatul mesjid langsung atau mesti menunggu sampai muazin selesai azan kemudian shalat attahiyatul mesjid?
2. apakah di mushalla ada shalat attahiyatul mesjid juga atau tidak ada?
3. Jika kita berwudu di mesjid kemudian ingin melaksanakan shalat, shalat mana yang di dahulukan shalat attahiyatul mesjid atau shalat wudhu?
4. Shalat mana yang kita lakukan, jika waktu Qamat sudah hampir tiba (waktu nya sempit cuma bisa untuk satu shalat sunat saja), kita lakukan shalat sunat qabliatan rawatib atau shalat attahiyatul mesjid,?
5. Jika kita terlambat dalam shalat berjamaah kemudian imam salam, apakah kita mundur menjadi makmum terhadap orang yang disamping kita?
6. Jika kita melakukan shalat sunat badiyah rawatib Magrib atau isya kemudian orang datang dan menjadi makmum, apakah bacaan kita kita keraskan atau tetap di sirkan saja?
mohon maaf banyak pertanyaan saya, karena tidak tau untuk bertanya yang tepat sesuai dengan manhaj salaf.
Wassalam
Deni Rinaldi [dr0611@gmail.com]
Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullah
1. Keduanya boleh dilakukan, hanya saja yang lebih utama kalau dia mendengarkan azan dulu agar dia bisa menjawab azan (mengikuti ucapan muazzin membaca doa setelah azan) baru setelah itu dia shalat. Jadi ketika seorang masuk masjid sementara imam sedang azan lalu dia tidak shalat, maka tidak shalatnya ini bukan karena dilarang shalat ketika azan, akan tetapi karena dia menjawab azan, karena tidak ada dalil yang melarang shalat sunnah ketika azan berkumandang.
2. Mushalla dalam artian masjid kecil yang tidak dipakai shalat jumat, juga termasuk masjid dalam istilah syariat. Karenanya tetap berlaku padanya hukum-hukum masjid, berupa: Shalat 2 rakaat sebelum duduk, larangan jual beli di situ, boleh i’tikaf di situ, dan seterusnya.
3. Dalam hal ini dia mengerjakan shalat sunnah wudhu 2 rakaat dan itu juga sekaligus sebagai tahiyatul masjid baginya. Perlu diketahui bahwa shalat tahiyatul masjid bukanlah shalat sunnah yang berdiri sendiri, akan tetapi dia adalah shalat 2 rakaat yang dikerjakan sebelum duduk di dalam masjid. Maka shalat 2 rakaat apa saja yang kita kerjakan sebelum duduk, baik dia rawatib maupun sunnah wudhu maka itulah shalat tahiyatul masjid, sehingga tidak perlu mengerjakan shalat tahiyatul masjid lagi.
4. Demikian pula kami katakan untuk pertanyaan yang keempat.
5. Tidak boleh seperti itu, yang benarnya semua makmum yang sama-sama masbuk harus menyelesaikan shalatnya sendiri-sendiri.
dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ الْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلَاةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَلَا تُسْرِعُوا فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
“Jika kalian mendengar iqamat dikumandangkan, maka berjalanlah menuju shalat dan hendaklah kalian berjalan dengan tenang berwibawa dan jangan tergesa-gesa. Apa yang kalian dapatkan dari shalat maka ikutilah, dan apa yang kalian tertinggal maka sempurnakanlah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah t)
Yakni: Kalian sempurnakanlah kekurang kalian sendiri-sendiri, dan beliau tidak menyatakan: Jika kalian tertinggal maka angkatlah salah seorang di antara kalian menjadi imam.
6. Wallahu a’lam, yang nampak dia tetap membacanya dengan sir, karena itu merupakan shalat sunnah baginya. Hendaknya dia memperhatikan shalat yang tengah dia kerjakan dan tidak menoleh kepada orang yang bermakmum kepadanya. Maksudnya: Walaupun makmumnya sedang shalat wajib yang seharusnya dijahrkan, akan tetapi dia tengah shalat sunnah yang tidak seharusnya dijahrkan, maka hendaknya dia mengikut apa yang menjadi keharusan baginya.
http://al-atsariyyah.com/seputar-shalat.html#more-3302